Revolusi| Mediaoposisi.com- Memasuki tahun keempat Jokowi memimpin Indonesia, tidak sedikit masyarakat yang masih menyimpan euphoria atas menangnya pemimpin yang digadang-gadang berasal dari kalangan “wong cilik” atau rakyat jelata.
Masyarakat menyambut bahagia kemenangan Jokowi pada Pilpres 2014 lalu, karena ia dianggap dapat mewakili suara rakyat kecil dibandingkan dengan pemimpin sebelumnya yang berlatarbelakang militer atau birokrat.
Siklus 5 tahunan yang selalu dijalani masyarakat Indonesia dalam kehidupan berdemokrasi membuat mereka yang mengejar kursi kepresidenan berusaha mencari berbagai self-branding demi mengambil hati rakyat.
Baca Juga : Ilusi Janji Jokowi
Blusukan mungkin adalah hal yang paling kentara dilakukan Jokowi selama masa kampanyenya dulu. Blusukan ini pun menjadi tanda pengenal Jokowi bahwa ia memihak pada kepentingan rakyat.
Padahal jika dilihat dari kacamata sebuah agenda politik demokrasi, blusukan itu tidak lebih dari sebuah pencitraan dibandingkan sebagai “mengenal rakyat lebih dekat”.
Janji-janji yang digelontorkan Jokowi semasa kampanye dahulu tidak sedikit yang hanya membekas di lisannya saja. Jika blusukan yang dijadikan sebagai self-branding dimanfaatkan untuk menyerap aspirasi rakyat, seluruh kebijakan yang diambil Jokowi sudah sepatutnya people-centered atau mementingkan rakyat.
Namun, fakta berkata sebaliknya. Banyak kebijakan Jokowi selama hampir 4 tahun memimpin negeri ini yang lebih menyayangi aseng dan asing, tetapi malah mencekik rakyatnya sendiri.
Janjinya untuk swasembada pangan dan mengurangi impor pangan baru-baru ini terbukti sebagai lip-service belaka. Hati rakyat kembali disakiti dengan keputusannya untuk mengimpor beras dan garam yang sebetulnya negeri ini sangat mampu memproduksi dan menyediakan sendiri.
Kebijakan lain seperti student-loan atau kredit pendidikan yang terlihat sangat membantu rakyat berekonomi rendah untuk bisa mengenyam pendidikan juga jelas tidak menolong sama sekali.
Sudahlah rakyat didorong untuk berhutang, ketika sudah lulus pun harus terbebani dengan bunga hutang dari pinjaman yang diambil. Student-loan sejatinya adalah kebijakan tambal sulam yang pada akhirnya tetap menyulitkan rakyat.
Kebijakan student-loan tersebut juga semakin diperparah dengan ditekennya Peraturan Presiden (Perpres) mengenai Tenaga Kerja Asing yang sangat nyata membuka gerbang selebar-lebarnya untuk pekerja asing masuk dan mengadu nasib di Indonesia. Di saat yang bersamaan, rakyat sendiri diminta untuk berkompetisi dengan para pekerja asing yang mungkin daya saingnya jauh di atas rakyat Indonesia.
Baca Juga : Hilangnya Kemuliaan Pemimpin
Dari berbagai kebijakan yang diambil Jokowi untuk kemudian diterapkan atas rakyat inilah muncul anggapan bahwa Jokowi pemimpin Wong Cilik hanyalah lip-service belaka yang bertolakbelakang dengan kenyataan pemerintahannya. Kesadaran publik ini kemudian berkembang hingga menumbuhkan animo masyarakat untuk #2019GantiPresiden.
Viralnya tagar #2019GantiPresiden ini merupakan bentuk nyata enggannya publik untuk dipimpin kembali oleh Jokowi selama dua periode. Banyaknya kebobrokan dan janji-janji palsu yang diumbar oleh Jokowi ternyata mendorong rakyatnya sendiri untuk ingin menggantinya.
Kemampuan publik dalam mengindera realita terkait kepemimpinan Jokowi ini tentu harus diapresiasi, meskipun secara fakta, berbagai kebijakan tidak pro rakyat tersebut bukan sepenuhnya berasal dari pundak Jokowi.
Publik juga harus memahami bahwa seorang pemimpin dalam sistem apapun akan bertindak sesuai dengan mekanisme perpolitikan dan mekanisme ekonomi yang berlaku.
Jokowi yang kepemimpinannya berada dalam sistem demokrasi juga sangat berperan dalam melahirkan kebijakan tidak pro wong cilik tersebut.
Sudah menjadi hal yang umum bahwa cara kerja demokrasi itu sangat diwarnai oleh kepentingan berbagai pihak, termasuk di dalamnya adalah pihak-pihak asing, para pengusaha kapitalis, bahkan mereka yang sekedar ingin mencicipi kursi kekuasaan.
Tidak ada lawan atau kawan yang abadi, namun hanya kepentingan-lah yang abadi di dalam sistem demokrasi.
Diterapkannya demokrasi dalam sebuah kepemimpinan, hal itulah yang membuat berbagai kebijakan kian mencekik dapat lahir. Hal ini yang juga seharusnya diperhatikan dan dipahami oleh masyarakat, bahwa sebuah negeri, khususnya negeri yang berpependuduk mayoritas muslim tak cukup hanya dipimpin oleh seorang muslim yang baik dan pro rakyat, tetapi haruslah ada seorang pemimpin muslim yang memimpin dalam sistem Islam.
Mengutip pernyatan mantan ketua Mahkamah Konstitusi, Mahfud MD, “Saat biaya politik semakin mahal, elite juga semakin jelek karena sistem yang dibangun mendorong ke arah korupsi. Malaikat masuk ke dalam sistem Indonesia pun bisa jadi iblis juga”.
Pernyataannya ini tentu sangat relevan sampai kapanpun, selama Indonesia masih menerapkan sistem demokrasi, tak peduli sebaik apapun individu yang memimpinnya.
Perpolitikan sebuah negara tentu sangat dinamis, bahkan ia bisa saja diubah sewaktu-waktu. Dasar Negara yang begitu dikeramatkan oleh sebagian orang saja sudah mengalami amandemen atau perubahan sebanyak empat kali.
Islam seharusnya diberikan kesempatan untuk menjadi asas perpolitikan dan pemerintahan di negeri ini, mengingat Sosialisme pun pernah diterapkan. Kapitalisme sebagai induk dari demokrasipun masih diterapkan hingga saat ini, meskipun kebobrokan dan kecacatannya semakin terlihat.
Pemimpin yang benar-benar akan mengabdikan dirinya untuk rakyat, termasuk di dalamnya adalah wong cilik, tak akan bisa terwujud dalam sistem demokrasi. Islam dengan segenap kesempurnaan pengaturannya yang bersumber dari Alquran dan Sunnah Rasulullah tentu sangat berbeda dengan demokrasi yang begitu dipengaruhi oleh berbagai kepentingan.
Pemimpin dalam sistem Islam in syaa Allah tidak mungkin mengkhianati rakyat dengan berbagai lip-service.
Oleh karena itu, masyarakat juga harus sadar bahwa #2019GantiPresiden tak akan cukup, melainkan yang sepatutnya dilakukan adalah #2019GantiSistem karena otomatis pemimpinnya pun akan berganti.[MO/im]