Oleh: Dian Utari, S.Pd.
Mediaoposisi.com- Sebagai seorang muslim tentu kita tahu bahwasanya Al-Qur’an adalah kitab yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad SAW untuk disampaikan ke seluruh manusia, agar dijadikan petunjuk dan pedoman hidup. Di dalamnya terdapat seperangkat aturan berupa perintah dan larangan yang akan menyelamatkan manusia dari ketersesatan dan keburukan.
Maka membaca, memahami dan mengamalkannya adalah sebuah keharusan yang jika dilakukan akan Allah ganjar dengan pahala dan kemuliaan dunia akhirat. Sebaliknya, jika Al-Qur’an ini ditinggalkan bahkan diingkari maka baginya dosa dan kehinaan dunia akhirat. Sebagaimana firman Allah,
“Sesungguhnya al-Quran ini memberikan petunjuk kepada (jalan) yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan amal saleh, bahwa bagi mereka ada pahala yang besar.” (QS. Al-Isra’: 9)
Oleh karena itu Al-Qur’an memiliki posisi yang amat penting dalam kehidupan umat Islam. Penerapannya secara kaffah (totalitas) oleh pemimpin negara mutlak sangat dibutuhkan demi menjaga eksistensi Islam dan umat Islam.
Indonesia sebagai negeri muslim terbesar, saat ini tengah menghadapi tahun politik. Pemilu sebenatar lagi akan digelar untuk menentukan pemimpin negeri ini lima tahun yang akan datang. Maka wajar jika kemudian muncul wacana untuk diadakan Tes Membaca Al-Quran bagi calon Presiden.
Ikatan Dai Aceh mengundang dua kandidat calon Presiden RI untuk uji baca Al Quran. Salah satu alasannya karena dua Capres sama sama beragama Islam dan penting bagi umat Islam untuk tahu kualitas calon presidennya. "Tes baca Al Quran bagi seorang calon pemimpin yang beragama Islam sangat wajar dan sangat demokratis. Justru publik makin tahu kualitas calonnya," ujar Ridlwan Habib peneliti radikalisme dan gerakan Islam di Jakarta.
(http://www.tribunnews.com/nasional/2018/12/30/dua-calon-presiden-diundang-tes-baca-al-quran-peneliti-peluang-emas-untuk-menarik-simpati)
Wacana tersebut kini menuai kontroversi di tengah masyarakat termasuk kedua kubu pemenangan. Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo Subianto-Sandiaga Uno menilai tes baca tulis Al-Quran tak perlu dilakukan oleh kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden. Menurut BPN, yang lebih penting ialah pengamalan nilai kitab suci dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. (Okezone, Minggu (30/12/2018))
Begitu pula tanggapakan Wakil Ketua Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Hajriyanto Thohari angkat bicara soal usulan tes mengaji dan tulis Alquran bagi calon presiden dan wakil presiden. Menurutnya syarat dari Komisi Pemilihan Umum sudah cukup, tak perlu ditambah lagi. Meskipun demikian mereka tetap siap jika memang harus diadakan tes baca Al-Qur’an. (Merdeka.com, Minggu (30/12/2018))
Terlepas dari berbagai respon yang ada, tentu esensi utama keberadaan seorang pemimpin Muslim adalah bukan sekedar bisa membaca Al-Qur’an atau tidak. Tetapi juga bagaimana mereka harus mampu melaksanakan seluruh ajaran Islam dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Dan tentu ini sangat bertentangan dengan asas demokrasi, yaitu sekulerisme yang membatasi peran agama hanya dalam urusan ibadah individu semata, dan steril dalam urusan politik ataupun praktik kenegaraan.
Dari sini, maka jelas bahwasanya tes ini hanya akan menjadi alat permainan politik untuk memenangi persaingan, sedangkan di sisi lain jelas tidak akan berpengaruh terhadap perubahan sistem untuk benar-benar menjadi Islami.
Islam hadir untuk umat manusia dengan syari’at yang sempurna. Rasulullah telah memberikan teladan bagi kita tentang konsep kepemimpinan dalam Islam. Rasulullah pernah bersabda:
“Siapa saja yang melepaskan diri dari ketaatan terhadap (khalifah), akan menemui Allah di hari kiamat tanpa memiliki hujjah, dan siapa saja yang mati tanpa memiliki bai’at (terhadap seorang khalifah) di pundaknya, sesungguhnya ia mati (seperti mati) jahiliyah.” (HR. Muslim)
Satu-satunya sistem pemerintahan yang wajib dalam Islam sepeninggal Rasulullah adalah sistem khilafah, yaitu kepemimpinan umum bagi seluruh kaum muslim di dunia berupa institusi politis untuk melanjutkan kehidupan Islam dengan menegakan syari’at Islam dan menyebarluaskannya ke seluruh penjuru dunia.
Setiap kaum muslim baik laki-laki maupun perempuan memiliki kekuasaan untuk mengangkat seorang pemimpin tunggal (khalifah) yang akan menerapkan dan melaksanakan syariat Islam secara kaffah, karena akad khilafah adalah pelaksanaan syariat, bukan pelayanan umat, apalagi sekedar manfaat bagi umat. Adapun pelayanan umat dan manfaat untuk umat adalah beberapa kebaikan yang akan terwujud karena fungsi syariat sebagai pembawa rahmat bagi umat, bahkan bagi seluruh alam.
Dengan demikian, inilah saatnya umat mencampakan sistem sekuler-demokrasi, yang telah mengkerdilkan kesempurnaan Islam dan memanfaatkan Islam untuk kesenangan duniawi mereka. Saatnya umat bangkit, bersatu, berjuang menapaki jalan baru untuk menegakan syariat Islam. Menjadikan Islam satu-satunya pedoman hidup dalam seluruh aspek kehidupan di bawah naungan khilafah Islamiyah. Wallahu’alam...
“Dialah yang telah mengutus RasulNya (dengan membawa) petunjuk (Al-Quran) dan agama yang benar untuk dimenangkanNya atas segala agama, walaupun orang-orang musyrikin tidak menyukai.” (QS. At-Taubah:33)[MO/sr]