Oleh: Nindira Aryudhani
(Koordinator LENTERA)
Sebuah kebetulan yang menakjubkan tatkala peringatan Hari Santri Nasional (HSN) dilaksanakan bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, 28 Oktober 2018 lalu. Rangkaian acara diawali dengan kirab 1 juta santri dari Alun-alun Sidoarjo menuju GOR Delta Sidoarjo, tempat acara Istighosah Kubro digelar.
Mencermati peristiwa ini, tentu umat Islam patut menyadari peran strategis santri dan pesantren. Di tengah hiruk-pikuk maraknya perilaku amoralisasi generasi muda, pesantren masih selalu menjadi solusi. Pesantren, bagaimana pun, adalah tempat yang tepat untuk menempa diri, menuju pertaubatan sejati. Di tambah lagi era digitalisasi kehidupan kaum muda hingga memunculkan istilah generasi Z, nyatalah bahwa pesantren adalah sarana efektif agar mereka tak mudah ikut gerusan zaman berikut arah pergaulan yang negatif. Pada intinya, tak sedikit para orang tua yang meyakini bahwa pesantren dapat memberikan penjagaan dan pendidikan secara holistik bagi putra-putri bangsa.
Karenanya, peringatan HSN yang bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, layak kiranya untuk membuat kita menyadari, bahwa para santri adalah kaum muda harapan negeri. Dalam kamus online KBBI, santri didefinisikan sebagai orang yang mendalami agama Islam, orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh, dan orang yang shalih. Artinya, jika peran strategis santri dikembalikan sebagaimana definisinya, maka sungguh besar potensi santri untuk kemajuan bangsa. Patutlah kabar gembira dalam sabda Rasulullah ﷺ berikut ini.
Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi ﷺ, beliau ﷺ bersabda: “Tujuh golongan yang dinaungi Allâh dalam naungan-Nya pada hari dimana tidak ada naungan kecuali naungan-Nya: (1) Imam yang adil, (2) seorang pemuda yang tumbuh dewasa dalam beribadah kepada Allah, (3) seorang yang hatinya bergantung ke masjid, (4) dua orang yang saling mencintai di jalan Allâh, keduanya berkumpul karena-Nya dan berpisah karena-Nya, (5) seorang laki-laki yang diajak berzina oleh seorang wanita yang mempunyai kedudukan lagi cantik, lalu ia berkata, ‘Sesungguhnya aku takut kepada Allah.’ Dan (6) seseorang yang bershadaqah dengan satu shadaqah lalu ia menyembunyikannya sehingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diinfaqkan tangan kanannya, serta (7) seseorang yang berdzikir kepada Allah dalam keadaan sepi lalu ia meneteskan air matanya.” (HR Al-Bukhari dan Muslim).
Karena itu, sungguh sangat krusial untuk diwaspadai jika terdapat upaya-upaya membelokkan potensi santri. Terlebih untuk mengokohkan eksistensi rezim sekular dan hegemoni kapitalisme. Misalnya deideologisasi ajaran Islam dalam kurikulum pesantren. Di mana, terdapat pemahaman umum di tengah-tengah masyarakat, bahwa ada pesantren yang hanya mengajarkan Islam sebatas ilmu alatnya, seperti bahasa Arab, fikih, syarah kitab-kitab syarah hadits, tafsir, dsb. Namun melupakan poin-poin yang memuat sistem perpolitikan dalam Islam, sistem pergaulan Islam, sistem ekonomi Islam, sistem pendidikan dan pembelajaran Islam, sistem peradilan dan persanksian dalam Islam, sistem pemerintahan Islam, siroh Nabi ﷺ, bahkan hingga ke ranah aktualisasi dakwah dan jihad.
Padahal Islam adalah metode kehidupan, di mana tata aturan kehidupan Islam-lah yang akan digunakan untuk menjalani hidup sehari-hari. Dan inilah yang hendaknya lebih diberdayakan di pesantren. Bukan pembelajaran yang sekedar ilmu alat saja.
Akan sangat disayangkan jika ada santri, alumni pesantren, atau bahkan kyai, yang masih menghalalkan riba, aktivitas hura-hura dengan hiburan dari biduan, menista bendera tauhid, termasuk juga yang bersikap abu-abu tanda ketidaktegasan terhadap perbedaan yang haq dan bathil.
Belum lagi adanya fenomena tahun politik, yang memanfaatkan pesantren sebagai kantong massa demi mendongkrak perolehan suara. Tak perlu heran, jika ada para elit politik praktis yang mendadak ‘blusukan’ ke pesantren-pesantren, memberi bantuan dana, fasilitas, dsb. Padahal, ini sungguh meminggirkan sekaligus menumpulkan posisi strategis santri tadi.
Seyogyanya kita juga ingat kembali, bahwa penetapan HSN pada 22 Oktober merupakan bentuk penghargaan pemerintah terhadap peran para santri dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Menurut Presiden Jokowi, kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945 tidak lepas dari semangat jihad yang ditunjukkan oleh kaum santri.
Dari catatan sejarah, ternyata tanggal 22 Oktober memiliki kaitan langsung dengan peristiwa besar, yaitu deklarasi Resolusi Jihad yang dilakukan pendiri Nahdlatul Ulama (NU) KH Hasyim Asy’ari di Surabaya pada tanggal 22 Oktober 1945. Pada hari itu, KH Hasyim Asy’ari menyerukan kepada para santrinya untuk ikut berjuang untuk mencegah tentara Belanda kembali menguasai Indonesia melalui Netherlands Indies Civil Administration (NICA). Seruan jihad yang dikobarkan oleh KH Hasyim Asy'ari ini membakar semangat para santri di kawasan Surabaya dan sekitarnya.
Resolusi Jihad yang dideklarasikan KH Hasyim Asy'ari pada 22 Oktober 1945 tersebut mengingatkan kita mengenai peran kaum santri dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Santri yang kerap dikenal berkutat seputar urusan agama, ternyata para mujahid pejuang Islam. Dan yang diperjuangkan jelas penegakkan hukum Islam agar kembali menjadi pengatur kehidupan.
Di negeri kita yang tengah darurat bencana, sungguh tak kalah darurat pula andil santri bersama umat berjuang secara politis mengembalikan Islam sebagai sistem aturan kehidupan. Deideologisasi santri tak ubahnya penjajahan pemikiran agar santri tak melek akan peran politisnya. Umat ini butuh solusi mendasar dari Sang Khaliq, di mana ujung tombak pembelajarnya adalah para santri. Individu-individu Muslim memerlukan perasaan, pemikiran, dan peraturan yang satu yakni syariat Isla., di mana efektivitas simpul-simpul penyampainya ada di tangan para santri.
Menilik makna filosofis sejarah HSN, sudah selayaknya mengembalikan peran para santri sebagaimana spirit Resolusi Jihad KH Hasyim Asy'ari. Hendaklah santri menjadi garda terdepan para pembela Islam. Selayaknya, para santri menjadi motor-motor penggerak kebangkitan dan konstruktor peradaban Islam. Terlebih di tengah kian bebasnya invasi tsaqofah Barat berikut maraknya persekusi dakwah, para santri adalah orang-orang yang menempati posisi krusial sebagai simpul-simpul persatuan umat. Kesadaran inilah yang sesungguhnya dapat memenangkan hati para santri. Bukan iming-iming nominal harta dunia, apalagi jabatan dan kekuasaan.
والله أعلم بالصواب
from Pojok Aktivis