Oleh: Sayyida Marfuah
Mediaoposisi.com- Mengerikan, sampai saat ini, utang Indonesia terus meningkat, catatan utang pemerintah Indonesia ramai menjadi pembahasan berbagai kalangan. Banyak yang khawatir hal tersebut bakal mengganggu kedaulatan negara, ada juga yang optimistis utang yang ditarik pemerintah masih produktif.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Riza Annisa Pujarama mengungkapkan, saat ini utang luar negeri Indonesia terus mengalami kenaikan cukup signifikan, yakni mencapai Rp 7.000 triliun, jumlah tersebut merupakan total utang pemerintah dan swasta.
Dari sisi Pemerintah, utang tersebut digunakan dalam rangka menambal defisit anggaran pemerintah. Sementara utang swasta dilakukan oleh korporasi dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).
Sementara itu, Fuad Bawazir, mantan Menkeu mengatakan bahwa Pemerintah selalu berdalih bahwa utang negara yang kini berjumlah Rp 4.000 triliun atau sekitar 29,5% dari PDB adalah masih jauh dibawah ketentuan Undang-undang Keuangan Negara yang batas maksimalnya 60% PDB, dan jauh pula dibawah ratio utang negara-negara lain.(Republika, 24/03/2018)
Tidak bisa dipungkiri, besaran utang luar negeri yang dihadapi oleh Indonesia tengah menjadi perhatian. Salah satunya adalah utang luar negeri yang digunakan untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur di Indonesia.
Peneliti di Institute for Fevelopment of Economics and Finance (INDEF) Rizal Taufikurahman mengungkapkan, ada beberapa negara yang telah menggunakan skema utang dalam membiayai pembangunan infrastruktur, mulai dari Jepang, China, Korea Selatan, Angola, Zimbabwe, Nigeria, Sri Lanka.
Akan tetapi pembiayaan infrastruktur melalui utang luar negeri tak selalu berjalan mulus, ada beberapa negara yang gagal bayar atau bangkrut. Adapun kisah pahit negara yang gagal membayar utang dari utang luar negeri adalah Zimbabwe yang memiliki utang sebesar 40 juta dollar AS kepada China.
Akan tetapi Zimbabwe tak mampu membayarkan utangnya kepada China, hingga akhirnya harus mengganti mata uangnnya menjadi Yuan sebagai imbalan penghapusan utang.
Menanggapi berbagai kekhawatiran tersebut, Sri Mulyani berharap bahwa kita perlu mendudukkan masalah agar masyarakat dan elit politik tidak terjangkit histeria dan kekhawatiran berlebihan yang menyebabkan kondisi masyarakat menjadi tidak produktif (Detik.com).
Gali lubang tutup lubang nampaknya cocok untuk menggambarkan kondisi utang Indonesia. Sayangnya utang yang ditutup lebih besar, sehingga utang kecil yang baru ditarik hanya cukup untuk membayar bunga utang terdahulu.
Bahaya Utang
Perlu dipahami bahwa utang sejatinya merupakan alat penjajahan yang akan menghilangkan kemandirian suatu negara, disamping itu utang juga berbahaya bagi kedaulatan dan fundamental ekonomi bangsa.
Dampak kenaikan utang dan pembayaran cicilan berbasis riba produk kapitalisme akan terus dirasakan oleh bangsa ini, bukan untuk kemajuan tapi justru menghasilkan kehancuran suatu bangsa, yakni:
Pertama, dalam jangka pendek, akan terjadi alokasi yang salah dan menyebabkan ketimpangan. Alokasi yang timpang terjadi karena seharusnya APBN digunakan untuk prioritas belanja publik demi kesejahteraan masyarakat dan pembangunan, namun justru uang habis digunakan untuk membayar utang.
Kedua, dalam jangka menengah, utang pemerintah akan semakin memberi ketergantungan yang menakutkan bagi APBN. Pembayaran utang pokok dan cicilan justru akan semakin membebani APBN, disamping itu, alokasi dana untuk membayar bunga utang pun akan melanggengkan riba yang merapuhkan pembangunan.
Ketiga, dalam jangka panjang yang paling ditakutkan adalah bahwa ekonomi dan keuangan APBN kita sangat tergantung kepada asing. Sehingga, kebijakan ekonomi dan pengelolaan kemajuan dapat disetir oleh asing. Misalnya, jika jatuh tempo dan tidak bisa membayar cicilan dan bunga, maka negara secara mudah akan tergadaikan untuk membayar utang.
Bagaimana Mengatasi Defisit Anggaran?
Defisit anggaran adalah problem universal, yakni dapat terjadi di negara manapun tanpa melihat ideologinya, baik di negara kapitalis sekuler, negara sosialis komunis, maupun di negara khilafah yang menerapkan Islam secara kafah (komprehensif), yang membedakan adalah faktor-faktor penyebabnya dan solusi praktis untuk mengatasi persoalan berdasarkan perspektif ideologi masing-masing.
