Oleh : Sitti Ardianty Rauf
(Aktivis Dakwah Kampus)
Mediaoposisi.com- Merekahnya prostitusi di balik megahnya bintang televisi tidak cukup mengisi pundi-pundi untuk memenuhi gaya hidup tinggi. Menawarkan diri tidak lagi menjadi ironi di negeri ini. Dilansir di tribunnews.com (10/01/2019)
kedua mucikari prostitusi online terselubung itu menceritakan saat menggaet sederet wanita cantik, termasuk artis Ibu Kota hingga Selebgram. Menurut pengakuan kedua mucikari artis itu, mereka tidak merekrut para artis dan Selebgram untuk bergabung. Justru, mereka mengatakan para artis dan Selebgram lah yang menawarkan diri.
Tidak mengajak, ya, tetapi mereka (artis dan model) yang menawarkan diri, ungkap Tantri. Mucikari Siska mengaku bersama Tantri hanya sebagai penghubung antara para artis dan pengguna jasa. Jika kita melihat praktik prostitusi ini, tentu karena konstitusi yang dianut terdapat kebebasan berindividu (personal freedom).
Sekalipun perbuatan ini diharamkan dalam agama tapi ketika itu tidak menganggu orang lain maka tidak ada masalah karena kembali lagi pada asas individualisme. Terdapat hak asasi yang perlu dibebaskan untuk setiap perbuatan individu.
Inilah buah diterapkannya sistem yang tak lagi memandang segala perbuatan harus berlandaskan pada aturan yang mengatur seluruh tatanan kehidupan manusia terlebih sebagai makhluk ciptaan sang Pencipta. Diberikannya aturan untuk manusia untuk menjadikannya makhluk mulia dan akal yang
menstandarkan segala sesuatu pada wahyu Ilahi akan lemah dan terbatasnya dia sebagai makhluk.
Kembali pada standarisasi perbuatan hari ini, tentunya tak jauh dari hukum apa yang tereksekusi. Demokrasi yang menjadi pedoman malah menjadikan seseorang tidak lagi menggunakan peraturan mulia di tengah krisisnya tindakan dia sebagai individu, begitu pun dalam bermasyarakat apatah lagi bernegara. Karena tolok ukurnya adalah memisahkan agama dari kehidupan dan memisahkan agama dari negara.
Jeritan hidup eksis dan hedonis menjadikan praktis pemikiran tak lagi humanis. Permasalahannya, tindakan kriminal ini tidak mendapat saksi tegas dan efek jera yang mampu menyelesaikan persoalan yang sedari dulu mewabah di negeri ini. Terlebih pelaku yang cerminannya sebagai publik figur tidak memberi contoh dan teladan yang baik kepada masyarakat akan tindakan haram yang dilakukan.
Jika kita melihat bagaimana sistem Islam memberi hukuman kepada pezina perempuan dan laki-laki yang belum menikah adalah seratus kali deraan. Adapun yang telah menikah dirajam bebatuan hingga mati.
Demikian pula telah ternaskan dalam hadits Nabi bahwasanya jika hukuman qishash ini belum dilaksanakan bagi keduanya di dunia dan keduanya mati dalam keadaan tidak bertaubat dari dosa zina itu, niscaya keduanya akan diadzab di neraka dengan cambuk api.
Inilah hukum yang pastinya tidak akan membuat orang berpikir untuk melakukan perbuatan haram tersebut apalagi malah menjadikannya sebagai pekerjaan. Diberlakukannya tindakan preventif yaitu efek jera sekaligus penebus dosa di dunia semakin menjauhkan seseorang dari perbuatan keji lagi haram.
Solusi tuntas untuk negeri ini tentunya membutuhkan penerapan sistem yang utuh dan memuliakan individu, masyarakat hingga negara. Islam sebagai agama yang memiliki aturan hidup yang lengkap dan ideologi yang cemerlang akan menghasilkan peradaban yang luar biasa. Sebagaimana kita melihat ketika Islam pernah menguasai dua pertiga dunia dengan menerapkan aturan dari Allah Swt. Tentunya bukan hanya memuliakan kaum muslim dan non muslim tapi seluruh alam. (MO/ra)