Oleh : Fitri, S.I.Kom
Mediaoposisi.com-Wacana sertifikasi pernikahan sebagai salah satu syarat pernikahan yang sah akan diterapkan 2020. Usulan ini berawal dari Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy. Untuk mendapatkan sertifikat tersebut, calon pasangan perlu untuk melangsungkan pelatihan pranikah terlebih dahulu.Muhajir menyampaikan tujuan dari program tersebut antara lain untuk membekali calon pasangan suami istri terkait ekonomi keluarga, kesehatan reproduksi, pengasuhan anak, hingga dapat menekan angka perceraian, stunting atau gizi buruk, dan hal-hal yang dapat mengganggu kesehatan ibu dan anak.
Faktanya memang, Indonesia hingga kini masih berjibaku dengan permasalahan ini. Angka perceraian yang meningkat setiap tahun, juga persoalan gizi buruk yang tidak berkesudahan dan sebagainya.
Kepala Humas Pengadilan Agama Banjarmasin Bahtiar MH di Banjarmasin, mengatakan, pada 2018 tingkat perceraian baik cerai gugat maupun talak yang telah diputus pengadilan mencapai 2.310 kasus. Sedangkan pada 2019 hingga Juni mencapai 1.150 kasus perceraian lebih, dengan penyebab perceraian karena gugat dan talak. "Rata-rata setiap bulan, ada sekitar 140-150 kasus perceraian yang masuk ke Pengadilan Agama Banjarmasin," katanya. (Liputan6.com, 03/07)
Dalam sambutan Gubernur Kalimantan Selatan pada acara yang diselenggarakan oleh Kementerian PPPA RI bulan Oktober lalu, disebutkan bahwa hingga Oktober 2019 angka kekerasan di lingkup rumah tangga mencapai 66% dari 188 kasus kekerasan. Yang mana ini turut menyumbang angka perceraian di Kalimantan Selatan. (Kanal Kalimantan, 22/11).
Riset Kesehatan Dasar 2018 yang disampaikan oleh Kadinkes Kalsel H Muslim pada acara seminar pencegahan nikah di usia dini Juli 2019 yang lalu, menyebutkan angka prevalansi terbilang tinggi. Yakni 30,8% untuk prevalansi bayi stunting dan 10,2% untuk balita kurus. Kalsel sendiri menempati nilai prevalansi diatas nasional yaitu mencapai 33,2% . Hal ini terjadi menurutnya dikarenakan sang ibu melahirkan bayi di usia muda. Adapun di Provinsi Kalsel sendiri, Kabupaten HSU menempati urutan tertinggi angka pernikahan dini di usia 12-16 tahun. (BPost, 03/07)
Menurut data yang dirilis oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA), Provinsi Kalimantan Selatan menjadi provinsi dengan jumlah perkawinan anak tertinggi di Indonesia yaitu 39,53 persen. Angka perkawinan anak Indonesia sendiri merupakan yang tertinggi ke-7 se-dunia dan yang tertinggi ke-2 se ASEAN. (CNN, 09/03)
Benarkah Negara Peduli Urusan Rumah Tangga Rakyatnya?
Jika dicermati, semua kasus di atas faktanya bukan merupakan kasus yang berdiri sendiri alias tunggal. Melainkan sistemik, ciri khas potret masyarakat sekuler, membentuk benang kusut yang sulit untuk diurai.
Kebijakan negara terkait ekonomi misalnya, ternyata berkaitan erat dengan salah satu alasan yang mendominasi terjadinya perceraian dalam rumah tangga, yakni masalah ekonomi. Ketiadaan lapangan kerja, naiknya harga bahan-bahan pokok yang terjadi terus menerus, jauhnya harapan kesejahteraan untuk rakyat adalah menjadi tanggung jawab negara dalam menyelesaikannya.
Para ibu, dengan berbagai alasan (baik keinginan maupun keterpaksaan) ramai-ramai keluar dari rumahnya untuk berbagi kesempatan mengais rezeki. Dari yang dilatarbelakangi membantu suami hingga hanya memuaskan eksistensi diri. Membuat para ibu sedikit banyak kehilangan momen spesial bersama anak, tidak selalu dapat membersamai tumbuh kembang anak dan sebagainya. Perannya sebagai Ummun warobbatul bait pun sulit terjalankan dengan sempurna.
