Oleh : Eva Liana
(Pemerhati Masalah Sosial Kemasyarakatan dan Penulis Novel Berlatar Meratus “Mawinei”)
Mediaoposisi.com-Meratus, merupakan gunung yang dirimbuni oleh hijaunya hutan hujan tropis dan menjadi paru-paru Pulau Kalimantan. Uniknya, pegunungan ini sangat panjang, membentang sepanjang kurang lebih 600 km² dari arah tenggara Pulau Kalimantan serta membelah Provinsi Kalimantan Selatan dan membelok ke arah utara hingga perbatasan Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Pegunungan ini menjadi bagian dari 8 kabupaten di Provinsi Kalimantan Selatan yaitu Kabupaten Hulu Sungai Tengah, Kabupaten Balangan, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kabupaten Tabalong, Kabupaten Kotabaru, Kabupaten Tanah Laut, Kabupaten Banjar dan Kabupaten Tapin.
Namun, alam pegunungan yang eksotis dan mengandung banyak cerita mistis itu, pesonanya terancam semenjak ditemukan kandungan batu bara dalam jumlah fantastis. Tak ayal lagi, Meratus pun dilirik sebagai kawasan potensial penambangan. Sayangnya, izin penambangan justru diberikan kepada pihak swasta. Alih-alih menghasilkan kesejahteraan bagi masyarakat setempat, yang ada malah dampak lingkungan.
Izin penambangan tersebut menjadi polemik baru-baru ini dengan terbitnya izin skala produksi batubara, tertanggal 4 Desember 2017, dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) bernomor 441.K/30/DJB/2017 tentang Penyesuaian Tahap Kegiatan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) PT Mantimin Coal Mining (MCM) di Blok Batu Tangga,
Kabupaten Hulu Sungai Tengah termasuk di Blok Haruyan, Kabupaten Balangan dan Tabalong. Surat Keputusan yang diteken Direjen Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Bambang Gatot Ariyono memberi kuasa kepada PT MCM untuk menambang di wilayah Kecamatan Batang Alai Timur.
Berdasar data Walhi Kalsel, areal pertambangan itu berada di kawasan hutan sekunder seluas 1.398, 78 hektare, permukiman 51,60 hektare, sawah 147,40 hektare, serta sungai 63,12 hektare dari total luas izin tambang PKP2B, bersama PT Antang Gunung Meratus di Kabupaten HST.
Dampak banjir dan kekeringan yang disebabkan berkurangnya daerah resapan air karena adanya penambangan, sangat dirasakan warga setempat. Jadi wajar ketika turunnya izin penambangan tersebut mengundang reaksi penolakan.
Disinyalir izin tambang untuk wilayah Hulu Sungai Tengah itu tidak mengantongi izin Amdal. Kajian khusus analisa mengenai dampak lingkungan atau Amdal oleh MCM, menurut Plt Kepala Dinas Lingkingan Hidup HST, Muhammad Yani sebelumnya pernah ditolak Pemda HST.
Masalahnya, sejak tahun 1999, ada proyek Irigasi Batangalai yang masih berlangsung. Proyek ini ditargetkan mengaliri 6.600 hektare lahan pertanian dan menjadi sumber air baku bagi PDAM HST serta masyarakat dengan investasi pembangunan lebih dari Rp 500 miliar. Jika izin penambangan diberikan, maka proyek irigasi ratusan milyar terancam gagal.
Menurut Gubernur Kalsel H. Sahbirin Noor, ketika perusahaan tak mengantongi dokumen amdal, maka tak boleh menambang. Kepala Dinas Kehutanan Kalsel Hanif Faisol Nurofiq pun memastikan, walau PT MCM mengantongi izin dari pemerintah pusat, namun kewenangan terkait dokumen amdal dan rekomendasi izin pinjam pakai kawasan hutan (IPPKH) berada di tangan Pemprov Kalsel.
Hal senada juga dilontarkan Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kalsel, Ikhlas Indar. Menurutnya, sesuai ketentuan yang ada, maka proses pengajuan amdal harus ke provinsi, bukan kabupaten dan kalau masyarakat setempat tak setuju, izin Amdal tidak akan diberikan bagi perusahaan.
