Oleh : dzakiyah
(Mahasiswi FK Unsri)
Bukan hanya karena ekonomi, pembangunan infrastruktur ini karena infrastruktur ini membuat hubungan dan kualitas antarkota, antarpulau, antarprovinsi di negara sebesar ini menjadi lebih baik, ujar Jokowi membuka ceritanya di hadapan para mahasiswa Universitas PGRI Adi Buana Surabaya, Kamis (financedetik.com 6/9/2018).
Di akhir Desember 2018 lalu, Presiden Jokowi meresmikan beberapa bagian dari jalan tol trans-Jawa sebagai jalur alternatif cepat. Dengan beroperasi penuhnya jalan tol Solo-Ngawi, menambah panjang jaringan megaproyek jalan tol trans-Jawa yang tergabung dalam proyek strategis nasional (PSN).
Menteri Perhubungan RI, Budi Karya Sumadi mengatakan salah satu prestasi yang berhasil dicapai pada 2018 lalu, yakni rampungnya Jalan Tol Trans Jawa yang menghubungkan Jakarta dan Surabaya yang berjarak 760 km (tribunnews.com 16/01/19). Sedangkan, Menteri BUMN Rini Soemarno juga optimistis bahwa, pengoperasian jalan tol Solo-Ngawi dapat memicu perkembangan pariwisata daerah (sindonews.com 9/11/18).
Diantara banyak pujian, tak sedikit pula kritikan datang dari berbagai kalangan. Salah satunya ialah ekonom senior, Faisal Basri, menyebut bahwa pembangunan tol trans Sumatera dan Jawa untuk mempermudah penyaluran logistik adalah sesat pikir. Indonesia adalah negara Maritim, kalau ingin mengintegrasikan seharusnya transportasinya pakai transportasi laut.
"Terminologi tol laut aja sudah salah, di laut itu tol semua bebas hambatan nggak perlu bayar, ujarnya. Faisal Basri lantas mengkritik pembangunan Tol di Sumatera dan di Pualu Jawa. Dibangun jalan tol Sumatera, Jawa-Banyuwangi dengan alasan mempermudah logistik, MashaAllah itu sesat pikir, karena logistik yang paling murah dan efisien dan efektik untuk meningkatkan daya saing di Indonesia adalah transportasi laut, logikanya kalau logistik diangkut pakai truck maksimal cuma 10 ton, dan ongkosnya 10 kali lipat lebih mahal, jadi kalau dari Aceh mau dibawa ke darat pakainya transportasi laut, bukan darat" ujar Faisal
Basri disambut tepuk tangan. Faisal Basri lantas menyebut bahwa pembangunan insfraktuktur
di pemerintahan Jokowi tidak semua ngawur, namun banyak yang ngawur (tribunmedan.com
31/12/18).
Pada dasarnya, pembangunan infrastruktur di Indonesia saat ini bukan hanya ngawur pada masalah teknis. Namun jika dilihat dari berbagai aspek seperti, pendanaan, pemeliharaan, pemanfaatan, kebutuhan vital atau nonvital dan sebagainya, maka didapatkan hasil yang nihil.
Indonesia sebagai negara yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis, menerima pemasukan negara mulai dari sektor pajak, pinjaman, baik dari utang luar negeri maupun kontrak dengan swasta, hingga penjualan SDA. Jelas tampak ketidakberdayaan negara dalam menjaga pemasukannya. Pasalnya, sumber pemasukkan nya saja sudah perlu dikritisi.
Sektor pajak dijadikan sebagai tulang punggung pendapatan negara ini, pinjaman dengan riba yang terus menjulang, ditambah lagi, masyarakat yang harus tetap menanggung beban dengan berbagai
bentuk pungutan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Terbukti. Walau masyarakat bisa menikmati jalur darat dari Jakarta ke Surabaya dengan waktu tempuh 10-12 jam namun masyarakat harus merogoh kocek yang tak sedikit, yakni sekitar Rp600.000 (sindonews.com 9/11/18).
Padahal, pembangunan jalan tol yang didanai BUMN, juga berasal dari uang rakyat. Sungguh persoalan tersebut tak akan menjadi masalah ketika sistem ekonomi Islam diterapkan. Karena, sistem ini meniscayakan negara yang mampu mengatur dan mengelola seluruh kekayaan miliknya (kekayaan umum dan kekayaan negara) dengan benar, sehingga mampu membangun infrastruktur yang memang dibutuhkan demi kemaslahatan rakyat.
Pengaturan kepemilikan kekayaan inilah yang menutup pintu privatisasi sekaligus menjaga agar pendapatan negara cukup dan bermanfaat bagi kemaslahatan seluruhnya. Dilain pihak, sudah menjadi tanggungjawab negara dalam menyediakan sarana prasarana serta melayani rakyatnya. Berbeda dengan ekonomi kapitalis yang menjadikan semua hal sebagai ajang keuntungan materi. (MO/ra)