Oleh: Ahmad Khozinudin, S.H.
Ketua LBH PELITA UMAT
[Catatan Hukum Kasus Pembakaran Bendera Tauhid]
Mediaoposisi.com- Jum'at (09/11) Kemenkopolhukam melakukan pertemuan dengan segenap elemen umat Islam untuk menindaklanjuti penyelesaian pembakaran bendera tauhid.
Pada audiensi dengan perwakilan unjuk rasa aksi bela tauhid 211, perwakilan unjuk rasa mengajukan 5 (lima) poin tuntutan kepada Pemerintah.
Dua poin tuntutan utama adalah permintaan pengakuan negara terkait eksistensi bendera tauhid sebagai bendera milik umat dan tuntutan proses hukum kepada pelaku dan aktor intelektual pembakar bendera tauhid di Garut.
Dalam pertemuan yang baik itu, sedianya Pemerintah dapat segera mengakhiri potensi konflik dan konfrontasi sosial dengan segera membuat komitmen untuk menuntaskan kasus.
Pemerintah, segera mengumumkan bendera yang dibakar adalah bendera tauhid dan berjanji memproses hukum seluruh pihak yang terlibat pembakaran.
Namun, Wiranto selaku Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan justru menggunakan forum yang penting itu untuk menebar fitnah dengan menuding aksi bela tauhid ditunggangi oleh organisasi HTI (Hizbut Tahrir Indonesia).
Dia menyebut demonstrasi yang dilakukan dua kali untuk membela bendera tauhid itu ditunggangi kelompok-kelompok yang memanfaatkan untuk kepentingan politik, dimanfaatkan untuk HTI agar tetap eksis.
Padahal, umat Islam khususnya peserta aksi sepenuhnya memahami bahwa aksi bela tauhid yang dilakukan bukanlah karena motivasi atau atas arahan HTI. Aksi bela tauhid adalah aksi yang didorong oleh semangat tauhid, didasari oleh akidah Islam dan bertujuan untuk membela kemuliaan kalimat tauhid.
Bukankah sangat menyakitkan, jika aksi yang didasari keyakinan tauhid ini dituding sebagai ditunggangi HTI ? Bukankah sebuah fitnah yang amat keji, jika perjuangan dan pengorbanan umat Islam khususnya para peserta aksi bela tauhid kemudian dilabeli sebagai 'aksi yang dimanfaatkan HTI' ?
Padahal, sepanjang aksi agitasi dan seruan para orator tidak ada satupun yang menyebut aksi bela tauhid sebagai aksi bela HTI, aksi untuk solideritas HTI, aksi untuk membela bendera HTI. Aksi tegas dimaksudkan untuk membela kesucian, kehormatan dan kemuliaan kalimat tauhid yang secara keji dan hina dibakar anggota Banser di Garut.
Wiranto perlu tahu, perjuangan dan pengorbanan para peserta bendera tauhid. Mereka mengorbankan waktu, pikiran, tenaga dan uang agar bisa memenuhi seruan aksi bela tauhid. Ada yang dari Jakarta, Bogor, Tangerang, Bekasi, Depok, bahkan aksi bela tauhid kedua dihadiri peserta dari berbagai kota di Indonesia.
Mereka semua berjuang dan berkorban demi Islam, demi kalimat tauhid. Karena itulah mereka bergerak, bukan sebab yang selainnya. Motivasi Islam itulah, yang menyebabkan peserta aksi ridlo dan ikhlas tanpa dibayar, terlibat dalam aksi unjuk rasa membela bendera tauhid.
Selanjutnya, Wiranto juga masih menganggap remeh urusan pembakaran bendera tauhid. Dia menyebut tragedi pembakaran bendera tauhid di Garut persoalan yang tidak besar, terjadi di kecamatan kecil, Limbangan, Garut.
Pelakunya disebut hanya tiga orang, namun Wiranto menyayangkan perkembangannya eskalasinya menasional dan sampai pada level negara. Ia bahkan, menyayangkan dan menyebutnya sebagai tidak adil.
Rupanya hingga pertemuan besar yang melibatkan semua pejabat negara dan berbagai kementrian dan lembaga, melibatkan banyak ormas dan para tokoh, Wiranto masih gagal paham atas persoalan pembakaran bendera tauhid.