Pertanyaannya apakah penolakan ini akan berujung ditariknya izin oleh pemerintah pusat? Entahlah jika melihat sebagian besar asset negara, pulau dan SDA yang telah terjual. Alasan pemerintah apalagi kalau bukan menutupi hutang, anggaran defisit negara dan tentunya dalih membuka investasi untuk memajukan wilayah.
Andai pengelolaan SDA dikelola negara untuk kesejahteraan rakyat seperti yang tertera dalam UUD 1945 pasal 33 ayat 3, maka persoalan ini tidak akan terjadi.
Sejatinya, kekayaan alam seperti gunung dan pertambangan merupakan milik umum yang wajib dikelola negara dan haram diswastanisasi. Hasil-hasilnya mutlak dikembalikan kepada rakyat dalam bentuk pembangunan infrastruktur dan pelayanan publik. Saat memandang persoalan pertambangan ini dari kacamata Islam, yang berpihak pada kepentingan dan kesejahteraan rakyat, maka konsep kepemilikan dalam Islam merupakan konsep yang tepat.
Kepemilikan Umum/Masyarakat berupa kekayaan alam yang berlimpah dan yang menguasai hajat hidup adalah milik rakyat/umum (yang juga tersurat dalam Pasal 33 ayat 3 UUD 1945). Adapun pengelompokan kepemilikan umum dapat dibagi dalam tiga bagian:
Pertama, segala sesuatu yang menjadi kebutuhan vital rakyat, yang ketiadaannya akan menyebabkan kehidupan masyarakat tidak berjalan baik seperti air dan sumber energi (gas, listrik, minyak bumi, tambang batu bara, dll); sebagaimana sabda Rasulullah:
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal: air, padang gembalaan, dan api; harga (menjual-belikannya) adalah haram.” (HR Ibn Majah). Hadits senada juga diriwayatkan oleh Abu Daud.
Kedua, bahan tambang yang jumlahnya sangat besar. Terkategori sebagai milik umum, dan tidak boleh dimiliki secara pribadi. Terindikasi dalam Hadist riwayat Imam at-Tirmidzi dari Abyadh bin Hanbal.
Dalam hadis tersebut, Abyadh meminta kepada Rasul saw. untuk dapat mengelola sebuah tambang garam. Rasul saw. meluluskan permintaan itu, tetapi segera diingatkan oleh seorang sahabat.
“Wahai Rasulullah, tahukah Anda, apa yang Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya Anda telah memberikan sesuatu yang bagaikan air mengalir.” Rasulullah SAW kemudian bersabda."Tariklah kembali tambang tersebut darinya.”
Hadist di atas menunjukkan bahwa pemerintah boleh memberikan tambang (garam) atau tambang-tambang lainnya dalam jumlah sedikit kepada individu. Akan tetapi, ketika barang tambang tesebut jumlahnya banyak seperti air yang mengalir, maka Rasul SAW segera menarik kembali pemberian itu, karena dengan kandungannya yang sangat besar maka haram dikuasai oleh individu.
Ketiga, fasilitas umum, yaitu apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum, seperti taman umum, masjid, jalan umum, termasuk kereta api maupun alat transportasi lainnya; di mana apabila ketiadaan barang tersebut dalam suatu negeri atau dalam suatu komunitas, akan menyebabkan kesulitan dan dapat menimbulkan persengketaan dalam mencarinya. Adapun kepemilikan negara dapat berupa sarana dan prasarana milik negara, seperti: gedung sekolah, rumah sakit, lapangan udara, dan sebagainya.
Jika memahami konsep kepemilikan umum ini, maka izin penambangan tak perlu menjadi polemik, karena hak mengelola hanya dipegang oleh negara bukan swasta, dan hasil-hasilnya dikembalikan kepada rakyat. Proyek untuk kemashlahatan rakyat, seperti irigasi pun tak mesti berbenturan dengan kebijakan pertambangan.[MO/sr]