Revolusi| Mediaoposisi.com- Demokrasi yang kita kenal selama ini merupakan fakta atau fiktif? Sebuah pertanyaan yang perlu kita telusuri jawabannya. Dimana hingga saat ini masih banyak khalayak yang memujanya dan mendeklarasikan sistem demokrasi ialah final dan sudah baik. Benarkah demikian?
Berangkat dari definisi demokrasi yaitu sebuah bentuk pemerintahan, dimana semua warga negaranya memiliki hak setara dalam pengambilan keputusan yang dapat mengubah hidup mereka.
Demokrasi mengizinkan warga negara berpartisipasi baik secara langsung atau melalui perwakilan dalam perumusan, pengembangan, dan pembuatan hukum.
Demokrasi berasal dari bahasa Latin: demos (rakyat) dan kratos (pemerintahan). Demokrasi selalu diasosiasikan sebagai suatu bentuk pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat. Demokrasi digadang-gadang sebagai sebuah sistem politik dan pemerintahan terbaik saat ini.
Baca Juga : Demokrasi dan Tikus Berdasi
Demokrasi tumbuh begitu pesat ketika Eropa bangkit pada Abad Pencerahan. Pada masa itu, muncul sejumlah pemikir yang mendukung berkembangnya demokrasi seperti John Locke dari Inggris (1632-1704) dan Montesquieu dari Prancis (1689-1755).
Pada masa itu pula, lahir pemikiran-pemikiran besar tentang relasi antara penguasa dan rakyat, atau negara dan masyarakat.
Ide demokrasi terus mengalir hingga ke Timur Tengah pada pertengahan abad ke-19. Gagasan demokrasi itu dibawa ke negara-negara berpenduduk Muslim oleh para pemikir Islam yang mempelajari budaya Barat.
Salah satunya adalah Muhammad Abduh (1848-1905), yang menekankan pentingnya umat Islam untuk mengadopsi hukum-hukum Barat secara selektif.
Jika menimbang penerapan demokrasi pada hakikatnya , justru makna kleptokrasi yang lebih tepat disematkan untuk demokrasi dalam tataran real aplikasinya. Fakta menunjukkan sistem ini melahirkan dominasi dan kekuatan para pemilik modal. Yang kemudian selalu sukses ‘mencuri’ kedaulatan rakyat atas nama demokrasi.
Itulah yang terjadi di Amerika Serikat sendiri sebagai negara kampiun demokrasi. Ralph Nader, pada tahun 1972 menerbitkan buku Who Really Runs Congress? Buku ini menceritakan betapa kuatnya para pemilik modal mempengaruhi dan membiayai lobi-lobi Kongres.
Kenyataan ini diperkuat oleh The Powergame (1986) karya Hedrick Smith yang menegaskan bahwa unsur terpenting dalam kehidupan politik Amerika adalah: (1) uang, (2) duit, dan (3) fulus.
Akibatnya, kedaulatan rakyat sesungguhnya hanya jargon ilusi belaka. Sebab, yang berdaulat pada akhirnya pastilah para pemilik modal.
Antara filosofi demokrasi dan kiprahnya acap kali tak sehaluan. Dalam negara demokrasi, yang sering berlaku adalah hukum besi oligarki: sekelompok penguasa saling bekerja-sama untuk menentukan kebijakan politik sosial dan ekonomi negara tanpa peduli dan bertanya bagaimana aspirasi rakyat yang sebenarnya.
Baca Juga : Ilusi Janji Jokowi
Lalu, praktik demokrasi yang ada ialah menciptakan kerusakan demi kerusakan secara bersinambungan. Yang benar dihakimi bersalah. Yang salah disanjung benar. Seorang Kyai bisa disamakan ratakan dengan penjahat yang dikriminalisasi.
Sebaliknya, seorang durjana bisa diatur menjadi insan mulia dan terpuji dalam demokrasi ini.
Demokrasi membuat orang menjadi gila jabatan. Rela merebutnya dengan cara hina sekalipun asalkan tercapai ambisinya. Demokrasi membuat pejabat lupa daratan saat berhasil mencapai puncak kekuasaan. Tak peduli lagi pada janji saat berkampanye.
Sebaliknya justru sibuk mengoptimalkan kepentingan dirinya atau kelompok/partainya daripada kepentingan umum/rakyat.
Demokrasi pula yang menyuburkan pejabat dan kerabatnya, tapi mengabaikan rakyat kecil. Kasus korupsi semakin menjadi-jadi. Mereka pun menghamburkan uang rakyat untuk pesta-pesta demokrasi yang sangat mahal. Bahkan pesta demokrasi merupakan pesta termahal dari pesta apapun yang ada di dunia.
Demokrasi mengutamakan hukum manusia daripada hukum Allah. Seolah akal manusia yang lemah dan terbatas mahir dalam menerbitkan aturan kompleks untuk segala persoalan hidup manusia. Namun faktanya, lahirlah kebobrokan demi kebobrokan di semua pilar kehidupan tanpa terkecuali.
Problem kemiskinan semakin mustahil dituntaskan. Dan mereka pun dilarang untuk sakit. Banyaknya korban berjatuhan akibat tak ada biaya untuk kesembuhan penyakitnya. Pendidikan pun semakin mahal. Namun tak seirama melahirkan generasi yang cerdas dan bermoral.
Tingkat kriminal semakin merajalela. Kasus narkoba yang tak pernah usai. HIV Aids dan penyakit kelamin yang diakibatkan oleh seks bebas juga homoseksual dan lesbian yang mereka perjuangkan legalitasnya. Dan deretan kerusakan lainnya.
Inilah bukti bahwa demokrasi yang saat ini dianggap maha benar hanya mampu melahirkan kecacatan. Jargon pesonanya hanyalah ilusi.
Tak nyata melainkan sekadar fiksi dan khayalan belaka. Lalu pertanyaannya sekarang, masihkah kita terus saja bersiteguh dalam membela dan mempertahankan demokrasi?[MO/ns]