Oleh : Ratih Taqiyya
Mediaoposisi.com- Tahun politik 2019 akan tercatat sebagai sejarah kelam pesta demokrasi dalam sejarah panjang bangsa Indonesia menganut sistem demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pesta rakyat yang selalu ditunggu oleh rakyat untuk mencari perubahan hidup lebih baik dengan harapan terpilih pemimpin terbaik dalam mengurusi urusan kehidupan rakyat justru banyak menjatuhkan korban jiwa.
Tercatat Jumlah petugas penyelenggara pemilu yang meninggal dunia secara keseluruhan mencapai 554 orang, baik dari pihak Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) maupun personel Polri. Sementara petugas yang sakit 3.788 orang. (www.cnnindonesia.com).
Banyak pakar menyebut pemilu tahun 2019 sebagai pemilu paling buruk sepanjang sejarah bangsa indonesia berdemokrasi. Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) bahkan menyatakan Pemilu tahun ini menjadi pemilu terumit di dunia dan ikut merasa berdosa karena telah memutuskan Pemilu 2019 dan seterusnya digelar serentak antara pileg dan pilpres. Dalam pelaksanaannya, banyak petugas KPPS meninggal dunia dalam Pemilu 2019 sebagaimana dilansir website MK, Rabu (8/5/2019). (www.news.detik.com).
Banyaknya korban tewas dan sakit dalam pemilu 2019 bahkan jumlahnya melebihi korban bencana alam yang menimpa, maka tak heran sebagian kalangan menyebutnya bencana pemilu.
Penyebab meninggalnya korban pemilu 2019 sangat tidak wajar, setidaknya jika karena faktor kelelahan yang dijadikan alasan karena keterangan medis secara resmi tidak ada yang menyatakan. Dibeberapa tempat, korban tewas dilaporkan karena kecelakaan, diculik, dan dibunuh (www.republika.co.id)
Alhasil, bila kini masih banyak masalah dalam Pemilu 2019 di mana ratusan petugas yang meninggal dan lebih dari seribu yang sakit pertanyaannya apakah demokrasi kita maju atau mundur? Atau Jangan-jangan malah sebenarnya demokrasi itu sendiri bermasalah?
Dalam pemahaman secara normatif, demokrasi merupakan sesuatu yang secara idiil hendak dilakukan atau diselenggarakan oleh sebuah negara, seperti ungkapan ”pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat”. Rakyat adalah orang yang tunduk pada suatu pemerintahan negara. Dalam negara ada yang memerintah dan ada yang diperintah, yang memerintah negara disebut dengan pemerintah dan yang diperintah oleh negara disebut rakyat.
Pada faktanya pemerintah tidak memerintah dengan apa-apa yang dikehendaki rakyat, misalnya kebijakan-kebijakan pemerintah mencabut subsidi, kebijakan pajak, kebijakan impor, kebijakan pengaturan tenaga kerja asing, kebijakan pengaturan sumber daya dan sebagainya. Yang pada hakikatnya rakyat secara umum menghendaki kemudahan akses, jaminan pemenuhan kebutuhanya, dan kepastian pengaturan urusan hidup mereka.
Pemerintah seharusnya bertanggung jawab mengurusi urusan rakyat yang mana kepada pemerintahlah diwakilkan pengurusan urusan kehidupan mereka. Dengan tanggung jawab itulah pemerintah memiliki wewenang mengatur, menjalankan, dan memerintah dengan kekuasaan yang sudah diberikan.
Bagaimana realita di lapangan? Dewasa ini yang diklaim demokrasi sistem kehidupan terbaik justru tidak memberikan jaminan kehidupan yang baik yang selama ini dicita-citakan. Semakin sulit jangkauan kebutuhan rakyat, pun untuk mendapatkan kebutuhan harus membayar dengan sangat mahal dalam kehidupan sekarang ini.
