(Di Tengah Kelimpahan SDA)
Lukman Noerochim, P. hD.
(Staf ahli FORKEI)
Asian Development Bank (ADB) telah menyetujui pinjaman bantuan darurat senilai 500 juta dolar AS atau Rp 7,29 triliun (kurs Rp 14.586 per dolar AS) untuk Pemerintah Indonesia. Dana ini akan digunakan untuk membangun kembali Lombok dan Sulawesi Tengah setelah bencana alam baru-baru ini.
Ini menambah angka utang luar negeri (ULN) Indonesia angkanya sudah sangat besar. Statistik Utang Luar Negeri Indonesia Oktober 2018 (SULNI-OKT-18) yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia menyatakan, pada akhir Agustus 2018 total utang luar negeri Indonesia sebesar US$ 360,724 miliar atau Rp 5.410,86 triliun (US$ 1 = Rp 15.000). Utang tersebut terdiri dari utang Pemerintah dan Bank Sentral (BI) sebesar US$ 181,304 miliar atau Rp 2.719,56 triliun (Pemerintah sebesar US$ 178,123 dan BI sebesar US$ 3,181 miliar) dan utang swasta termasuk BUMN sebesar US$ 179,421 miliar atau Rp 2.691,315 triliun. ULN Pemerintah itu terdiri dari pinjaman luar negeri, Surat Berharga Negara (SBN) dalam mata uang asing dan SBN dalam Rupiah yang dimiliki oleh bukan warga negara. Total ULN Indonesia pada akhir Agustus 2018 itu memiliki rasio 34% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Kita bertanya-tanya mengapa beberapa rezim yang berkuasa di negeri ini punya hobi sama, bernafsu menjaring utang yang cukup besar di tengah kelimpahan SDA di negeri ini. Pasca reformasi ada dua Presiden yang tidak membuat utang baru. Mereka bahkan mengurangi jumlah utang yang ada, Yaitu pada masa Pak Habibie dan Gus Dur.
Terus membengkaknya utang baik UDN maupun ULN akan membebani pembayaran cicilan pokok dan bunga yang juga makin tinggi. Utang Pemerintah yang jatuh tempo pada tahun ini mencapai Rp 398 triliun. Tahun depan Rp 409 triliun. Totalnya mencapai Rp 807 triliun (iNews.id, 20/8/2018).
Dalam kondisi lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika semestinya menjadi momentum untuk meningkatkan ekspor. Kalau devisa yang berhasil diraup naik, maka dengan sendirinya DSR pun bakal turun. Sayangnya, pemerintah seperti gagap menghadapi pelemahan rupiah. Mereka justru sibuk menyalahkan faktor eksternal ketimbang melahirkan kebijakan untuk mendongkrak ekspor.
Siapa yang menanggung beban bila kelak aset negara bahkan SDA di Indonesia ini sudah dikuasai asing?, tentu rakyatlah yang menanggung kesengsaraan itu. Risiko terbesarnya adalah gagal bayar utang. Zimbabwe menjadi contoh cerita yang mengenaskan. Gagal membayar utang sebesar US$40 juta kepeda Cina. Sejak 1 Januari 2016, mata uangnya harus diganti menjadi Yuan, sebagai imbalan penghapusan utang. Berikutnya Nigeria. Model pembiayaan infrastruktur melalui utang yang disertai perjanjian merugikan dalam jangka panjang. Cina mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar asal negara mereka untuk pembangunan infrastruktur. Begitu juga Sri Lanka. Setelah tidak mampu membayar utang, akhirnya Pemerintah Sri Langka melepas Pelabuhan Hambatota sebesar US$1,1 triliun. Tak ketinggalan Pakistan. Pembangunan Gwadar Port bersama Cina dengan nilai investasi sebesar US$46 miliar harus rela dilepas. Risiko seperti itu tidak mustahil. Bila melihat pembangunan proyek-proyek infrastruktur yang dilakukan secara massif, polanya mirip dengan apa yang dilakukan oleh negara-negara yang gagal membayar utang (Rmol.co, 12/09/2018).
Terjadinya deflasi dan inflasi di Indonesia bahkan negara besar lainnya menunjukkan kepada kita rusaknya sistem ekonomi kapitalisme, sebab ekonomi kapitalis ini mengedepankan pendapatan negara dari pajak dan penguasaan SDA diserahkan kepada swasta. Wajar jika pemasukan negara berkurang dan masyarakat kena imbasnya.
Bahkan dengan ekonomi kapitalis sangat memungkinkan terjadinya pendistribusian yang tidak merata, sebab kekayaan alam bisa dikuasai oleh siapa saja yang bermodal, sehingga dengan asas yang begitu rapuh memunculkan kesenjangan ekonomi di dalam masyarakat. Inilh fakta sistem ekonomi kapitalisme yang sedang mencengkram negeri kita.
Akhirnya, kita butuh Konsep membangun negara tanpa utang, namun itu semua hanya bisa dilakukan dengan mengganti sistem kenegaraan dengan sistem alternatif yang sempurna, itulah sistem ekonomi Islam.
from Pojok Aktivis