Oleh: Shela Rahmadhani
(Mahasiswa Universitas Gadjah Mada)
Mediaoposisi.com- Kebijakan impor beras diawal tahun 2018 didasarkan pada kebijakan kapitalis liberalistik yang berimbas kepada kesengsaraan petani. Kuota beras yang akan diimpor berdasarkan ungkapan wakil presiden Republik Indonesia Jusuf Kalla adalah 500.000 ton.
Jusuf Kalla mengungkapkan bahwa keputusan pemerintah mengimpor 500.000 ton beras dari Vietnam dan Thailand dilakukan karena kebutuhan (kompas.com, 12/01/2018).
Senada dengan yang disampaikan Menteri Perdagangan (Mendag) Enggartiasto Lukita bahwa keputusan itu diambil untuk mengatasi permasalahan lonjakan harga beras dan pasokan beras yang sedang menurun.
Pihak yang ditunjuk oleh Mendag sebagai importir semulanya adalah PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia (Persero) atau PPI (BUMN), lalu kemudian berubah menjadi Perum Bulog.
Paradigma Kapitalistik Rezim
Argumentasi pemerintah terkait adanya impor beras untuk menstabilkan lonjakan harga beras adalah argumentasi yang tidak jujur.
Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan kalau harga beras di atas harga patokan maka Bulog harus menjual beras ke masyarakat. Tetapi kalau harga beras turun, maka dia membeli supaya naik.
Selanjutnya Jusuf mengungkapkan bahwa saat ini harga beras di pasar sedang tinggi. Bulog harus melakukan regulasi berupa menjual beras ke pasar. Tetapi karena stok kurang maka harus impor dulu baru dijual ke masyarakat untuk kestabilan harga.
Dalil menjaga kestabilan harga pasar yang dikemukakan jelas bukan argumentasi yang benar. Pasalnya, harga beras impor tetap disesuaikan dengan harga eceran tertinggi (HET) yakni berkisar Rp. 9.450/kg, sehingga adanya beras impor sama sekali tidak menjadikan harga beras menjadi turun dan stabil.
Demikian pula alasan pasokan beras dalam negeri kurang merupakan argumentasi yang tidak sesuai dengan data. Kementerian Pertanian mengklaim produksi beras mengalami surplus sebesar 329.000 ton. Dengan mengacu data BPS, Kementan menyatakan bahwa sepanjang 2017 produksi beras mencapai 2,8 juta ton, sementara tingkat konsumsi sekitar 2,5 juta ton.
Kasus yang mengherankan lagi, awalnya pelaku impor yang ditunjuk oleh pemerintah adalah PT. Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Seharusnya yang diberikan tugas impor dalam upaya menjaga stabilitas harga adalah Bulog. Hal ini diatur dalam Pasal 3 ayat (2) huruf d Perpres No. 48/2016 dan diktum ketujuh angka 3 Inpres No. 5/2015.
Pemerintah kemudian menerbitkan Permendag Nomor 1/2018, sehingga PT. PPI pun dapat ditunjuk sebagai importir. Anggota Ombudsman Republik Indonesia, Ahmad Alamsyah Saragih mengungkapkan bahwa ada konflik kepentingan dengan terbitnya Permendag Nomor 1/2018 yang mengatur BUMN bisa mengimpor secara langsung.
Adanya “kepentingan” adalah alasan logis dari lahirnya kebijakan impor beras 2018. Kepentingan yang dimaksudkan adalah keuntungan sebesar-besarnya dari proyek impor beras 500.000 ton. Tentunya, pelaku dan pejabat yang terlibat dalam impor akan kecipratan profit juga.
Berdasarkan perhitungan Alamsyah, keuntungan dari impor ini bisa mencapai triliunan rupiah. Selanjutnya ia pun mempertanyakan untuk siapa keuntungan yang didapat pemerintah dari impor beras?
Paradigma memperoleh keuntungan sebesar-besarnya mencirikan kebijakan penguasa didasarkan pada kebijakan ekonomi kapitalistik. Ekonomi kapitalistik adalah ekonomi yang menjadikan antara rakyat dan penguasa bagaikan pedagang dan pembeli.
Dalam buku “The Wealth of Nations: An Inquiry into the Nature and Causes ( Adam Smith, 1776) disampaikan bahwa dalam konsep kapitalisme, setiap orang sebaiknya dibiarkan dengan bebas mengejar kepentingannya demi keuntungan dirinya sendiri. Manfaat dan kepentingan adalah asas utama sistem kapitalistik.
Penguasa posisinya sebagai pedagang yang ingin mencari keuntungan sebesar-besarnya (kapital) dari rakyat untuk kepentingannya sendiri. Terlebih lagi menjelang pilpres 2019, kegiatan kumpul dana disinyalir sebagai faktor lahirnya kebijakan-kebijakan yang sarat dengan kepentingan dan tidak pro rakyat.
Efek Mafia Beras
Keberadaan mafia beras mempengaruhi signifikansi harga beras di pasar. Operasi pasar akan gagal menstabilkan lonjakan harga beras jika mafia bermain. Mafia pasar merupakan para tengkulak yang menimbun beras sehingga ketersediaan beras tidak mencukupi dan selanjutnya terjadi kenaikan harga beras di pasar.
