Oleh: Tri Wahyuni, SP, MSi
(Komunitas Revowriter)
Mediaoposisi.com- Dunia sedang diramaikan dengan aksi women’s march, aksi longmarch para perempuan untuk menyuarakan keinginan-keinginan mereka, termasuk isu sosial, pendidikan, kemiskinan dan kebebasan.
Aksi yang dilakukan dalam rangka memperingati Women’s Day tiap tanggal 8 Maret ini pertama kali dilakukan tahun lalu, tepatnya 21 Januari 2017, untuk mengadvokasi legislasi dan kebijakan mengenai hak asasi manusia dan isu-isu lainnya, termasuk hak-hak perempuan, reformasi imigrasi, reformasi kesehatan, hak reproduksi, lingkungan alam, hak LGBTQ, persamaan ras, kebebasan beragama, dan hak-hak pekerja.
Tahun 2017 itu sebetulnya sebagian besar demonstrasi ditujukan kepada Donald Trump, segera setelah pelantikannya sebagai Presiden Amerika Serikat, terutama karena pernyataannya yang dianggap menyinggung perasaan perempuan. Aksi di Washington DC pada waktu itu diikuti antara 440.000 sampai 500.000 orang, dan dinyatakn sebagai aksi sehari yang terbesar di sepanjang sejarah AS. (wikipedia)
Kemudian aksi ini meluas ke negara-negara lain. Dan tahun inipun aksi ini telah dilakukan di berbagai kota di seluruh belahan bumi, mulai dari kota-kota besar AS, London-Inggris, sampai ke Seoul – Korea Selatan dan Jakarta-Indonesia.
Di Jakarta aksi berlangsung pada hari sabtu 3 Maret lalu. Kabarnya jumlah peserta aksi ini mencapai 1500 orang. Menurut koordinator aksi Olin Monteiro acara ini digelar untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu-isu perempuan. Setidaknya ada 8 tuntutan yang disampaikan dalam aksi ini :
1. menghapus kebijakan yang diskriminasi,
2. pengesahan berbagai hukum dan kebijakan,
3. menjamin dan menyediakan akses keadilan dan pemulihan bagi korban kekerasan,
4. Menghentikan intervensi negara terhadap tubuh,
5. penghapusan stigma dan diskriminasi berbasis gender,
6. menghapus praktik dan budaya kekerasan berbasis gender,
7. Mengajak masyarakat untuk tidak melakukan praktik kekerasan,
8. menyelesaikan akar kekerasan berbasis gender.
Selain di Jakarta aksi juga dilangsungkan di berbagai kota yang lain, seperti Surabaya dan Jogyakarta.
Jika menyimak poster-poster yang mereka bawa, kita bisa melihat apa sebetulnya yang mereka usung. Simak saja bunyi poster berikut :
“Don’t tell us how to dress, Tell them not to rape”
“Aurat Gue bukan urusan lo, Stop victim blaming, Stop Pelecehan seksusal”
“If girl wants to be warrior let her be. If boy wants to be a princess let him be”
Belum lagi poster-poster lain yang saya tak tega menuliskannya di sini. Salah satu peserta aksi, Hannah al Rashid menambahkan pernyataan :
“Please stop telling women to cover themselves...when you should be telling men not to be sexual predators”
Kalau dilihat, yang paling menonjol mereka perjuangkan dalam aksi ini adalah kebebasan perempuan, kesetaraan gender dan memperjuangkan hak-hak kaum LGBTQ yang dianggap termarginalkan.
Yang membuat aksi ini menjadi tidak masuk akal, terutama bagi peserta aksi yang muslim adalah, ketika mereka mengingkari seruan-seruan yang hakikatnya justru untuk melindungi mereka sendiri. Ketika mereka tidak mau diatur dalam urusan pakaian, dan menganggap sepenuhnya kesalahan pihak laki-laki ketika terjadi pelecehan seksual.
Atau pandangan mereka terhadap jenis kelamin ketiga yang dipaksakan harus diterima oleh khalayak. Pengaturan oleh negara dianggap sebagai intervensi, demikian juga aturan dari Sang Pencipta tidak mau mereka terima.
Di sisi lain, seorang muslimah yang ingin menjalankan keyakinan agamanya dengan menggunakan cadar, dilarang dan bahkan terancam dikeluarkan kampusnya di UIN Sunan Kalijaga-Jogyakarta. Kalau dalihnya adalah kebebasan, seharusnya yang pakai cadar pun dibebaskan sebagaimana yang tidak menutup aurat pun dibiarkan.
Inilah ironinya hidup di tengah masyarakat yang ingin serba bebas, tidak mau diatur dengan aturan agamanya sendiri. Dengan mengatasnamakan HAM (Hak Azasi Manusia) aturan-aturan agama diterjang. Padahal kalau kita kembalikan pada aturan agama, dalam hal ini Islam, semua sudah diatur sesuai dengan potensi yang dimiliki oleh manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
Islam sangat memuliakan perempuan, dengan menetapkan aturan-aturan untuk menjaga kehormatan perempuan itu sendiri. Di saat yang sama Islam pun mengatur hubungan antara laki-laki dan perempuan di tempat khusus dan di tempat umum. Aturan tersebut antara lain:
Islam telah memerintahkan kepada manusia, baik laki-laki maupun perempuan, untuk menundukkan pandangan, menetapkan batasan aurat bagi wanita di tempat umum yang berbeda dengan aurat di tempat khusus (rumah), melarang perempuan bepergian seorang diri tanpa didampingi mahram/walinya jika perjalanan itu melampaui 24 jam, melarang khalwat (berdua-duaan dengan laki-laki asing yang bukan mahram/walinya), melarang wanita yang sudah menikah untuk keluar dari rumahnya kecuali seizin suaminya, karena suami memiliki hak atas istrinya, Islam pun sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus komunitas wanita terpisah dari komunitas pria, begitu juga di dalam masjid, di sekolah, dan lain sebagainya.
Di samping itu Islam pun sangat menjaga agar hubungan kerjasama antara pria dan wanita hendaknya bersifat umum dalam urusan-urusan muamalat, bukan hubungan yang bersifat khusus seperti saling mengunjungi antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram-nya atau keluar bersama untuk berdarmawisata misalnya.
Jika aturan-aturan itu ditegakkan Insya Allah kasus pelecehan seksual atau kekerasan terhadap perempaun bisa diminimalisir. Jadi disini kedua belah pihak-laki laki dan perempuan dituntut untuk menegakkan aturan secara bersama-sama, tidak perlu saling menyalahkan satu sama lain. Tentunya didukung pula oleh pemberian sanksi yang tegas oleh negara ketika terjadi pelanggaran aturan. Jika landasannya adalah ketaqwaan Insya Allah kehidupan akan berjalan aman tenteram. [MO/sr]