Saat rakyat melakukan tuntutan selalu berdalih ada hukum dan aturan yang berlaku, harus sesuai prosedur. Siapa pula yang membuat hukum dan prosedur yang tidak memihak rakyat? Bukankah dalam hal ini justru demokrasi itu mempermainkan rakyat sendiri? Jika kesejahteraan dijanjikan dalam demokrasi namun tidak kunjung ditemui, bukankah hal ini membuktikan untuk mencapai kesejahteraan dalam demokrasi hanya ilusi?
Dalam demokrasi pemilu merupakan prosedur utama bagi partai politik untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan dalam setiap level politik dan sebagai perluasan demokrasi prosedural dalam rangka untuk memilih pemimpin pemerintahan formal. Menurut "Paul Hauntington tentang pemilu",
pemilu merupakan cara yang yang paling ideal untuk memilih pemimpin pemerintahan yang bersifat kompetitif dan fair. Selalu hadir harapan baru setiap pemilu digelar, namun rakyat yang menjadi kredo dalam demokrasi selalu terkecoh dan menjadi korban setelah terpilihnya pemimpin yang diklaim dipilih secara demokratis.
Pemilu yang menjadi ikon demokrasi untuk memilih pemerintah terbaik tidak menghasilkan pemerintahan yang berhikmat untuk melayani kepentingan rakyat, meskipun selalu mendengungkan mewakili rakyat.
Perebutan kursi kekuasaan dalam pemilu membutuhkan modal yang tidak sedikit, ratusan juta untuk menjadi kades, milyaran menjadi caleg dan kepala daerah, bahkan lebih tinggi lagi dana yang diperlukan untuk menjadi capres dan cawapres. Apakah semua pengorbanan rupiah itu demi rakyat dan dikeluarkan Cuma-Cuma? Tentu saja tidak.
Sehingga rakyat yang menaruh harapan besar pada demokrasi dengan pemilu untuk memilih wakil rakyat justru akan kecewa bahkan menyesal dan menderita sampai menunggu pemilu berikutnya lalu hal yang sama pun berulang.
Adapun bagi mereka yang terpilih, setelah berada dalam tampuk kekuasaan akan menggunakan kesempatan sebaik-baikya dengan jabatan dan wewenang yang dimiliki untuk mngembalikan modal selama pemilu dan bahkan mencari keuntungan selama masih menjabat.
Dari sinilah kita paham, mengapa dalam sistem demokrasi budaya suap, korupsi semakin menjadi-jadi dan sulit diberantas. Yang lebih aneh dan menyedihkan lagi mantan napi korupsi pun bisa kembali mencalonkan diri. Bukankah memang ada yang salah dalam demokrasi?
Kini nestapa pemilu bahkan sudah bisa dirasakan saat pemilu itu sendiri belum sampai pada tahap akhir. Jatuhnya banyak korban jiwa dan yang menderita sakit patut mendapat perhatian serius dan sungguh-sungguh untuk mengusut tuntas apa yang sebenarnya terjadi hingga jatuh korban begitu banyak tidak wajar.
Saat nanti terpilih pun siapapun pemimpinnya akan sangat sulit rasanya keluar dari desain dan budaya dalam demokrasi. Pemilu 2019 kali ini akan menjadi catatan sejarah semakin buruknya pengaturan kehidupan politik dalam sistem demokrasi.
Biaya yang fantastis 25 T tidak mengahasilkan perbaikan yang berarti. Budaya yang berkembang tetap sama dengan sebelumnya. Harapan da cita-cita rakyat akan semakin terasa sulit terwujud.
Tidak ada salahnya bagi rakyat yang menginginkan perubahan untuk memikirkan alternatif pemecahan masalah kehidupan dan mencari jalan lain untuk kesejahteraan yang diidamkan.
Ibarat sebuah perjalanan yang sampai di persimpangan rakyat pula yang akan menentukan jalan mana yang akan ditempuh untuk sampai tujuan. Jika datang alternatif pilihan-pilihan saatnya rakyat membuka diri dan mengkaji jalan mana yang sesuai bisa mewujudkan harapan dan cita-cita kehidupan. [MO/ra]