Oleh: Endiyah Puji Tristanti, S.Si
(Penulis dan Pemerhati Politik Islam)
Mediaoposisi.com-Pada tahun 1997, Runnymede Trust seorang Inggris mendefinisikan Islamophobia sebagai rasa takut dan kebencian terhadap Islam dan juga pada semua muslim. Dinyatakan bahwa hal tersebut juga merujuk pada praktik diskriminasi terhadap muslim dengan memisahkan mereka dari kehidupan ekonomi, sosial, dan kemasyarakatan bangsa.
Hasil riset menunjukkan dunia global kian takut akan simbol-simbol keagamaan (viva.co.id, 16/07/2019). Berdasarkan laporan tersebut, terdapat orang-orang beragama Kristen yang dilecehkan di 143 negara dan orang-orang Islam di 140 negara.
Selama dekade 2007 hingga 2017, pembatasan yang diberlakukan oleh pemerintah setempat yang mencakup undang-undang, kebijakan, dan tindakan oleh pejabat negara yang membatasi keyakinan dan praktik keagamaan meningkat tajam di seluruh dunia, menurut laporan lembaga yang bermarkas di Washington DC ini.
Pada 2017 terdapat 56 negara yang mengalami konflik sosial yang melibatkan agama, jumlah ini naik dari 39 pada 2007. Peningkatan paling signifikan untuk periode 2007-2017 bisa dilihat di Eropa, dimana 20 negara membatasi pakaian yang berhubungan dengan agama termasuk burqa dan cadar yang dikenakan oleh beberapa wanita muslim. Padahal kasus semacam ini hanya ada di lima negara pada 2007.
Bagaimana dengan Indonesia? Tidak berbeda. Islamophobia terus diperluas oleh rezim. Contohnya komitmen pemerintah untuk mengejar para penyebar paham Khilafah disampaikan langsung oleh Menko Polhukam Wiranto. Secara tegas Wiranto (19/7) menyatakan bahwa pihak yang masih menyebarkan gagasan khilafah mendapatkan konsekuensi hukum.
Sebelumnya (13/3), mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), AM Hendropriyono, juga sempat mendesak pemerintah agar segera menyiapkan regulasi yang mengatur sanksi untuk eks HTI. Hal ini untuk mengantisipasi agar eks HTI tak lagi menyebarkan paham Khilafah.
Termasuk tokoh islam moderat, Ma'ruf Amin tak mau ketinggalan turut latah resistensi dengan gagasan Khilafah. Ma'ruf (17/7) menjelaskan tanpa dasar argumentasi bahwa penyebab paham Khilafah tidak berhasil atau tertolak di Indonesia karena menghalangi kesepakatan bersama.
Demikianlah negara-negara sekuler termasuk negara mayoritas muslim Indonesia, menunjukkan impotensi mereka dalam mengamankan hak-hak kewarganegaraan muslim dan membangun identitas komunitas mereka.
Pernyataan seperti “we love Islam and muslim – its just the terrorists we hate” sebenarnya didesain untuk rekayasa sosial menciptakan atmosfer merendahkan Islam dan pembenaran untuk melanggar kehormatan dan hak muslim. Melecehkan rasionalitas dan membangun ketidakwarasan rezim global demi justifikasi demokrasi yang sebenarnya telah membusuk. Keadaan ini harus segera dihentikan.
Khilafah Alternatif Tunggal
Masih relevan dengan temuan dari survei yang baru dirilis Pew Research Center tentang kinerja sistem demokrasi yang jelas negatif di banyak negara. Dari 27 negara yang disurvei, sebanyak 30.133 orang di 27 negara dari 14 Mei hingga 12 Agustus 2018 menunjukkan lebih banyak orang di seluruh dunia tidak puas daripada puas dengan cara demokrasi bekerja di negara mereka.
Organisasi dari Freedom House hingga Economist Intelligence Unit hingga V-Dem telah mendokumentasikan penurunan global dalam kesehatan demokrasi.
Namun, rezim di seluruh dunia tetap enggan mengakui kegagalan demokrasi mempromosikan kesejahteraan, keadilan, dan pemenuhan hak-hak beragama. Tidak fair, Islam khususnya Islam politik justru dijadikan kambing hitam untuk menutupi borok demokrasi.
Sejak Khilafah dihancurkan dan politik Barat yang sekuler diterapkan sama saja Islam telah dikubur, sistem dan hukumnya serta umatnya dimusnahkan termasuk nilai-nilai, peradaban dan risalahnya. Upaya penyesatan (politik) Islam menjadi agenda utama Barat mencegah kebangkitan Islam. Meski demikian hasilnya Islam politik tetap meluas di berbagai penjuru dunia.
Sebab keluhuran konsep Islam dalam politik mempunyai makna mengatur urusan umat, baik dalam maupun luar negeri. Jaminan hak-hak hidup, dan hak-hak beragama serta berpolitik kaum Muslimin terjaga. Politik dilaksanakan baik oleh negara maupun umat. Negara mengurus kepentingan umat, sementara umat melakukan koreksi terhadap pemerintah.
Membangun arus Khilafah juga mengharuskan para penyerunya mempromosikan ideologi Islam tanpa keraguan. Meski bermakna harus menghadapi kebrutalan rezim yang kehilangan kewarasan. Resiko perjuangan, "isy karimun aumut syahidan" hidup mulia mendapat keridhoan Allah SWT atau mati syahid dengan jaminan Jannah.
Mendudukkan kepada umat bahwa sesungguhnya ideologi dunia hanyalah Islam, Kapitalisme dan Sosialisme-Komunisme.
Ideologi di luar ketiganya hanyalah ideologi turunan dan campuran, ideologi gado-gado. Dan ideologi yang shahih hanyalah Islam. Selain ideologi Islam pasti cacat tanpa memiliki kemampuan menyelesaikan problematika dunia. Suatu umat yang salah mengadopsi ideologi sama saja menyiapkan dirinya terjajah, terlibas, kalah dan punah.
Memperhatikan Indonesia. Sebuah bangsa dengan kekayaan alam melimpah dan potensi demografi yang besar, tetap tak pernah beranjak menjadi negara maju. Hanya satu sebabnya karena Indonesia salah memilih ideologi, tertipu oleh kamuflase ideologi sosialisme komunisme dan kapitalisme sekulerisme.
Mempertahankan demokrasi bermakna mempertahankan ketidakwarasan rezim global pengidap islamophobia. Sudah saatnya tanpa jeda, komparasi sistem demokrasi dan sistem khilafah menjadi fokus diskusi ilmiah, akademik, hukum dan politik. Secara terbuka dan massif upaya sosialisasi dan kulturisasi gagasan khilafah sebagai sebuah sistem bernegara.
Kelompok-kelompok dakwah yang bersungguh-sungguh merealisir agenda besar umat menegakkan Khilafah penting diberi ruang untuk membesarkan tubuhnya dan pengaruhnya. Seperti Hizbut Tahrir misalnya. Umat harus terus berada di sekitarnya mendukung perjuangannya.
Pilihan umat hanya satu di antara dua pilihan. Terus mempertahankan ketidakwarasan rezim global memotong-motong eksistensi Islam dan kaum muslimin melakukan bunuh diri politik. Atau bersinergi mengembalikan Khilafah Islamiyah dalam kancah politik global memutus eksistensi penjajahan dan kedzoliman seluruh rezim global semata mengharapkan keridhaan Allah SWT dan Rasul-Nya.
Wallaahu a'lam bish shawab. [MO/sg]