Setelah harga beras naik, baru kemudian beras di lepas ke pasar dengan harga yang tinggi sehingga memperoleh untung yang besar.
Perilaku menimbun adalah perilaku yang dilarang di dalam syariat Islam. Rasulullah SAW bersabda:
“siapa yang menimbun barang dengan tujuan agar bisa lebih mahal jika dijual kepada umat islam, maka dia telah berbuat salah” (HR. Abu Hurairah).
Hadist ini menjadi dalil haramnya kegiatan penimbunan barang makanan untuk memahalkan harga di pasar.
Kegiatan mafia harus diberantas oleh penyelenggara negara untuk melindungi rakyat. Maraknya tindakan mafia yang tidak dapat diberantas menunjukkan bahwa sistem penyelenggaraan pemerintahan saat ini memiliki visi dan misi yang lemah dan tidak fokus dalam mengurusi kemaslahatan rakyatnya.
Pengkhianatan Berkedok Impor
Impor beras pada dasarnya adalah aktivitas yang diperbolehkan di dalam syariat islam jika dibutuhkan. Aktivitas impor harus sesuai dengan hukum-hukum Islam dan tidak menimbulkan bahaya bagi kaum muslimin.
Saat awal menduduki bangku pemerintahan penguasa menjanjikan tidak akan melakukan impor, karena impor tidak mensejahterakan petani. Namun, yang terjadi adalah pengkhianatan terhadap janji yang diucapkan. Kesejahteraan petani hanyalah hoaks yang dijual secara berulang-ulang dan masih laku manis khususnya pada saat menjelang pemilihan umum.
Keberadaan beras impor ditengah panen raya petani akan berujung pada matinya beras lokal atau beras petani. Hal ini diungkapkan oleh Pengamat Universitas Gajah Mada (UGM) Bagus Santoso yang menilai bahwa kebijakan impor beras pada saat musim panen ini dinilai tidak bijak. Apalagi jika hasil impor langsung digelontorkan ke pasar maka hal ini dapat mematikan para petani, ungkap Bagus (Jumat, 12/11/2018).
Pada kondisi Indonesia menjelang panen raya bulan Februari 2018 dan diprediksi pasokan beras akan surplus maka pilihan impor adalah pilihan yang mendzolimi dan menyakiti rakyat. Beras impor akan bersaing dengan beras lokal. Ketika Bulog atau PT. PPI menyerap beras impor sebesar 500.000 ton, lantas yang menyerap beras petani siapa lagi?
Lebih lanjut pangsa pasar beras petani akan mengecil karena beras impor digelontorkan di pasar dan beras akhirnya petani terjual dengan harga yang rendah.
Jika harga rendah, keuntungan yang diperoleh juga menjadi semakin kecil bahkan bisa jadi petani rugi karena biaya produksi lebih besar daripada harga penjualan beras. Kebijakan impor beras adalah pengkhianatan dan tidak pro terhadap petani yang notabenenya adalah rakyat. Kesejahteraan petani seharusnya diwujudkan dengan menyerap beras petani lokal bukan malah impor.
Kelola pertanian basis syariah
Pertanian di Indonesia harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip syariah. Diantara pengaturan islam di bidang pertanian adalah wajib menghidupkan lahan mati. Cara menghidupkan lahan mati dapat dilakukan dengan dua cara yakni ekstensifikasi dan intensifikasi.
Ekstensifikasi adalah memperluas lahan pertanian seperti membuka lahan pertanian baru, sedangkan intensifikasi adalah meningkatkan kualitas lahan pertanian. Peningkatan kualitas pertanian membutuhkan peran para ilmuan.
Sinergitas ilmuan, petani dan penguasa merupakan trilogi dalam mewujudkan kedaulatan pangan. Ilmuan adalah kepanjangan tangan dari negara dalam mewujudkan kesejahteraan rakyat yang bertugas untuk menemukan terobosan dan menjadi edukator bagi masyarakat.
Sementara negara menyokong para petani dalam meningkatkan produksi dan mengembangkan lahan pertanian seperti memberikan lahan, memfasilitasi teknologi alat berat, dan penyediaan bibit unggul.
Umat islam di masa kejayaannya telah mampu merealisasikan pertanian yang sangat maju sehingga mampu melakukan ekspor barang-barang pertanian ke negara-negara lain. Kegiatan ekspor barang bahkan dijadikan sebagai uslub dakwah menyebarkan islam. Pusat peradaban umat islam terletak di Andalusia saat itu dalam kurun abad ke-9.
Negara islam tidak diperbolehkan bergantung pada impor. Namun, dalam kondisi genting dan darurat justru impor menjadi sebuah kewajiban dan tetap berlandaskan prinsip syariah.
Luas pertanian Indonesia berdasarkan Badan Pusat Statistik 2014 sebesar 8.111.593 hm2, sangat mungkin dapat mewujudkan kedaulatan pangan. Paradigma sekuler kapitalistik adalah penyebab yang menjadikan Indonesia menjadi negara yang lemah dan tidak berdaulat pangan.
Sebaliknya, pengelolaan pertanian berdasarkan syariah adalah satu-satunya jalan mewujudkan kesejahteraan rakyat dan mewujudkan kedaulatan pangan Indonesia.[MO/sr]