Pipit Agustin
Member AMK Jatim
Mediaoposisi.com-Akhir tahun dan awal tahun adalah momen langganan kenaikan harga berbagai kebutuhan, termasuk pangan. Belum lagi momen hari-hari besar seperti Idul Fitri dan Idul Adha. Momen-momen tersebut seolah menjadi tradisi harga-harga menjadi tinggi. Pada akhirnya, masyarakat menjadi terbiasa. Kenaikan harga pangan akhir tahun ini diklaim wajar.
Donasi Save Muslim Uighur
Wakil direktur Institute for Development of Economic anda Finance (INDEF), Eko Listiyanto mengatakan penyebab utama inflasi pangan di akhir tahun umumnya terjadi pada momentum Natal dan Tahun Baru.
Sedangkan yang diperlukan masyarakat adalah kepastian akan stabilnya harga-harga komoditas. "Setiap menjelang akhir tahun seringkali harga pangan mengalami lonjakan. Oleh karena itu harus ada keseriusan dari pemerintah untuk memutus siklus dan mencari solusi agar harga pangan di akhir tahun terkendal".
Apakah ini masalah?
Kenaikan harga berulang pada momen tertentu sudah terlanjur dimaklumi masyarakat.
Sedemikian dianggap sebagai suatu kewajaran. Maknanya, ini bukan lagi suatu masalah, bukan?!
Begitulah realitanya. Masyarakat kita telah dididik dengan sejumlah pemakluman. Akibat terlalu sering mengenyam fakta pahitnya hidup.
Akibat terlalu terbiasa dengan kerasnya hidup. Menopang beban hidup sendirian. Sementara negara tempat mereka berpijak hanya berfungsi sebagai pigura.
Kalo kita menengok data BPS, sekitar 73,48 persen garis kemiskinan ditentukan oleh pergerakan harga bahan pangan. Sementara sisanya, atau sekitar 17 % ditentukan oleh non makanan. Artinya, kenaikan harga pangan (terutama beras sebagai makanan pokok) telah mendongkrak angka kemiskinan.
Kefasadan yang amat sangat nyata dapat dindra deng sangat mudah. Hal ini dapat dilihat dari kesenjangan antara apa yang dinarasikan pemerintah dan realitasnya. Penyesatan, pembohongan publik, dan politik pencitraan adalah hal yang lazim.
Menukar frasa 'kenaikan harga' dengan frasa 'penyesuaian harga'. Praktik impor dengan alasan darurat, padahal petani sedang panen raya. Atau menaikkan komoditas (BBM) tanpa pemberitahuan kepada khalayak. Ini jelas sangat menyakitkan bagi publik. Ini fakta kegagalan penguasa, yakni gagal berlaku jujur pada publik.
Bagaimana masalah ini diselesaikan?
Sungguh, ketidakseriusan mengatasi masalah disebabkan kekeliruan dalam mengindahkan akar persoalan. Persoalan tata kelola pangan yang buruk selama ini berakar dari konsep pengelolaan yang batil karena menggunakan konsep neoliberal. Pengurusan hajat masyarakat secara langsung diambil alih atau diserahkan kepada korporasi. Sementara pemerintah duduk sebagai regulator dan fasilitator. Tanggung jawabnya pun minimalis.
Konsep inilah yang harus dibenahi. Persoalan pangan adalah bagian dari hak rakyat. Pemenuhannya adalah tanggungjawab negara sebagai bagian dari pelaksanaan politik dalam negeri. Artinya, tidak boleh dipindahtangankan kepada pihak korporasi apalagi asing. Pemerintah hadir secara riil sebagai pengemban amanat rakyat tanpa pandang bulu. Oleh sebab itu, fungsi pemerintah adalah sebagai pelayan dan pelindung masyarakat.
Untuk itu negara wajib memiliki visi yang jelas, politik pangan yang tegas. Semua tertuang dalam regulasi tanpa diintervensi pihak manapun. Tidak seperti saat ini, semangat cinta tanah air dan bangsa banyak terdengar di kemasan teks, pidato-pidato, seminar dan diskusi, tetapi dalam praktik bernegara jauh panggang dari api antara perkataan dan perbuatan. Implementasi tidak jalan karena para pelaksana kebijakan yang berorientasi liberal kapitalistik.[MO/ge]