Oleh: Lia Destia
Mediaoposisi.com-Pemerintah pada sebuah negara tentunya memiliki seperangkat program yang tidak bisa dilepaskan dari aspek kebijakan.
Kebijakan dalam hal ini adalah kebijakan publik yang secara prinsip diartikan sebagai “Whatever government choose to do or not to do“. Selain itu kebijakan publik juga bisa diartikan dengan seperangkat tindakan pemerintah yang didesain untuk mencapai hasil-hasil tertentu. Salah satunya dalam hal ini yaitu persoalan infrastruktur.
Infrastruktur termasuk ke dalam sebuah program dan diatur oleh kebijakan dari sebuah pemerintahan. Infrastruktur merupakan sistem fisik yang menyediakan transportasi, pengairan, drainase, bangunan gedung dan fasilitas publik lainnya, yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia baik kebutuhan sosial maupun kebutuhan ekonomi.
Ketika pemerintah menerapkan seperangkat aturan atau program yang didasarkan dengan ideologi yang lurus dan terbukti mensejahterakan rakyat, maka tentunya apapun yang dihasilkan akan berujung baik. Namun di sistem demokrasi yang dibalut dengan ekonomi kapitalis seperti saat ini, apakah infrastruktur yang dicanangkan oleh pemerintah benar-benar dibangun untuk mensejahterakan rakyatnya?
(Minggu, 6/1/2019) Menteri Perhubungan RI, Budi Karya Sumadi yang mengatakan bahwa salah satu prestasi pemerintah yang berhasil dicapai pada tahun 2018 adalah selesainya pembangunan Jalan Tol Trans Jawa yang menghubungkan Jakarta dan Surabaya.
Didalam sambutannya pada perayaan puncak Hari Ulang Tahun (HUT) Ke-58 PT Jasa Raharja bertajuk 'Fun Walk HUT Ke-58 Jasa Raharja, Menteri Budi mengatakan bahwa prestasi tersebut merupakan prestasi yang luar biasa.
"Bahwa kita berhasil membuat tol Jakarta-Surabaya, satu prestasi yang luar biasa," ujar Budi Karya.
Ditengah gembiranya Menteri Budi yang mengatakan dengan bangga bahwa pembangunan jalan tol tersebut merupakan prestasi yang luar biasa, ada satu hal yang cukup mengganjal apalagi bagi rakyat kelas menengah ke bawah, yakni soal tarif tol.
(Sabtu, 22/12/2018), dari ruas tol Jakarta-Cikampek sampai ruas tol Mojokerto-Surabaya pengendara akan menghabiskan total Rp 474.000. Sedangkan bagi pengendara yang berangkat dari Merak atau melanjutkan perjalanan hingga ruas tol Gempol-Pasuruan akan ditambah biaya sekitar Rp 88.000.
Biaya ini merupakan harga yang cukup mahal bagi para pengendara. Bahkan sama dengan harga tiket pesawat Jakarta-Surabaya.
Kalau sudah begini, apakah bisa pembangunan jalan tol dengan tarif sebanyak itu merupakan pembangunan yang pro-rakyat? Itulah satu contoh kecil hasil dari ideologi demokrasi yang dibalut dengan paham kapitalisme. Lalu bagaimana dengan sistem Islam?
Dalam membangun infrastruktur memang tidak bisa lepas dari sistem ekonomi yang diterapkan pada sebuah negara. Tentunya di dalam kekhilafahan Islam, sistem ekonomi yang diterapkan akan sesuai dengan syariat Islam secara kaffah dan murni yang menyangkut kepemilikan [milkiyyah], pengeloaan kepemilikan [tasharruf], termasuk distribusi barang dan jasa di tengah-tengah masyarakat [tauzi’]
Dengan menerapkan sistem ekonomi Islam, Khilafah akan memiliki sumber daya yang mencukupi untuk memenuhi berbagai kebutuhan rakyatnya dari mulai hal pokok seperti sandang, pangan dan papan hingga pembangunan infrastruktur.
Disisi lain, ekonomi negara juga akan tumbuh dengan sehat karena produktivitas rakyatnya yang terjaga. Sehingga ketika akan membangun infrastruktur yang bisa disebabkan karena berbagai macam hal seperti ledakan penduduk dan sebagainya, maka kebijakan yang diterapkan dalam infrastruktur ini tidak akan menyengsarakan rakyatnya.
Khilafah bisa membangun infrastruktur menggunakan dana dari Baitul Mal tanpa memungut biaya dari rakyatnya sepeserpun.
Hal ini sangat mungkin terjadi karena Khilafah memiliki kekayaan milik umum yang dikuasai dan dikelola oleh negara, ditambah kekayaan milik negara dan telah dibuktikan di dalam sejarah Khilafah masa lalu yakni Khulafa’ Rasyidin, Umayyah, ‘Abbasiyyah hingga ‘Utsmaniyyah.
Contoh proyek infrastruktur pada masa kekhilafahan yaitu pembangunan rel kereta api yang meng-hubungkan Hijaz, Syam hingga Istambul yang dibangun oleh Sultan Abdul Hamid II hanya dalam waktu 2 tahun yang masih bisa dilihat buktinya di Madinah. Bahkan hebatnya lagi, pembangunan infrastruktur ini dibiayai dari dana pribadi Sultan Abdul Hamid II.
Dari uraian di atas sudah jelas perbedaan yang nampak antara pembangunan infrastruktur pada sistem demokrasi yang dibalut dengan ekonomi kapitalis dengan pembangunan infrastruktur pada sistem Islam dalam bingkai kekhilafahan.
Apabila sudah seperti ini, masihkah kita akan mempertahankan sistem demokrasi yang justru tidak berpihak pada rakyat?[MO/ge]