Oleh: Dayang Sari Ahmad
Mediaoposisi.com-“Maafkan kedua orang tuamu kalau tak mampu beli susu, BBM naik tinggi, susu tak terbeli, orang pintar tarik subsidi, anak kami kurang gizi.”Lirik lagu diatas rasanya sudah tak asing lagi ditelinga masyarakat Indonesia. Yap, lagu dengan judul Galang Rambu Anarki yang diciptakan salah satu musisi legendaris Iwan Fals itu bercerita tentang keresahan harga BBM yang membumbung tinggi, diikuti harga bahan pokok yang mahal ditahun 1980-an.
Meskipun lagu ini rilis pada tahun 80-an untuk mewakili kondisi perekonomian pada masa kepemimpinan rezim saat itu, namun tak bisa dipungkiri lagu ini masih tetap segar didengar hingga era rezim saat ini.
Sudah menjadi agenda rutin setiap rezim yang memimpin Indonesia selalu ada momen harga BBM dinaikkan dengan berbagai macam dalih yang melandasinya.
Hampir setiap presiden pernah mengambil keputusan menaikkan harga BBM. Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, harga BBM mengalami beberapa kali kenaikan. Yakni pada tahun 1991, 1993 dan 1998.
Setelah rezim Soeharto runtuh dan digantikan Habibie, tidak ada catatan kenaikan harga BBM. Hal ini cukup wajar mengingat masa kepemimpinan Habibie yang hanya 18 bulan. Kemudian pada masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, harga BBM mengalami kenaikan pada tahun 2000 dan 2001.
Ketika menjadi presiden Indonesia kelima, putri Bung Karno yakni Megawati Soekarnoputri juga mengambil kebijakan serupa yakni pada tahun 2002 dan 2003.
Berlanjut pada Presiden berikutnya yakni Susilo Bambang Yudhoyono tercatat tiga kali menaikkan harga BBM. SBY sudah beberapa kali menjelaskan alasannya mengambil kebijakan yang nonpopulis ini. Salah satunya karena tidak ingin membebani presiden periode berikutnya.
Langkah yang diambil Presiden SBY ternyata tidak menjamin beban pemerintahan Joko Widodo berkurang. Presiden Joko Widodo pun mengambil kebijakan yang sama seperti pendahulu-pendahulunya. Kebijakan nonpopulis, menaikkan harga BBM. Padahal, umur pemerintahannya belum genap satu bulan berjalan.
Pada tahun 2014-2015 Presiden Joko Widodo terhitung 4 kali menaikkan harga BBM. Awal tahun 2018 tepatnya pada tanggal 13 Januari terjadi kenaikan BBM nonsubsidi. Hanya berselang 7 hari, kenaikan harga BBM kembali terjadi pada Pertalite.
24 Februari 2018 kenaikan harga BBM untuk ketiga kalinya ditahun 2018 terjadi pada jenis BBM nonsubsidi.
Kemudian pada 24 Maret 2018 terjadi kenaikan harga BBM Pertalite dan yang terakhir informasi kenaikan BBM yang masih hangat diperbincangkan baru-baru ini pada tanggal 1 Juli 2018,
pasalnya kenaikan harga BBM terjadi pukul 00.00 WIB tanpa sepengetahuan rakyat, hal ini semakin memicu kekecewaan rakyat mengingat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah menyatakan dalam konferensi persnya di Kementrian Keuangan, Jakarta Pusat, Senin, 21 Agustus 2017 bahwa pemerintah tidak akan menaikkan tarif listrik, BBM dan LPG pada tahun 2018. (tempo.co)
Hal ini jelas menyakiti dan mengkhianati hati rakyat. Terlebih kepada mereka yang datang dari kalangan masyarakat kelas menengah ke bawah, tersebab kenaikan harga BBM sangat mempengaruhi tingkat inflasi disektor riil.
Sekalipun kenaikan harga terjadi pada BBM non-subsidi yang dianggap “Elite”, tetap saja BBM non-subsidi juga merupakan konsumsi kendaraan-kendaraan transportasi yang digunakan untuk pendistribusian.
Sehingga hal ini bisa berperan juga dalam kenaikan barang-barang kebutuhan lainnya, terutama bahan pokok. Apatah lagi mengingat kenaikan harga ini tidak dibarengi dengan naiknya penghasilan masyarakat sehingga membuat beban hidup semakin tinggi.
