Oleh : Nana Rosida, Amd TK
Mediaoposisi.com-Masih hangat-hangatnya kita dengar terdapat penolakan anak SD yang tertulas HIV / AIDS, untuk bisa bersekolah di desa Nainggolan selama meraka menjalani pengobatan di Rumah Sakit setempat.Penolakan hadir dari orang tua wali dari anak-anak yang bersekolah dengan anak / orang dengan HIV / AIDS. Langkah yang ditempuh oleh Pemkab Samosir adalah memberikan Homeshooling untuk anak-anak ini.
Namun disisi lain orangtua si anak pengidap HIV / AIDS ini menghendaki anak-anak mereka masuk ke sekolah umum.
Dari kasus tersebut pembaca setuju dengan siapa? Apakah wali murid sekolah di desa nainggolan atau setuju dengan wali anak tertular HIV / AIDS, atau setuju dengan langkah Pemkab? Sebelum menjawab pertanyaan itu mari kita tilik lebih dekat dahulu apaitu HIV / AIDS.
Kita mulai dengan istilah ODHA, merupakan kependekan dari Orang dengan HIV / AIDS.
Mendengar nama HIV dan AIDS dalam pikiran kita, itu adalah penyakit yang sangat mengerikan. HIV adalah Human Immunodeficiency Virus (HIV) yaitu virus penyebab AIDS.
Virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh manusia, dapat berlangsung bertahun-tahun tanpa gejala. Banyak orang yang tertular HIV namun tidak menyadari dirinya tertular.AIDS adalah Aqquired Immuno Deficiency Syndrome adalah suatu sekumpulan gejala penyakit yang diperoleh akibat menurunnya sistem kekebalan tubuh yang disebabkan oleh infeksi HIV.
AIDS muncul setelah HIV menyerang sistem kekebalan tubuh manusia untuk waktu yang lama.
Penderita HIV butuh waktu 5-10 tahun hingga menjadi AIDS, jika tidak diobati. Setelah menderita AIDS, kondisinya akan drop dengan cepat.
Terdapat sekitar 620 ribu orang hidup dengan HIV di Indonesia, dan 77 ribu diantaranya saja yang mendapatkan obat ARV. Setiap tahun terdapat sekitar 48 ribu infeksi baru, dan sekitar 38 ribu pasien yang meninggal akibat AIDS.
Data PBB menunjukkan sekitar 3200 anak di Indonesia terjangkit HIV dengan penularan dari ibu. Penularan yang paling banyak adalah adalah para istri pengguna narkoba dengan suntik, para pengguna jasa pekerja seks komersial, istri para pria gay dan pria gay . Pentatoan dengan jarum yang bergantian.
Sementara berdasarkan data yang telah terpublikasi, angka prevalensi HIV/AIDS di Sumut mencapai 28,97 per 100.000 penduduk.
Artinya, setiap 100.000 penduduk di Sumut terdapat 29 orang mengidap HIV/AIDS sehingga semua pihak perlu aktif dan peduli menanggulanginya. Sementara data dari dinkes.pemkomedan.go.id, menyebutkan kasus HIV/AIDS di Kota Medan mencapai sebanyak 5.952 per November 2017.
Dengan fakta yang terkemuka diatas, lantas sikap apa yang akan kita ambil? Mari kita telisik lebih detail lagi akar masalahnya. Anak tertular dari ibu.
Ibu yang mungkin tertular yaitu pengguna narkoba yang menggunakan suntikan bergantian, pekerja seks, dan istri dari pria gay. Melihat sumber masalahnya banyak merujuk ke perilaku zina dan mabuk dengan narkoba yang semua itu memang terlarang / haram di dalam semua agama.
Terjadi nya dekadensi moral , mulai dianggap biasa perilaku seks bebas dan LGBT. Bahkan banyak yang mengkampanyekan perilaku seks yang aman agar tidak tertular HIV / AIDS dengan kondomisasi.
Langkah ini sangat konyol karena kebocoran kondom karena cacat produksi masih sangat mungkin dilewati oleh virus yang ukurannya sangat kecil. Ini sama artinya mengkampanyekan seks bebas.
Dan sudah kita ketahui dampaknya sekarang anak-anak sudah mulai tertular karena perilaku orangtuanya.
Virus ini sangat bahaya dalam menghancurkan generasi. Mari kita lihat fakta yang terjadi Jogjakarta, seorang anak berusia 5 tahun yang tertular HIV dari orangtuanya, kondisinya semakin menurun, kulitnya menghitam, kaki dan tangannya mengering tak ada daging.
Selain tiga anak yang di Sumatera Utara dan Jogja ini menjadi hal yang sangat penting ditindaklanjuti karena data di HIV.gov menunjukkan hingga akhir tahun 2016 ada 36,7 juta orang di dunia yang mengidap HIV/AIDS,
dimana 2,1 juta di antaranya adalah anak-anak. Ini menjadi ancaman nasional dan global. Bahaya kehilangan generasi dimasa depan. Dari kampanye kampanye yang ada tentang HIV AIDS terlihat ada upaya menghilangkan phobia terhadap HIV AIDS, padahal ini menjadi penghancur generasi.
Lantas apa akar masalahnya? Merebaknya permisivisme atau serba membolehkan dan liberalisme atau paham yang membebaskan manusia berbuat, manusia menjadi tidak mempunyai kontrol diri.
Agama yang seyogyanya menjadi pedoman hidup mulai tergeser dengan menuruti segala kemauan manusia. Serta tidak adanya penjagaan penguasa. Pemerintah mempunyai peran penting dalam melindungi rakyanya dari sisi kesehatan sebagai langkah ketahanan negara.
Langkah melawan HIV / AIDS jika hanya kita lakukan perorangan atau hanya sekedar komunitas tidak akan mampu menangkis serangan nasional dan global.
Islam mempunyai solusi dalam melindungi generasi. HIV/AIDS harus ditanggulangi bukan hanya dengan mencegah dan mengobati HIV/AIDS sebagai masalah kesehatan, melainkan harus disertai pula dengan upaya menghapuskan segala perilaku menyimpang, seperti lesbianisme, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Selain kedua hal di atas, langkah yang semestinya diambil oleh pemerintah adalah dengan menerapkan syari’ah Islam dalam menindak tegas dan memberikan keputusan hukum bagi para pelaku zina utamanya pelaku seks bebas (LGBT).
Penutupan tempat tempat pelacuran / lokalisasi dan tempat tempat praktik para penzina, penerapan hukuman cambuk, pengasingan dan rajam, bukanlah sebuah tindakan melanggar HAM.
Justru dengan hal tersebut pencegahan penyebaran HIV/AIDS akan optimal, karena ada multifier effect yang akan memberikan efek jera bagi para pelaku atau orang yang hendak berbuat pelanggaran terhadap hukum yang telah ditetapkan.
Inilah solusi yang diserukan oleh Islam yang sangat sesuai dengan tuntutan realita sepanjang hayat. Semoga Indonesia bisa berubah menjadi negeri yang penuh berkah dan lebih baik lagi dengan menerapkan Syari’ah Islam. Aaamiin.[MO/ge]