ADB (Assosiation Development Bank) dalam laporan terbarunya (7/11) menyebutkan bahwa pada 2016-2018 sekitar 22 juta orang di Indonesia masih menderita kelaparan. Anak-anak mereka mengalami kekurangan gizi dan menderita stunting. (Media Umat, 15/11).
Rendahnya penghasilan memicu orang tua tak mampu mencukupi asupan gizi anak. Maka dari itu, negara pun semestinya juga menjamin ekonomi rakyat. Ibu bisa berfokus pada gizi dan pendidikan anak. Sementara ayah bekerja memenuhi kebutuhan keluarganya.
Kemudian mengenai nikah dini. Nikah dini di sistem saat ini adalah efek pergaulan yang serba bebas. Bila cermat memandang masalah, kasus nikah dini banyak terjadi pada anak-anak yang hamil di luar nikah. Pergaulan bebas membuat mereka mudah melakukan zina, namun tak siap mengemban tugas sebagai orang tua di masa berikutnya. Tersebab rendahnya moral remaja dan jauhnya mereka dari aturan pergaulan Islam.
Sehingga dari sini patut ditanyakan, benarkah pemerintah memang peduli terhadap pembentukan keluarga atau rumah tangga rakyatnya? Terlebih sertifikasi nikah membuka peluang sangat besar bagi pegiat keseteraan gender untuk memasukkan pemahamannya melalui materi yang diberikan yaitu materi yang sarat dengan perspektif gender. (Tirto.id)
Program deradikalisasi juga masuk ke dalam sertifikasi nikah nantinya, yakni akan ada materi yang berkaitan dengan moderasi agama, yaitu pemahaman keagamaan yang bersifat inklusif. Sangat mungkin juga program ini menjadi lahan baru korupsi. Tak lulus sertifikasi misalnya, jalan suap bisa saja dilakukan demi hajat menikah nantinya.
Rumah Tangga Muslim di dalam Negara Islam
Menikah adalah ibadah. Semestinya negara memberi kelonggaran menjalankan ibadah separuh agama tersebut. Sertifikasi nikah tidak akan menyelesaikan persoalan keluarga, kesehatan, ataupun agama. Sebab, pangkal persoalannya bermula dari sistem kehidupan yang diterapkan.
Syariat Islam yang di implementasikan secara kaffah dalam seluruh aspek kehidupan menjadi visi negara di dalam negara Islam. Di bidang ekonomi negara menerapkan sistem ekonomi Islam yang dapat menjamin finansial melalui hukum pernafkahan keluarga khususnya untuk ibu dan anak, sehingga ibu dapat fokus dalam pengasuhan anak-anaknya. Di bidang sosial, negara menerapkan sistem pergaulan yang menjaga interaksi laki-laki dan perempuan sehingga seluruh anggota masyarakat bisa bekerjasama dengan produktif dan membawa kebaikan bagi peradaban.
Sistem pendidikan yang diterapkan, akan mampu mengokohkan jati diri umat Islam sebagai insan yang bertaqwa dengan asas pendidikannya yang berbasis penguatan aqidah islamiyah. Di bidang hukum dan keamanan, negara akan menerapkan sistem sanksi Islam yang berdimensi dunia akhirat. Sistem sanksi inilah yang akan menjadi penjamin tegaknya seluruh hukum-hukum Islam di berbagai aspeknya. Terakhir menerapkan sistem khilafah sebagai penegak sekaligus penjaga hukum syara yang bersifat independen adalah dari segi politiknya.
Inilah gambaran pengaturan sistem Islam dalam menjamin ketahanan keluarga, yang hari ini justru dicampakkan. Sungguh, hanya Islam satu-satunya harapan umat yang semestinya diperjuangkan oleh siapapun yang menghendaki kebaikan.[MO/dp]
Referensi :