Daniel Mohammad Rosyid
Mencermati aksi korporasi BUMN sektor minerba akhir-akhir ini tidak bisa dinilai dari sekedar teknikalitas akutansinya saja, namun perlu dilihat dari aspek yang lebih luas dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan amanat konstitusi. Aksi korporasi PT. Inalum atas PT. Freeport Indonesia sebagai Penamaman Modal Asing (anak perusahaan AS Freeport McMoran Inc. yg dicatatkan di Bursa Saham NYSE sebagai FCX) sejak 1967 memiliki implikasi stratejik berdimensi internasional yang perlu dicermati.
Segera perlu disadari sinyalemen Bung Karno tentang ancaman Neokolonialisme dan imperialisme (Nekolim) yang telah mencabar Republik ini sejak kemerdekaan. Saya mencandra upaya kolonisasi jarak-jauh ( _remotely controlled colonisation_ ) melalui berbagai skema perjanjian dan kelembagaan internasional yang sangat liberal kapitalistik. Aksi-aksi korporasi ini perlu dilihat dalam kerangka perjanjian Kontrak Karya (model kemitraan internasional dalam pengelolaan minerba). Di sini perlu dicatat bahwa kontrak-kontrak itu seringkali dilakukan secara tidak setara, tapi kesepakatan antara jongos dan mantan tuannya.
Persoalan pokoknya adalah apakah praktek pengelolaan Sumber Daya Alam kita sudah sesuai dengan konstitusi ? Pola pengelolaan sekarang justru semakin liberal dibanding Orba : SDA dilihat sebagai komoditi dan bagian dari pendapatan nasional dalam APBN, bukan sebagai modal yang harus dihemat. Migas dan tambang dijual untuk membiayai pembangunan.
Operasi PT. FI adalah sebuah operasi raksasa dengan dampak ekonomi, sosial dan lingkungan yang luas dan berjangka panjang. Seharusnya rezim AMDAL strategis (bukan AMDAL biasa) diberlakukan untuk kasus PT. FI di Papua ini. Namun pertimbangan lingkungan hidup itu boleh dikatakan minimalis karena saat KK-I terjadi di masa awal Orba (1967), rezim pemerintahan sangat terobsesi dengan pertumbuhan ekonomi ( _economic growth_ ) melalui penamaman modal asing. Artinya KK-I itu tidak mempertimbangkan aspek-aspek lingkungan hidup sama sekali.
Skala operasi PT. FI berkembang sangat masif sehingga lahan eksplorasinya pada tahun 1991 seluas 2,6 juta Ha. Ini menyusut hingga 2016 menjadi seluas "hanya" 200ribu Ha. Coba bandingkan dengan kota Surabaya yang seluas 340 km2 atau sekitar 34.000 Ha : wilayah kota Surabaya hanya seperlima luasan operasi PT. FI di tahun 2016. Di tahun 1991, luasan operasi PT. FI telah mencapai sekitar 60 kali luasan Surabaya. Jika dibandingkan dengan Jawa Timur yang luasnya sekitar 48.000 km2 (sekitar 4.800.000 ha) pada 1991, luasan lahan yg digarap PTFI mencapai lebih dari separuh Jawa Timur.
Sementara itu produksi emas dunia 2500 ton pertahun, Indonesia hanya memproduksi sekitar 100 ton/tahun jauh dibawah China, Afrika Selatan, Rusia, AS, dan Canada dsb. Operasi PT. Inalum di lahan Freeport juga tidak lagi semudah dulu (penambangan terbuka atau _open pit_), tapi harus melakukan penambangan di kedalaman bawah tanah yang lebih sulit, beresiko tinggi dan mahal. Bahkan sejak aksi korporasi di akhir 2018 yang lalu, PT Inalum tidak akan memperoleh _dividend_ sampai dengan 2021. Setoran pajak PT. FI tahun 2018 mencapai Rp. 1.4T nyaris disaingi oleh Adaro yang menambang batubara sebagai pembayar pajak terbesar nasional.
Dampaknya bagi pembangunan nasional dan Papua masih perlu dipertanyakan. Walaupun operasi Freeport ini menyerap sekitar 300 ribu tenaga kerja, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Papua hingga saat ini masih terburuk di Indonesia (IPM dibawah 60). Biaya lingkungan atau eksternalitasnya juga belum dihitung. Kerusakan lingkungan akibat operasi PT. FI yg dihitung oleh Badan Pemeriksa Keuangan belum lama ini mencapai Rp. 180T akibat perubahan lahan hutan tropis dan limbah _tailing_ (dengan kandungan logam berat yg berbahaya bagi makhluq hidup) yang merusak ekosistem sungai, pesisir dan airtanah Papua. Biaya pembelian PT Inalum dalam aksi korporasi terakhir adalah sekitar Rp. 56 T lebih (sekitar USD 4Milyar) yang merupakan 51.2% saham PTFI. Pemerintah Papua memiliki 10%.
Perlu dicermati bahwa kerugian negara yang _intangible_ dan tidak masuk dalam akuntansi konvensional tidak cuma itu, tapi termasuk ribuan ton emas yang dibayar dengan uang kertas USD. Sementara itu harga emas, tembaga dan perak diserahkan ke pasar internasional di New York dan London yang tidak kita bisa kuasai. Uang kertas, terutama USDollar adalah komponen ribawi yg bercokol dalam sistem keuangan global saat ini.
Arsitektur perdagangan internasional serta sistem keuangan global saat ini bersifat ribawi-nekolimik, menjarah kekayaan alam kita sekaligus merusak ekosistemnya. Sistem yang ada saat ini bersifat _fasad_ : merusak ekosistem sekaligus memiskinkan sebagian besar manusia bagi kepentingan segelintir negara dan elit korporasi. Dalam perspektif ini, aksi korporasi PT. Inalum atas PT Freeport Indonesia ini masih jauh dari cukup untuk mengakhiri penjarahan sumberdaya alam nasional oleh kekuatan-kekuatan nekolimik.
Jadi, apapun konstruksi kerjasama dan model bisnis pengelolaan SDA ini, kita akan senantiasa dirugikan jika sistem ekonomi dan keuangan global yang kita gunakan masih ribawi-nekolimik. Amanat konstitusional UUD45 pasal 33 masih harus keras diperjuangkan oleh siapapun pemimpin negeri kepulauan seluas Eropa ini.
Gunung Anyar, 13/01/2019
from Pojok Aktivis