Oleh: Lailin Nadhifah
(Lingkar Studi Perempuan Dan Peradaban)
Mediaoposisi.com- Kemiskinan ibarat bahan isyu “seksi” bagi elit politik sebagai bahan perdebatan dan perseteruan. Saling mengungkapkan data, mengulas dan secara berani menunjukkan sikap nyata juga keprihatinan. Seàkan sikap tersebut menunjukkan realitas sikap mereka saat berkuasa nanti terhadap keseriusan mengentaskan kemiskinan.
Perdebatan seru tim sukses Prabowo-Sandiaga Gamal Albisandi membawa nama Presiden keempat Gus Dur saat berdebat soal data angka kemiskinan di Indonesia.
Pernyataan Gamal Albinsadi rupanya membuat Juru Bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Maruf, Deddy Sitorus geram, nada bicaranya meninggi.
Deddy Sitorus bahkan menunjuk-nunjuk Gamal Albinsaid. Debat panas itu terjadi saat keduanya menjadi narasumber di acara Mencari Pemimpin di Kompas TV, pada Jumat (26/10/2018).
Ditambah lagi perseteruan serupa antara Capres Prabowo Subianto dengan BPS dan staf khusus Presiden bidang ekonomi. Hal tersebut disulut oleh pernyatan Capres Prabowo Subianto. Calon Presiden Prabowo Subianto mengungkapkan 99% rakyat Indonesia hidup pas-pasan. Sementara data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan angka kemiskinan saat ini berada di angka 9,82%.
Staf Khusus Presiden Bidang Ekonomi, Ahmad Erani Yustika pun mempertanyakan kenapa hal ini baru ramai di tahun politik. Termasuk soal standar garis kemiskinan yang ditetapkan BPS.
Disisi lain, data kemiskinan dari satu era presiden Soeharto sampai era presiden Jokowi mengalami “irama” naik turun tiada kepastian kapan akan usai.
Berdasarkan Data Badan Pusat Statistik (BPS) sejak 1970 hingga 2018, tren angka kemiskinan cenderung menurun meski sempat naik di tahun 1996, 1998, 2002, 2005, 2006, 2013, 2015, dan 2017.
Sementara angka terendah ditunjukkan pada data BPS bulan Maret 2018, yakni 9,82 persen dengan 25,95 juta penduduk miskin. Pertama kalinya dalam sejarah Indonesia angka kemiskinan berada di bawah 10 persen.
Kenyataan kemiskinan diderita oleh sedikitnya 25, 95 juta penduduk adalah realitas yang tidak sepatutnya menjadi penghias meja diskusi elit politik. Terlebih data BPS belum mewakili kenyataan kemiskinan riil dimasyarakat.
Berbagai kritikan dituai BPS atas “keberhasilan” penurunan angka kemiskinan yang berkisar 1 digit di tahun 2018 ini. Sebagaimana yang disampaikan oleh Ekonom senior Rizal Ramli bahwa Lebih lanjut, dia ikut mencermati laporan terbaru BPS soal jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2018 yang tercatat terus berkurang. Menurut dia, perhitungan tersebut terkesan menjebak.
"Memang kita bisa main-main dengan statistik. Soal kemiskinan, BPS mungkin benar angka kemiskinan turun. Tetapi definisi kemiskinan yang dipakai kurang dari Rp 14 ribu per hari, hanya sekitar Rp 13.400," ujar dia.
Terlebih, keserakahan segelintir pemilik modal, menguasai sebagian besar kekayaan Indonesia mencerminkan kondisi riil kemiskinan di Indonesia.
Live Tv
Dalam laporannya, Oxfam menyatakan kekayaan empat milyader terkaya di nusantara, tinggi dari total kekayaan 40 persen penduduk miskin – atau sekitar 100 juta orang. Indonesia masuk dalam enam besar negara dengan tingkat kesenjangan ekonomi tertinggi di dunia. Pada tahun 2016, satu persen orang terkaya memiliki hampir setengah (49 persen) dari total kekayaan populasi.
Hanya dalam satu hari, orang Indonesia terkaya bisa mendapatkan bunga deposito dari kekayaannya, lebih dari seribu kali daripada dana yang dihabiskan penduduk Indonesia termiskin untuk kebutuhan dasar sepanjang tahun. Jumlah uang yang diperoleh setiap tahun dari kekayaan itu bahkan akan cukup untuk mengangkat lebih dari 20 juta orang Indonesia keluar dari jurang kemiskinan.
Tatanan ekonomi kapitalistik yang berpihak kepada pemilik modal ditambah dengan pemerintahan demokrasi yang menuntut ada perselingkuhan pemilik modal dengan penguasa untuk tujuan mengukuhkan kekuasaan dan meraup keuntungan besar, semakin menggenapkan kemiskinan struktural tiada berujung. Klaim penurunan kemiskinan menjadi riil karena secara data kemiskinan tersebut menurun dari orang tua sampai ke anak cucu.
Stop, kemiskinan sekedar menjadi bahan diskusi diatas meja untuk mendongkrak elektabilitas para elit politik.
Malu, pada para politikus muslim, tanpa basi basi memanggul bahan pokok meredakan tangis bocah kelaparan, memasakkan bahan mentah tersebut hingga menyuapkan seakan memastikan bahwa tersolusi tuntas persoalan kemiskinan warganya.
Umar bin Khatthab, penguasa fenomenal, legenda kebijakannya menjadi makhkota gading yang tak pudar oleh waktu. Begitu juga kebijakan Umar bin Abdul Aziz, mendistribusikan zakat kepada golongan yang di prioritaskan sampai tidak ada satupun rakyat yang mau menerima bahkan sampai ke Ethiopia Afrika.
Islam telah menggariskan konsep kepemimpinan yang jelas bahwa penguasa adalah rain, pelayan rakyatnya. Melayani, dalam rangka merealisasikan aturan Islam dalam kehidupan. Termasuk mensejahterahkan hidup rakyat adalah tanggung jawab negara.
Islam telah membebankan pengelolaan kepemilikan rakyat berupa sumber daya alam kepada negara. Dan negara wajib mendistribusikan baik langsung maupun tidak langsung hasil pengelolaan tersebut kepada masing masing individu rakyat mulai dari bayi dalam kandungan sampai tua renta.
Kehidupan rakyat dibawah penguasa yang tunduk merealisasikan syari’ah Islam memcerminkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafûr, Negeri yang baik dengan Rabb Yang Maha Pengampun.[MO/sr]