Oleh : Puspita Ningtiyas
Mahasiswi STIS SBI Surabaya
Mediaoposisi.com-Bagai makan buah simalakama, perlakuan publik kepada penderita HIV jadi serba salah. Petinggi negeri ini cenderung memperlakukan penderita HIV AIDS sebagai korban dan minim kewaspadaan, terlebih jika penderitanya adalah anak-anak yang notabene tidak bisa dihukumi bersalah dan wajib dilindungi.
HIV-AIDS memang sudah memapar anak-anak negeri. Tiga anak SD di Samosir diduga terjangkit HIV-AIDS. Tiga anak sekolah dasar di Desa Nainggolan, Kabupaten Samosir, Sumatra Utara ini ditolak bersekolah karena para orang tua lain khawatir anak-anak mereka tertular virus HIV.
Hal ini mendapatkan respon dari bupati setempat yang mengusulkan untuk mengadakan pengajaran terpisah sebagai solusi menang sama menang ( tidak merugikan salah satu ).
Sedangkan dari pihak pendamping 3 anak yang terjangkit ini mengatakan, "Pemkab mengusulkan supaya anak-anak kita dibuat di homeschooling. Kalau tidak, mereka dipindahkan dari sana dengan catatan agar anak-anak tidak terbongkar statusnya di tempat yang lain," ungkap Berlina.
yang adalah Sekretaris Eksekutif Komite AIDS Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). "Kami ingin anaknya tetap bersekolah di sana dan bersekolah di sekolah publik," imbuhnya.
Alhasil terjadi dilema, masyarakat, pemkab dan pendamping penderita HIV memiliki pandangan maisng-masing. Satu sisi ini adalah penyakit menular, dan di sisi lain yang terjangkit anak-anak, tentu menanggani pelaku yang ini harus mempertimbangan banyak hal,
salah satunya adalah hak asasi manusia dan UU perlindungan anak. Lalu bagaimana menurut Islam ?
Faktanya perzinaan adalah faktor resiko utama penularan HIV-AIDS, maka Islam memandang wajibnya negara penutup rapat-rapat pintu perzinaan ini. Bukan hanya aktivitas perzinaannya, tapi jalan menuju perzinaan juga wajib ditutup rapat-rapat seperti pornografi yang sekarang bisa diakses dengan sangat mudah oleh seluruh kalangan masyarakat di media maya.
Tapi jika yang terjangkit bukan pelaku zina, misalkan anak-anak yang tertular dari ibunya misalkan, maka Islam mewajibkan kepada negara untuk memberikan pelayanan kesehatan terbaik untuk para penderitanya.
Karena kesehatan adalah satu pelayanan publik yang wajib diberikan oleh negara kepada setiap individu rakyatnya.
Fakta selanjutnya bahwa HIV AIDS adalah virus yang berbahaya dan mematikan. Maka penderitanya harus dikarantina. Ini didasarkan pada hadits nabi, “ Larilah kamu dari orang yang terkena lepra, sebagaimana kamu lari dari (kejaran) singa.“ (HR Abdurrazaq, Al-Mushannaf, X/405).
Di dalam karantina tersebut, anak-anak yang terkena HIV-AIDS ini tidak hanya dirawat secara medis, tapi juga non medis, khususnya dalam aspek psikologis.
Ini dikarenakan penderita HIV-AIDS pasti juga mendapatkan tekanan dari aspek psikis juga termasuk pandangan negatif masyarakat terhadap mereka bahkan sampai mengucilkannya.
Dalam hal ini kepada mereka, penderita HIV AIDS ditanamkan sikap ridlo terhadap qodlo, sabar dan tawakkal. Dengan terus menerus meningkatkan keimanan dan ketaqwaan mereka agar lebih terpacu melakukan amal untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik di masa depan.
Demikianlah solusi Islam terhadap persolan HIV-AIDS yang menjangkit anak-anak. Dengan solusi Islam ini masyarakat tidak perlu takut lagi akan tertular HIV-AIDS dan dengan solusi Islam pula penderita HIV-AIDA bisa mendapatkan hak-haknya untuk mendapatkan pelayanan terbaik berkenaan dengan penyakitnya.[MO/ge]