Mahfud Abdullah
(Indonesia Change)
Sebagian masyarakat berpolemik atas motif diangkatnya kembali hasil survei tahun 2017 ke publik, bahwa ada 41 masjid di kementerian dan lembaga yang terpapar paham radikalisme, hal ini sebagaimana diungkap oleh Staf Khusus Kepala Badan Intelijen Negara (BIN), Arief Tugiman. Hal ini dia sampaikannya dalam diskusi Peran Ormas Islam Dalam NKRI di Kantor Lembaga Persahabatan Ormas Islam (LPOI), Sabtu (17/11) lalu.
Penjelasannya, 41 masjid itu terdiri dari 11 masjid kementerian, 11 masjid di lembaga dan 21 masjid BUMN. Dari data ini, Arief menjelaskan jika ada tujuh masjid dengan paparan radikalisme kategori rendah, 17 masjid terpapar radikalisme kategori sedang dan 17 masjid terpapar radikalisme kategori tinggi. Pengungkapan hasil survei terhadap 41 masjid itu kini menjadi polemik. Diketahui, BIN mendapatkan hasil survei itu dari Pengawas Perhimpunan Pengembangan Pesantren dan Masyarakat Nahdlatul Ulama (P3M NU).
Penulis menyoroti dan mempersoalkan penggunaan kata radikal. Kata radikal berasal dari kata radix yang dalam bahasa Latin artinya akar. Dalam kamus, kata radikal memiliki arti: mendasar (sampai pada hal yang prinsip), sikap politik amat keras menuntut perubahan (undang-undang, pemerintahan), maju dalam berpikir dan bertindak (KBBI, ed-4, cet.I, 2008).
Padahal kalau Anda mau kembalikan radikal kepada pengertian asalnya, maka kata radikal adalah sebuah kata yang bersifat ‘netral’, tidak condong kepada sesuatu yang bermakna positif atau negatif. Positif atau negatif tergantung dengan apa kata radikal itu dipasangkan.
Contoh misalnya “Muslim Radikal”, maka artinya adalah seorang muslim yang sangat memegang prinsip hidup nya sesuai dengan keyakinan nya yakni agama Islam. Dimana baik secara keyakinan, ucapan dan perbuatan semuanya dikembalikan kepada agama Islam sebagai bentuk prinsip hidupnya. Dan memang sudah seharusnyalah begitu sikap seorang muslim.
Jangan sampai mengaku beraqidah Muslim, namun dari segi ucapan dan perbuatan menunjukan yang sebaliknya. Ibarat orang yang sedang sholat dimana kiblatnya menghadap ke ka’bah, namun dari ucapan dan perbuatan berkiblat kepada kehidupan barat yang sekuler-kapitalistik.
Sebagai tambahan, istilah fundamentalisme atau radikalisme muncul pertama kali di Eropa pada akhir abad ke-19, untuk menunjukkan sikap gereja terhadap ilmu pengetahuan (sains) dan filsafat modern serta sikap konsisten mereka yang total terhadap agama Kristen. Gerakan Protestan dianggap sebagai awal mula munculnya fundamentalisme.
Mereka telah menetap-kan prinsip-prinsip fundamentalisme pada Konferensi Bibel di Niagara tahun 1878 dan Konferensi Umum Presbyterian tahun 1910, dimana saat itu mulai terkris-talisasi ide-ide pokok yang mendasari fundamental-isme.
Ide-ide pokok ini didasarkan pada asas-asas teologi Kristen, yang bertentangan dengan kemajuan ilmu pengetahuan yang lahir dari ideologi Kapitalisme yang berdasarkan aqidah pemisahan agama dari kehidupan. Tuduhan masjid penyebar paham radikalisme membuat masyarakat menjadi resah dengan Islam karena takut dinilai radikal. Dan khusus masyarakat muslim akan menjadi alergi terhadap ajaran agamanya sendiri.
Sangat disayangkan, di tengah banyaknya permaslahan negeri harusnya masjid dioptimalkan untuk mengedukasi masyarakat agar turut memikirkan solusi yang terbaik. Dan istilah radikal cenderung subjektif menggiring kriminalisasi ajaran Islam seperti Khilafah, bahkan monsterisasi aktifitas kajian islam di masjid.
Ironis seandainya Rezim di negeri ini dengan tengah dilanda Islamophobia akut. Inilah cara terakhir Barat untuk melanggengkan hegemoni ideologi kapitalisme sekuler dengan menyebarkan islamohopbia. Proyek antiradikalisme atau deradikalisasi terus digulirkan dengan menggulirkan wacana moderasi agama hingga memunculkan istilah baru yakni Islam Nusantara.
Walhasil, istilah radikal kemudian berpotensi menjadi alat propaganda yang digunakan oleh musuh-musuh Islam kepada kelompok atau negara yang berseberangan dengan ideologi dan kepentingan Barat. Islam radikal kemudian digunakan secara sistematis terhadap pihak-pihak yang menentang sistem ideologi Barat (Kapitalisme, Sekularisme dan Demokrasi), yang ingin memperjuangkan penerapan syariah Islam secara kaffah, Khilafah Islam, menginginkan eliminasi Negara Yahudi dan melakukan jihad melawan Barat. Semua ini akan disebut sebagai faham atau sikap yang radikal, dan khusus di Indonesia akan disebut faham atau sikap yang membahayakan keutuhan dan kedaulatan NKRI.
from Pojok Aktivis