Oleh : Ratna Kurniawati
Mediaoposisi.com-Infrastruktur memang berperan penting sebagai penunjang pembangunan karena ia mempunyai peran vital dalam distribusi dan kegiatan ekonomi, yang merupakan hak dasar rakyat seperti pangan, sandang, papan, rasa aman, pendidikan, kesehatan dan lain-lain.
Dengan demikian, dapat dikatakan infrastruktur adalah modal esensial suatu bangsa dalam mendukung ekonomi, sosial-budaya, juga kesatuan dan persatuan yang mengikat dan menghubungkan antar daerah.
Infrastruktur menjadi prioritas utama dalam kerangka pembangunan nasional, terutama sejak dimulainya era kepemimpinan Presiden Jokowi. Hal tersebut tercermin dalam paket-paket kebijakan ekonomi yang hingga sekarang sudah mencapai duabelas paket kebijakan ekonomi.
Pembangunan infrastruktur tersebut dalam rangka mendukung agenda prioritas kedaulatan pangan, kedaulatan energi, kemaritiman, pariwisata, dan industri. Urgensi pembangunan infrastruktur ini adalah dalam rangka meningakatkan laju pertumbuhan ekonomi dalam pembangunan nasional.
Seperti banyak diberitakan media, pemerintah saat ini gencar membangun infrastruktur di seluruh Indonesia, seperti pembangunan jalan tol Jakarta- Surabaya, jalan tol Merak –Banyuwangi, trans Sumatera dan lain-lain.
Dana pemerintah dinilai tidak cukup untuk memenuhi biaya proyek infrastruktur ini. Alhasil pemerintah pun membuka kerjasama kepada pihak swasta dan asing untuk ikut mendanai proyek tersebut.
Sudah ada beberapa strategi dari pemerintah dengan mengeluarkan produk investasi yang ditawarkan kepada swasta. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) turut membantu dengan menyediakan peraturannya. Juga menggunakan dana segar dari rakyat seperti dari iuran BPJS kesehatan dan dana haji.
Meskipun pembangunan infrastruktur dalam suatu negara adalah sebuah kebutuhan yang penting dan yang harus dipenuhi. Masalahnya, apakah pembangunannya murni untuk rakyat jika ternyata rakyat harus membayar mahal ketika melewatinya?
Walaupun saat ini belum ada penetapan tarif tol, karena masih dalam proses diskusi antara pihak-pihak terkait semisal PT. Jasa Marga, PT. Astra dan pihak swasta yang lain.
“ Batasannya kan tidak boleh lebih dari 1000 per km, “ ujar Basuki Hadimoeljono, dari Kementrian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat ( PUPR) di Hotel Patrajasa, Semarang. (Radar Solo, 5/1).
Sedangkan menurut pengamat transportasi Djoko Soetijowarno, tarif tol Rp 600.000 lebih untuk trans Jawa tidak akan memberatkan masyarakat karena tol hanyalah jalan alternatif dari jalan arteri. Apalagi itu tarif untuk mobil golongan Isemisal mobil MPV keluarga.
Jadi bagaimana dengan masyarakat dengan mobil golongan II dan III yang juga butuh mengakses infrastruktur tersebut, apakah tidak memberatkan? Jelas jawabnya sangat memberatkan.
Jadi sebenarnya pemerintah membangun infrastruktur untuk siapa? Hanya untuk yang mampu atau golongan atas?
Inilah kondisi yang terjadi ketika diterapkan sistem ekonomi kapitalis.
Dengan bertumpu pada investor swasta, bahkan asing, membuat mereka mendapatkan keuntungan yang besar dalam investasi dari proyek tersebut.
Karena menurut pandangan sistem kapitalis dalam hal pelayanan publik, negara hanya sebagai legislator, sedangkan yang bertindak sebagai operator diserahkan kepada mekanisme pasar.
Layanan transportasi dikelola pihak swasta dan pemerintah dalam kacamata komersil sehingga transportasi publik menjadi mahal dan tidak disertai layanan yang memadai.
Sistem ekonomi kapitalistik tidak berprinsip bahwa pengadaan infrastruktur negara adalah bagian dari pelaksanaan akan kewajiban negara dalam melakukan pelayanan (ri’ayah) terhadap rakyatnya.
Karenanya, sistem ekonomi kapitalistik ini bukan hanya sistem ekonomi yang salah, bahkan ini adalah sistem yang rusak.
Islam Punya Solusi Masalah Infratruktur
Islam sebagai aturan yang sempurna, telah mengatur dan memberi solusi atas berbagai persoalan kehidupan termasuk urusan infrastruktur. Dikutip dari laman voa-islam, ada empat aturan umum terkait pembangunan infrastruktur publik dalam Islam.
Pertama, pembangunan infrastruktur adalah tanggung jawab negara.
Kedua, adanya kejelasan terkait kepemilikan, pengelolaan kepemilikan, termasuk distribusi barang dan jasa di tengah-tengah masyarakat, juga kepastian jalannya politik ekonomi secara benar.
Ketiga, rancangan tata kelola ruang dan wilayah dalam negara khilafah didesain sedemikian rupa sehingga mengurangi kebutuhan transportasi.
Keempat, pendanaan pembangunan infrastruktur khilafah berasal dari dana Baitul Mal, tanpa memungut sepeser pun dana masyarakat. Hal itu sangat memungkinkan karena kekayaan milik umum dan kekayaan milik negara memang secara riil dikuasai dan dikelola oleh negara.
Terkait dengan permasalahan dalam hal pendanaan pembangunan proyek infrastruktur termasuk di dalamnya infrastruktur transportasi, tak akan menjadi masalah ketika sistem ekonomi yang digunakan suatu negara adalah sistem ekonomi Islam.
Karena Sistem ini meniscayakan sebuah negara mengelola seluruh kekayaan yang dimilikinya sehingga mampu membangun infrastuktur yang dibutuhkan untuk kemaslahatan publik.
Dengan pengelolaan kekayaan umum (milkiyyah ‘ammah) dan kekayaan negara (milkiyyah daulah) yang benar berdasarkan Islam, menjadikan sebuah negara mampu membiayai penyelenggaraan negara tanpa harus berhutang, termasuk untuk membangun infrastruktur transportasinya.
Adapun efek dari penerapan sistem ekonomi kapitalis seperti hari ini, negara juga dibuat bangkrut karena semua yang menguasai hajat hidup orang banyak pengelolaannya di kuasai oleh para pemilik modal. Termasuk di sini SDA dan infrastruktur seperti jalan.
Padahal dalam Islam, jalan adalah milik umum. Harusnya gratis. Sedangkan negara hanya mendapatkan bagi hasil atau pajak dari pengelolaan tersebut.
Sungguh ironis, rakyat yang seharusnya mendapatkan fasilitas dan pelayanan yang memadai malah di bebani dengan pajak, plus harus melewati jalan dengan membayar mahal.
Dengan demikian jelaslah hanya Sistem Ekonomi dan Politik Islam lah yang menjamin pembangunan infrastruktur negara bagi rakyatnya, dan sistem ekonomi dan politik Islam ini hanya dapat terlaksana secara paripurna dalam bingkai Khilafah Islam sebagaimana yang telah dicontohkan oleh Rasulullah SAW, para Khulafaur Rasyidin hingga Khilafah Utsmaniyyah.[MO/AD]