Pembakaran bendera tauhid itu bukan persoalan kecil, meskipun dilakukan di kecamatan kecil. Pembakaran bendera tauhid adalah perkara besar yang melukai hati seluruh kaum muslimin.
Itulah sebabnya, terjadi banyak saksi di berbagai kota di seluruh Indonesia. Itulah sebab, kenapa di Jakarta terjadi aksi hingga dua kali, karena memandang Persoalan ini adalah persoalan besar.
Namun apa maksud Wiranto menyebut kasus ini sebagai tidak adil ? Apakah persoalan kecil yang akhirnya membuat repot negara itu yang menjadi sebab Wiranto menyebutnya sebagai tidak adil ?
Jika bicara keadilan, umat Islam yang paling merasa diperlakukan secara tidak adil. Pembakar bendera tauhid, awalnya hendak dilepaskan dengan dalih tidak ada niat jahat. Setelah tuntutan masif, barulah polisi menetapkan tersangka itupun dengan pasal yang tidak relevan.
Membakar bendera tauhid, menista agama Islam, tetapi hanya dipersoalkan dengan pasal bikin gaduh. Itupun dibatasi hanya pada dua orang pelaku pembakar, padahal didalam video terlihat belasan orang yang terlibat langsung dalam aksi pembakaran.
Sampai saat ini, umat Islam masih merasa diperlakukan tidak adil. Bagaimana mungkin membakar bendera tauhid hanya di vonis 10 hari penjara ?
Bagaimana mungkin membakar bendera tauhid hanya di vonis membayar 2000 rupiah ? Lantas, sebenarnya ungkapan tidak adil itu untuk siapa ?
Soal tuntutan pengakuan eksistensi bendera tauhid, Wiranto juga masih mengambang. Soal kalimat tauhid pada bendera tauhid hanya dipersilahkan untuk dibicarakan lebih luas lagi, karena memurutnya itu bukan domain pemerintah.
Memang benar, pemerintah dalam itu tidak mampu mematahkan argumen Habib Hanif yang menjelaskan ihwal bendera tauhid. Pemerintah hanya mempertegas yang dilarang pemerintah bukan bendera tauhid, tetapi bendera HTI (bendera berlogo HTI).
Meskipun Pemerintah tidak lagi menyebut ormas HTI sebagai ormas terlarang, karena memang putusan PTUN hanya menolak gugatan HTI dan dengan demikian menguatkan SK pencabutan BHP HTI. Putusan PTUN Jakarta yang mengadili sengketa PTUN antara HTI vs kemenkumham dalam amarnya tidak pernah menetapkan HTI sebagai ormas terlarang .
Karena itu, penggiringan opini bendera HTI tidak memiliki dasar hukum dan justru berpotensi mengaburkan hakekat dan realitas bendera tauhid sebagai bendera milik kaum muslimin. Alhasil, pertemuan tidak menyimpulkan kesepakatan ihwal bendera tauhid juga tidak pernah memberi komitmen menghukum pembakar bendera tauhid berdasarkan ketentuan pasal 156a KUHP.
pertemuan substansinya hanyalah mengabarkan kepada umat bahwa pemerintah telah menindak pembuat onar dengan pasal 174 KUHP, pemerintah menyerahkan kepada publik diskursus bendera tauhid dan pemerintah meminta publikmenghentikanperdebatan mengenai pembakaran bendera tauhid.
Padahal yang dipersoalkan kaum muslimin itu pembakaran bendera tauhid bukan tindakan bikin onar yang membikin gaduh dan mengganggu rapat umum yang tidak terlarang.
Sungguh menyedihkan nasib umat ini. selain dipaksa menerima proses hukum asal-asalan dan ikhlas dengan pidana lucu-lucuan berupa 10 hari penjara dan denda Rp2000 perak, kaum muslimin juga terus disuguhi berbqagai tudingan-tudingan keji. Penguasa belum sepenuhnya ikhlas menerima realitas umat yang merindukan kembali pada kalimat tauhid. Penguasa juga terus berusaha mengkanalisasi setiap geliat dan gelora kebangkitan.[MO/ge]