Oleh: Cahyani Pramita, SE
(Member Akademi Menulis Kreatif Regional KalSel)
Sederet nama artis pernah terciduk saat melakoni bisnis haram ini. Yang terbaru adalah VA dan AS, artis muda dan cantik yang digerebek oleh anggota Subdit V Siber Ditreskrimsus Polda Jatim saat “melayani tamu” di sebuah hotel di Surabaya pada Sabtu, 5 Januari 2019 lalu (dilansir dari surya.co.id).
Tarif 25 juta ataupun 80 juta rupiah yang dipasang sang artis untuk sekali memenuhi birahi laki-laki ini cukup fantastis. Namun tingginya tarif inipun tak membuat pasar sepi. Berdasarkan pemeriksaan rekening koran dari salah satu tersangka mucikari didapati nilai transaksi yang dilakoni mencapai Rp.2,8 M. Mucikari tak kesulitan merekrut artis untuk masuk dalam bisnis ini karena nominal uang yang diperoleh cukup fantastis dan mucikari juga mudah mendapatkan pangsa pasar yang bersedia membeli jasa “zina” ini.
Adanya titik temu antara permintaan dan penawaran akan menghasilkan transaksi pembelian. Permintaan “zina” dan penawaran pemuas “zina” jika dibiarkan eksis maka pasti menjadi transaksi bisnis. Bukan semata menghukum mucikari dan membebaskan pezinanya maka hal ini dianggap selesai. Sungguh tidak.
Selama ini hukum yang ada hanya menindak para mucikari dengan hukuman ringan, kurungan beberapa tahun penjara sedangkan PSKnya (baca:pezina) hanya dimintai keterangan kemudian dibebaskan bahkan PSK tersebut dianggap sebagai korban trafficking. Sama sekali nihil memberikan efek jera bagi pezina dan mucikarinya.
Terlebih lagi berbagai survey dan penelitian tentang perilaku zina dikalangan remaja di negeri ini sungguh menyedihkan. Kota-kota besar seperti Jakarta, Bogor, Bandung dan lainnya seakan saling berlomba menunjukkan angka tertinggi perzinahannya. Zina dianggap lumrah bahkan seperti gaya hidup yang menuntut untuk diikuti.
Penyebab maraknya perzinahan dan melejitnya bisnis perzinahan ini tak kunjung ditengok untuk mencari solusi mumpuni. Gaya hidup serba bebas, hedonis, opportunis dan materialis membuat zina semakin eksis, tak dianggap salah/maksiat atas nama kebebasan. Hukum takkan memberikan sanksi apapun bagi para pezina, bahkan justru dapat mengganggap pezina sebagai korban korban pencemaran nama baik, korban yang patut dikasihani, pihak yang perlu ditolong karena dianggap menjadi korban trafficking seperti dalam kasus prostitusi online.
Bisnis haram dan perbuatan asusila ini sudah lama menggerogoti kehidupan kita. System sekularisme (memisahkan agama dari kehidupan) dan kapitalisme yang ditegakkan oleh negara ini merupakan pangkal segala kerusakan dan kemaksiatan yang ada (termasuk bisnis perzinahan).
Bisnis perzinahan dan perzinahan tumbuh subur karena tak dianggap kriminal. Berzina, menjajakan diri dalam bisnis itupun dibolehkan atas nama kebebasan berperilaku serta kebebasan berekonomi. Permintaan dan penawaran zina akan selalu mencapai titik temu karena memang bebas, diserahkan pada mekanisme pasar.
Relakah kita hidup dalam kepungan zina seperti ini? Kepungan dosa besar yang dengannya mengantarkan pada berbagai macam kerusakan dan kemurkaan Sang Illahi? Saatnya kita akhiri, janganlah membuat Allah murka. Prostitusi dan zina itu sendiri akan mudah dimusnahkan jika negara ini mencampakkan sekularisme kapitalisme.
Membuang kesombongannya dan menundukkan diri pada aturan Illahi akan membuahkan keberkahan. Memberantas zina dan menjauhkan dari hal-hal yang bisa mendekatkan pada zina adalah wajib. Sebagaimana disebutkan dalam dalam QS. Al Isra:32, “Dan janganlah kalian mendekati zina, karena sesungguhnya zina itu adalah suatu jalan yang buruk”.
Negara berperan sebagai “ra’in” pengatur urusan rakyat, bertanggungjawab penuh dengan menggunakan kekuasaan yang ada padanya untuk menyelamatkan rakyat dunia dan akhirat melalui penerapan syariat . Ia lah yang memiliki kekuatan besar untuk mengeliminir tayangan, transaksi, dan hal lainnya yang menjurus ke arah zina?Jauh dari maksiat, berada dijalan ta’at dengan penerapan syariat secara total dalam bingkai kekhilafahan.[MO/sr]