Gambar: Ilustrasi |
Oleh : Farah Sari, A.Md
(Komunitas Muslimah Jambi Peduli Generasi)
Mediaoposisi.com-Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), Fritz Edward Siregar, mengungkapkan, di zaman modern ini sudah banyak cara yang dilakukan untuk terpilih melalui politik uang. Lebih dari 40 kasus dibongkar dan semuanya sudah diadili. Tapi, ia meyakini masih banyak lagi yang melakukan hal serupa di luar sana. Bahkan, di era digital saat ini, politik uang dilakukan cashless alias nontunai.(kompas.com,15/04/19)
Peneliti psikologi politik Universitas Indonesia (UI), Hamdi Muluk, mendapatkan, keterpilihan seorang calon ditentukan oleh tiga hal: diketahui, dikenal, dan disukai. Cara tercepat agar seorang calon mendapatkan ketiga syarat itu adalah dengan tatap muka dalam bentuk apapun, disengaja atau pun tidak disengaja, dan memberikan bantuan. Dengan dua cara tersebut, masyarakat akan semakin melekat pada calon.
Kondisi ini adalah bukti bahwa demokrasi yang sedang dijalankan oleh negara saat ini tidak mampu mencegah politik uang. Malah, semakin tumbuh subur.
Demokrasi Biang Keladi Politik Uang dan Kerusakan
Sungguh miris, kita menggunakan sebuah sistem hidup yang tidak baik hari ini. Sistem demokrasi. Aturan dari sistem demokrasi lahir dari akal manusia, dipengaruhi standar kepentingan dan manfaat bagi masing-masing individu, pelaksanaan sistem (pemilu) berat di ongkos, menjadikan materi dan kekuasaan standar kebahagiaan dan rawan kecurangan serta penipuan.
Kita tentu memahami, aturan yang lahir dari akal manusia akan melahirkan kerusakan. Karena akal manusia bersifat lemah dan terbatas. Sehingga, tidak akan mampu menjangkau hakikat aturan hidup yang sesuai dengan fitrah manusia, memuaskan akal dan menentramkan jiwa.
Akal manusia tidak mampu menghasilkan aturan yang tepat untuk memecahkan problematika kehidupan. Diperparah oleh kondisi setiap individu, memiliki standar benar yang berbeda menurut akalnya. Karena manusia dipengaruhi oleh kondisi dan kepentingan hidupnya.
Praktik politik uang (money politic) berkembang luas dalam sistem politik kepentingan dalam bingkai demokrasi. Sistem politik yang jauh dari pondasi agama (sekuler). Sistem politik yang lahir dari cara pandang asas manfaat, di mana untung dan rugi merupakan satu-satunya standar dalam berpolitik. Untuk meraih keuntungan, segala cara pun dihalalkan, asal tujuan tercapai.
Para politikus tidak pernah berpikir bagaimana mengurus urusan umat. Karena itu, mereka tidak pernah hadir di tengah-tengah umat ketika mereka dibutuhkan. Mereka pun jauh dari umat. Mereka baru mendekati umat, ketika mereka membutuhkan umat untuk kepentingan politik mereka. Dekat saat pemilu, jauh pasca pemilu.
Alih-alih mereka memerhatikan dan mengurus kepentingan umat dengan tulus, justru mereka memilih jalan pintas. Pada saat seperti itu, mereka pun menyuap umat. Umat yang hidup dalam politik korup yang membudaya dan kesulitan ekonomi, tidak jarang akhirnya ikut menikmati uang itu. Karenanya, terjadilah simbiosis mutualisme.
Sekalipun demokrasi menjadikan suara mayoritas sebagai penentu akhir dari suatu keputusan, tetap saja kebenaran itu tidak bisa diukur dengan suara mayoritas. Maka sesungguhnya kita butuh standar tunggal dalam menetapkan sebuah kebenaran, yaitu syariat Islam.
Kerusakan ini, sesuatu yang wajar dan tidak bisa dihindari. Sistem yang rusak akan melahirkan kehidupan yang rusak. Sebaliknya, sistem yang baik akan menghasilkan kebaikan dalam kehidupan.