Solusi universal untuk mengatasi problem defisit anggaran ada tiga macam, yaitu: menambah pendapatan, mengurangi belanja, dan berutang baik utang luar negeri maupun utang dalam negeri. Di negara-negara kapitalis, cara menambah pendapatan pada umumnya adalah meningkatkan pajak, dan kadang dengan mencetak mata uang.
Untuk konteks Indonesia, cara yang ditempuh untuk mengatasi defisit yang pertama adalah meningkatkan pajak dan berutang, kedua, mencari sumber alternatif pendapatan. Pemerintah tidak banyak menggali potensi selain pajak (misal SDA) untuk menambah sumber pemasukan tapi justru memilih menaikkan pendapatan dari pajak yang membebani dan memiskinkan rakyat.
Padahal Indonesia adalah negeri yang kaya sumber daya alamnya yang apabila dikelola sendiri oleh pemerintah, akan menghasilkan pendapatan negara yang sangat besar. Bisa jadi pemerintah tidak perlu berutang lagi untuk mensejahterakan rakyatnya.
Namun fakta yang terjadi di Indonesia sangat memprihatinkan. Mulai dari sektor pangan, air minum, energi, kesehatan, pendidikan, hingga perbankan dan keuangan dikuasai asing. Regulasi yang mestinya berazaskan UUD 1945 menjelma menjadi kebijakan yang dikendalikan asing melalui UU Sumber Daya Alam, UU Penanaman Modal Asing, UU Minerba, dll.
APBN Dalam Islam
APBN dalam artian rencana pendapatan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran, tidak pernah dikenal kaum muslimin dalam sejarah Islam. Yang dikenal dalam Islam adalah institusi Baitul Mal. Namun, fungsi Baitul Mal ini ternyata memiliki kesamaan dengan fungsi APBN, yaitu mengelola pendapatan dan pengeluaran negara. Hanya ada beberapa perbedaan antara keduanya terkait dengan jenis-jenis pendapatan, besaran dana untuk pengeluaran, periode, dan keterikatan dengan syariah Islam.
Solusi Islam Mengatasi Defisit Anggaran
Cara sistem islam mengatasi defisit anggaran ini adalah sebagai berikut:
Pertama, meningkatkan pendapatan dengan tetap mengacu kepada hukum-hukum syariah. Paling tidak ada 4 (empat) cara yang bisa ditempuh:
Mengelola harta negara dengan tetap menonjolkan fungsinya sebagai pelayan rakyat.
Khalifah melakukan hima, yakni pengkhususan terhadap suatu harta untuk suatu keperluan khusus dan tidak boleh digunakan untuk kepentingan lainnya.
Menarik pajak sesuai ketentuan syariah. Pada dasarnya pajak bukanlah pendapatan negara yang bersifat tetap, melainkan bersifat insidentil atau temporer, yaitu ketika dana Baitul Mal tidak mencukupi.
Mengoptimalkan pemungutan pendapatan yang sebelumnya sudah berlangsung. Misalnya pendapatan dari zakat, fa’i, kharaj, jizyah, harta milik umum, ‘usyur, dan sebagainya.
Kedua, menghemat pengeluaran, khususnya pengeluaran-pengeluaran yang dapat ditunda dan tidak mendesak. Contohnya pengeluaran untuk kepentingan yang sifatnya penyempurna, yang patokannya adalah kepentingan yang jika tidak dilaksanakan tidak menimbulkan bahaya bagi rakyat.
Ketiga, berutang. Khalifah secara syar’i boleh berutang untuk mengatasi defisit anggaran, namun tetap wajib terikat dengan hukum-hukum syariah. Haram hukumnya khalifah mengambil utang luar negeri, baik dari negara tertentu, misalnya Amerika Serikat, atau dari lembaga keuangan internasional seperti IMF dan Bank Dunia, karena utang tersebut pasti mengandung riba yang telah jelas keharamannya (QS al Baqarah : 275) dan pasti mengandung syarat-syarat yang menghilangkan kedaulatan negeri yang berutang yang mana hal ini jelas diharamkan karena Islam mengharamkan segala jalan yang mengakibatkan kaum kafir mendominasi kaum muslim (QS an Nisa :141).
Khalifah hanya boleh berutang dalam kondisi ada kekhawatiran terjadinya bahaya jika dana di Baitul Mal tidak segera tersedia. Kondisi ini terbatas untuk 3 (tiga) pengeluaran saja, yaitu: (1) untuk nafkah fuqara, masakin, ibnu sabil, dan jihad fi sabilillah; (2) untuk membayar gaji orang-orang yang memberikan jasa atau pelayanan kepada negara seperti pegawai negeri, para penguasa, tentara, dll; (3) untuk membiayai dampak peristiwa luar biasa, seperti menolong korban bencana alam.[MO]