Gambar: Ilustrasi |
Oleh: Linda Ariyanti A.Md
(Anggota Komunitas Muslimah Jambi Menulis)
Mediaoposisi.com-Mendekati kontestasi pemilihan capres-cawapres negeri ini, isu tentang keislaman pada diri capres makin menguat. Bahkan Ustadz yang kondang dengan bisnis paytren-nya pun turun gunung, merapat ke capres 01. Banyak pihak yang kecewa dengan keputusan Ustadz Yusuf Mansur, namun ada juga yang mendukung langkah politik praktisnya. Dalam negara demokrasi, perbedaan pilihan bisa menjadi jurang pemisah antara seorang muslim dengan saudaranya. Tak sedikit yang saling menyerang hanya demi calon yang diusung masing-masing kubu.
Dalam pidato yang disampaikan di hadapan pendukung 01, Ustadz Yusuf Mansur menyebutkan bahwa Jokowi memiliki spirit kenabian. Tentu pernyataan ini harus kita kritisi, bukan karena kita mendukung paslon 02, tapi karena kita adalah seorang muslim. Masih ingatkah kita akan syahadat yang menjadikan kita muslim? Lalu apa konsekuensi syahadat tersebut? Bukankah ia bekal hidup dan mati kita?
Bukan Sekedar Agama
Islam adalah agama yang mengatur hubungan manusia dengan Allah Subhanahu wa ta’ala (aqidah dan ibadah), hubungan manusia dengan diri sendiri (makanan, pakaian dan akhlak), dan hubungan manusia dengan manusia lainnya (ekonomi, sosial, politik, kesehatan, pendidikan, keamanan, dll). Definisi ini menunjukkan bahwa Islam bukan sekedar agama yang hanya mengatur masalah ritual ibadah atau pun akhlak, tapi menyangkut seluruh aspek kehidupan. Islam adalah ideologi yang mengatur manusia dari bangun tidur sampai bangun negara. Sebuah pandangan hidup sempurna, Allah Subhanahu wa ta’ala berfirman:
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا
“… Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan
kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu …” [QS,
Al-Maa-idah: 3].
Dari sini jelas, tak cukup memandang Islam hanya dari sisi spirit keislaman seseorang saja, tetapi juga harus memandangnya dengan pandangan mendasar dan menyeluruh. Seorang muslim tak boleh mengambil sebagian hukum dan menolak hukum lainnya. Orang mukmin wajib terikat dengan seluruh aturannya. Ketakwaan seseorang bukan hanya dilihat dari sholat dan puasanya, tapi keterikatannya terhadap hukum Islam di seluruh aspek kehidupan.
Wajib Ber-Islam Kaffah
Manusia adalah makhluk yang akan Allah Subhanahu wa ta’ala hisab kelak di yaumil akhir. Allah Subhanahu wa ta’ala ciptakan akal sebagai bekal untuk memilih jalan hidup, apakah mengikuti perintah Allah Subhanahu wa ta’ala atau mengikuti langkah-langkah syaithan. Sebagai hamba yang berakal, tentu pilihan yang kita pilih harus yang menyelamatkan kita dari siksa-Nya kelak. Maka patutlah kita perhatikan firman Allah Subhanahu wa ta’ala berikut ini:
یٰۤاَیُّہَا الَّذِیۡنَ اٰمَنُوا ادۡخُلُوۡا فِی السِّلۡمِ کَآفَّۃً ۪ وَ لَا تَتَّبِعُوۡا خُطُوٰتِ الشَّیۡطٰنِ ؕ اِنَّہٗ لَکُمۡ عَدُوٌّ مُّبِیۡنٌ
“Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu” (QS Al-Baqarah: 208).
Allah Subhanahu wa ta’ala telah mewajibkan kaum muslim untuk menerapkan Islam secara keseluruhan. Maka, tiga dimensi yang diatur dalam Islam menuntut adanya pelaksana hukum yakni negara. Dengan demikian, wajib bagi kaum muslim untuk membaiat seorang khalifah sebagai wakil umat untuk melaksanakan hukum syariah. Jika hal ini tak dilakukan, maka seluruh kaum muslim berdosa. Bahkan, kematiannya dianggap seperti matinya orang jahiliyah. Ibnu ‘Umar berkata bahwa beliau mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِىَ اللَّهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً
“Barangsiapa yang melepaskan tangannya dari ketaatan pada pemimpin, maka ia pasti bertemu Allah pada hari kiamat dengan tanpa argumen yang membelanya. Barangsiapa yang mati dalam keadaan tidak ada baiat di lehernya, maka ia mati dengan cara mati jahiliyah.” (HR. Muslim no. 1851).
Mari kita kembali kepada Islam ideologi, yang dengannya kita akan selamat dunia akhirat. Wallahua’lam Bishshowwab. [MO/ms]