Hal ini bisa terjadi pada seluruh lapisan masyarakat, baik yang berkendaraan dengan mobil atau bahkan yang memilih onta sebagai alat transportasinya.
Tak bisa dipungkiri lagi, bahkan fakta tak bisa manipulasi bahwasanya siapapun yang memimpin negeri ini tak akan lepas dari kebijakan nonpopulis tersebut, selama sistem kapitalisme masih mewarnai aktifitas perekonomian dinegeri ini.
Sekalipun yang memimpin adalah Megawati Soekarnoputri anggota dari partai PDIP yang terkenal vokal dan lantang mengkritik kebijakan naiknya harga BBM kala berada diluar pemerintahan.
Saat pemerintahan SBY akan menaikkan harga BBM pada tahun 2012, PDIP menolak dengan menyebarkan spanduk dan unjuk rasa diberbagai daerah, bahkan PDIP mengeluarkan buku panduan berjudul “Argumentasi PDI Perjuangan Menolak Kenaikan Harga BBM” di Gedung DPR, 30 Maret 2012.
Tapi itu dulu! Sekarang justru menjadi sebuah ironi, sejarah mencatat kenaikan harga BBM paling banyak terjadi pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo yang notabenenya adalah anggota dari PDI Perjuangan dan anehnya lagi sepanjang terjadinya kenaikkan tersebut tak ada kritikkan maupun penolakan yang datang dari PDI Perjuangan.
Alih-alih melakukan penolakkan, PDIP malah mendukung kenaikkan harga BBM dengan alasan menekan defisit APBN, ini menujukan sikap inkonsistensi dan pragmatisme dari partai yang katanya partai wong cilik.
Sudah menjadi hal yang lumrah dalan sistem perpolitikkan ala demokrasi, tak ada kawan dan lawan sejati, yang ada hanyalah kepentingan abadi. Sejatinya tak ada yang benar-benar mengurusi urusan rakyat yang ada hanyalah mengurusi urusan kekuasaan.
Berbeda halnya dengan Islam, dalam Islam politik adalah ri’ayah su’unil ummah yang berarti mengurusi urusan umat (rakyat),
Islam tidak hanya mengatur terkait ibadah mahdoh saja atau hubungan antara manusia dengan Tuhan (Misalnya ibadah, seperti sholat, puasa, zakat dll) namun juga mengatur hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, juga hubungan antara manusia dengan manusia lainnya. Islam memiliki peraturan terlengkap sebagai instruksi menjalani kehidupan.
Mulai dari bangun tidur hingga bangun negara, tata cara makan, mandi, bahkan dalam berhubungan suami-istri pun telah memiliki pengaturan. Bila untuk hal kecil dalam kehidupan sehari-hari saja telah memiliki prosedur tetap dari Yang Maha Kuasa, maka untuk hal besar seperti pengaturan harga BBM pun pasti juga telah ada aturannya.
Peraturan-peraturan didalam Islam secara resmi dan valid bisa digali dari empat sumber kredibel yaitu, Al-quran, As-sunnah, Ijma dan Qiyas. Ada sebuah hadits (Pencatatan Sunnah) yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bahwasanya “Kaum Muslimin itu berserikat dalam tiga hal yaitu padang rumput, air dan api.”
Hadits diatas merupakan dasar pengaturan bahwa api (salah satunya adalah bahan bakar minyak) merupakan kepemilikan umum yang wajib diatur oleh negara sesuai syariah. Berbeda halnya dengan sistem ekonomi kapitalisme yang memberikan kebebasan kepemilikan kepada mereka yang bermodal untuk memprivatisasi SDA di Indonesia.
Tujuan pengaturan ini adalah untuk pemenuhan kebutuhan rakyat hingga tak ada satupun yang kekurangan, kesulitan hingga kesusahan dalam mendapatkan BBM. Negara bahkan bisa mendistribusikan SDA kepada rakyat secara cuma-cuma atau gratis bila dilakukan penyatuan SDA didalam negeri dan pengaturan dikelola oleh negara sesuai syariah Islam.
Efek ini bisa dirasakan lebih besar bila penyatuan SDA ini dilakukan oleh banyak negara Muslim. Sehingga semua manfaat bisa dirasakan oleh rakyat dari lapisan mana saja.[MO/sr]