Oleh: Dwi rahayuningsih, S.Si
Mediaoposisi.com- Perempuan adalah makhluk yang banyak menarik perhatian kaum Adam. Ceritanya tak pernah lekang oleh zaman, tak pernah luntur oleh tempaan waktu. Selalu saja ada cerita tentang perempuan.
Apalagi sekarang, bulan Maret telah dinobatkan sebagai hari perempuan internasional. Tepatnya tanggal 8 Maret ini para perempuan sudah mempersiapkan diri untuk menyambut hari bahagianya dengan menyampaikan berbagai aspirasi yang mengganjal di benak mereka.
Setelah digempur dengan ide feminisme atau kesetaraan gender, kini perempuan diterpa isu kekerasan seksual, KDRT, pelecehan seksual di ruang publik, dan pembatasan aktivitas di ruang publik. Isu ini mencuat seiring dengan makin gencarnya ide kapitalisme liberalisme. Dimana para perempuan menuntut kebebasan dalam berbagai lini kehidupan. Baik diranah domestik (urusan rumah tangga) maupun diranah publik (urusan karir, politik, dll)
Di ranah domestik, perempuan menuntut untuk diberikan kebebasan untuk mengatur segala urusan rumah tangga termasuk urusan ‘ranjang’. Mereka menuntut kebebasan untuk melakukannya dengan siapapun meski dengan sesama jenis atau dengan orang lain yang bukan suaminya.
Na’udzubillah. Bahkan mereka menolak adanya undang-undang yang mengatur urusan ini. Karena hal ini adalah urusan pribadi yang tidak boleh dicampuri oleh siapapun termasuk suaminya sendiri. Terkadang menikah hanya sebatas untuk status saja.
Sedangkan di ranah publik mereka menuntut persamaan hak sebagaimana laki-laki. Hak untuk mendapatkan kursi di pemerintahan, hak untuk mendapatkan pekerjaan yang layak, hak untuk bebas berekspresi meski harus menabrak norma-norma kesusilaan. Bahkan yang lebih parah lagi mereka menuntut perlindungan untuk menjajakan tubuhnya, menolak untuk menutup aurat, namun juga menolak adanya pelecehan seksual yang sering menimpa perempuan.
Eksistensi yang Melenakan
Keingininan kaum perempuan untuk tetap eksis di publik terkadang membawa petaka bagi mereka. Namun sayangnya hal ini tidak pernah dijadikan sebagai bahan pelajaran, justru sebaliknya. Dunia kapitalis sangat berambisi untuk mendapatkan keuntungan berupa materi dengan cara apapun. Termasuk jika dengan cara mengeksploitasi kaum hawa. Gayung bersambut, hal ini justru diterima dengan senang hati oleh para perempuan.
Lihat saja iklan di TV, hampir semua melibatkan makhluk yang namanya perempuan dengan penampilan fisik yang diutamakan. Iklan shampoo, sabun, minuman, makanan, bahkan iklan ban mobil yang tidak ada hubungannya dengan perempuan saja pasti melibatkan perempuan. Belum lagi audisi-audisi semacam putri-putrian sampai kampanye parpolpun juga tak mau kalah untuk melibatkan biduan-biduan perempuan.
Disatu sisi, perempuan ingin eksis dengan berbagai kegiatan publiknya. Namun disisi lain justru eksistensi mereka di publik terkadang membawa kehancuran keluarga. Bagaimana tidak? Karena kesibukan para Ibu (perempuan.red) di luar rumah mengharuskan pengurusan anak-anak mereka terpaksa diserahkan kepada orang lain baik orang tuanya maupun pembantunya. Padahal peran Ibu dirumah sangatlah vital.
Selain sebagai manager rumah tangga, Ibu juga berperan sebagai madrasah pertama bagi anak-anaknya. Dengan membekali akidah yang kokoh, memberikan kasing sayang yang cukup serta membentuk kepribadian anak agar sesuai dengan Islam. Namun peran ini seolah tidak penting dan diserahkan kepada baby sitter atau pengasuhnya.
Para Ibu terlena dengan paham kapitalis yang membentuknya menjadi hedonis dan konsumtif. Segala sesuatu dinilai dengan uang. Karena tolok ukur kebahagiaan mereka adalah materi yaitu dengan tercukupinya segala kebutuhan jasmani. Uang seakan-akan menjadi tuhan yang wajib untuk dinomorsatukan.
Tidak peduli meski harus mengorbankan masa keemasan anak-anaknya, tidak peduli meski harus mengorbankan harga dirinya, termasuk jika harus merenggut kesucian dirinya. Yang penting happy! itulah tujuan hidupnya.
Mereka lupa jika masih ada hidup setelah kematian, ‘life after death’. Aturan Islam dianggap mengekang dan membatasi gerak perempuan. Jilbab dan kerudung dianggap memasung hak asasi manusia. Sehingga mereka lebih memilih kebebasan yang tidak akan pernah menyentuh ranah Tuhan. Aturan manusia dianggap lebih tinggi dan membahagiakan dibanding dengan aturan Tuhan.
Karena aturan manusia lebih menghasilkan materi dibanding aturan Tuhan. Paham sekuler sudah mencengkram dalam sampai ke relung jiwa. Sehingga apapun yang berbau Islam dianggap menyengsarakan dan menyesatkan.
Duhai, apakah ini yang dimaksud dengan perkembangan zaman? Manusia khususnya perempuan seolah tidak ada harganya. Meenjadi Ibu rumah tangga dianggap suatu hal yang membosankan, tidak keren, tidak produktif dan tidak gaul.
Untuk apa sekolah tinggi kalau akhirnya hanya mengasuh anak di rumah? Selalu ungkapan itu yang jadi alasan para Ibu untuk bisa eksis di luar. Padahal justru ilmu yang diperoleh dengan biaya mahal itu harusnya digunakan untuk mendidik anaknya agar menjadi anak yang cerdas, sholeh dan bertaqwa. Karena fitrah perempuan adalah ummu wa rabbatul bait. Ibu dan pengatur rumah.
Islam sangat memuliakan perempuan. Bukan dengan mengeksploitasinya, melainkan dengan mengembalikan fitrahnya. Bahkan Allah menjanjikan surga bagi para perempuan yang taat kepada Allah dan suaminya. Pahala jihad diberikan bagi setiap perempuan yang melahirkan anak-anaknya. Bahkan Rasul SAW memuji para perempuan sebagai perhiasan dunia.
“dunia adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan dunia adalah wanita sholehah” ( HR. Muslim)
So, untuk apa berkoar-koar atas nama HAM minta untuk diberikan kebebasan? Toh Allah sudah menjanjikan yang lebih baik dari apa yang kalian inginkan di dunia ini. Karena apapun yang kalian inginkan di dunia ini tidaklah kekal. semua milik Allah, dan akan kembali pada Allah. Yakinlah bahwa hukum Allah jauh lebih baik dan melindungi kaum perempuan dibanding dengan hukum buatan manusia. [MO/sr]