Setiap pemilu, pilkada, pileg dan pilpres; masalah politik uang, kecurangan, kerusuhan antar pendukung paslon dsb selalu muncul. Ini menjadi bukti kelemahan demokrasi sebagai sebuah sistem. Kenapa kita masih bertahan dengan demokrasi yang rusak dan merusak?
Sistem Islam Membasmi Politik Uang dan Kerusakan
Pertanyaannya kemudian, apa jaminannya jika Islam diterapkan. Apakah budaya politik yang korup, termasuk politik uang bisa dihilangkan? Jawabannya, pertama, jaminan itu ada pada akidah Islam yang menjadi pondasi kehidupan, termasuk sistem politik. Akidah Islam menjadikan setiap pemeluknya bertakwa kepada Allah dalam seluruh aspek kehidupan sehingga muncul self control (kontrol pribadi) di dalam diri mereka.
Dengan ketakwaan yang sama, masyarakat juga memiliki social control, sehingga kewajiban amar makruf dan nahi munkar bisa berjalan dengan baik dan efektif di tengah-tengah masyarakat. Dengan akidah Islam pula, tidak ada satu pun hukum yang dijalankan oleh negara, kecuali hukum Islam.
Negara pun tidak pandang bulu dalam menegakkan hukum terhadap seluruh rakyat. Karena itu, dengan ketiga faktor ini, yaitu ketakwaan individu, kontrol masyarakat, dan negara yang konsisten menegakkan hukum Islam, maka satu-satunya budaya yang tumbuh dan berkembang adalah budaya yang baik dan sehat.
Ketika Abu Hurairah diutus oleh Nabi Shalallahu ‘alaihi wa salam, selaku kepala negara untuk mengambil jizyah dan kharaj dari warga Yahudi, mereka pun berusaha menyuap utusan Nabi tersebut dengan mengumpulkan perhiasan istri-istri dan anak-anak mereka. Mereka mengatakan, “Kami telah mengumpulkan perhiasan ini dari istri-istri dan anak-anak perempuan kami untuk Anda, agar Anda bisa mengurangi jumlah pungutan yang Anda ambil dari kami.”
Dengan tegas, Abu Hurairah pun menolak, seraya berkata, “Celakah kalian wahai bangsa Yahudi. Karena tindakan kalian, Allah telah melaknat kalian melalui lisan Nabi Dawud.” Ketika mendengar jawaban Abu Hurairah itu, mereka menyatakan, “Andai saja para pejabat negara seperti Anda, niscaya langit dan bumi ini akan tetap tegak selamanya.” Abu Hurairah bisa seperti itu karena ketakwaan pribadinya, sehingga self control-nya begitu kuat, dan tidak mempan disuap.
Selain ketiga ciri di atas, birokrasi dan administrasi negara juga tidak bersifat sentralistik tetapi
desentralistik. Setiap kota kecil atau besar memiliki biro administrasi yang memungkinkan penduduk setempat menyelesaikan urusan administrasi cukup di tempatnya tidak perlu harus merujuk ke pusat.
Manajemennya pun berkembang mengikuti perkembangan sarana dan prasarana maupun teknologi mutakhir. Tidak hanya itu, biro-biro ini juga dikepalai oleh ahli di bidangnya serta memiliki sifat amanah, ikhlas, bertakwa kepada Allah, dan cakap (Muhammad Husain ‘Abdullah, Dirasat fi al-Fikr al-Islam, hal. 86).
Dengan sistem seperti itu, celah dan peluang terjadinya praktik suap dan korupsi bisa ditutup rapat-rapat. Jika seluruh celah dan peluang tersebut tidak ditutup, tetapi masih nekat melakukan korupsi, maka hukum akan ditegakkan dengan tegas, tanpa pandang bulu. Islam pun menetapkan ta’zir, sebagai bentuk sanksi yang diberlakukan kepada mereka di mana kadar dan beratnya akan ditetapkan oleh hakim.
Dengan semuanya itu, maka masyarakat pun bersih dari budaya politik yang korup dan kotor, yang bukan saja membahayakan pelakunya, tetapi juga sendi-sendiri kehidupan masyarakat. Namun, semuanya itu hanya bisa diwujudkan dalam sebuah negara yang bernama Khilafah Rasyidah ‘ala Minhaj an-Nubuwwah. [MO/ms]