Oleh: Indarto Imam B., S. Pd. – Direktur IDE (Indonesia Education Circle)
Indonesia telah merdeka lebih. Bukan waktu yang pendek bagi sebuah bangsa untuk mempersiapkan diri menjadi bangsa yang prestatif. Ironisnya Indonesia terpuruk hampir di seluruh bidang, termasuk pendidikan. Di bidang pendidikan rendahnya kualitas hampir merata dari seluruh aspek: guru, fasilitas pendidikan, kurikulum, sampai pada prestasi siswa.
Perguruan Tinggi pada awalnya didanai terutama oleh pajak rakyat (public funding). Hasil karya Perguruan Tinggi yang didanai public funding adalah public goods, bukan private goods. Dengan demikian, publik cenderung lebih mudah mengakses hasil karya Perguruan Tinggi tanpa lisensi yang mahal. Hal ini selaras dengan fungsi Tri Dharma Perguruan Tingggi yang menekankan sinergisitas kampus sebagai institusi pendidik, penelitian sekaligus pengabdian kepada masyarakat. Namun ternyata, saat ini konsep tersebut telah bergeser. Pendidikan tinggi cenderung diprivatisasi dan dikapitalisasi. Penguatan pada privatisasi pendidikan ini, misalnya, terlihat dalam Pasal 53 (1) UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas). Dalam pasal itu disebutkan, penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh Pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan. Dalam pasal ini secara jelas dikatakan bahwa masyarakat wajib turut serta dalam membiayai pendidikan.
Akibatnya biaya operasional pendidikan tinggi membengkak karena dikelola secara mandiri oleh kampus dan diserahkan kepada swasta. Dengan kata lain, negara mulai berlepas tangan pada masalah pendidikan. Kemudian bermunculan kampus-kampus otonom yang kualitas output lulusannya patut dipertanyakan. Dengan adanya otonomi kampus, hanya orang-orang yang berkantong tebal yang bisa masuk perguruan tinggi. Sekalipun cerdas dan lulus seleksi melalui undangan ataupun jalur tes, para calon intelektual bangsa ini dihadang dengan biaya mulai jutaan hingga puluhan juta.
Mahalnya biaya kuliah sangat dirasakan masyarakat. Rencana industrialisasi dan kapitalisasi di dunia pendidikan di negeri ini terasa sangat kuat. Indonesia sebagai anggota World Trade Organization (WTO) telah meratifikasi Agreement Establising the World Trade Organization melalui penetapan UU No.7 Tahun 1994. Dampaknya Indonesia harus menjalankan liberalisasi perdagangan, termasuk perdagangan jasa pendidikan. Bisa jadi ke depan, kapitalisasi pendidikan tinggi akan makin menjadi.
Dampak lain dari privatisasi pendidikan adalah beralihnya riset, yang outputnya benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat, menjadi riset-riset yang diinginkan para pengucur dana. Kampus berpotensi besar akan lebih memilih sibuk berbisnis untuk keberlangsungan hidupnya daripada berkonsentrasi pada peningkatan mutu intelektual sumber daya manusia yang dimiliki.
Akar penyebab karut-marut pendidikan di atas tidak lain karena landasan yang dipakai adalah sekulerisme, kapitalisme, liberalisme. Sekulerisme menyebabkan lembaga pendidikan kehilangan orientasi untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas dan berkarakter. Outputnya, adalah orang-orang yang tak lagi mengindahkan ajaran agama dan tipis akhlaknya. Ditambah dengan ditanamkannya ide liberalisme, lahirlah siswa-siswa yang bertingkah laku dan bergaya hidup bebas, dan cenderung sulit diatur. Muncul berbagai problem seperti gaya hidup bebas, seks bebas, narkoba, tingkah laku brutal, tawuran, dan sebagainya.
Ideologi Kapitalisme yang diterapkan di negeri ini, mengharuskan minimnya peran negara dalam melayani masyarakat termasuk pendidikan. Sektor pendidikan akhirnya diprivatisasi. Akibatnya, biaya pendidikan dari hari ke hari makin melangit. Penerapan kapitalisme itu juga menjadikan seluruh aspek kehidupan dikapitalisasi. Pendidikan berubah menjadi komoditas bisnis. Akibatnya hanya golongan masyarakat yang mampu membayar saja yang bisa merasakan pendidikan bermutu. Sementara golongan masyarakat tak berpunya harus puas dengan pendidikan rendah dan tak bermutu, bahkan tak sedikit yang terpaksa berhenti sekolah karena ketiadaan biaya. Akibatnya terjadilah lingkaran setan kemiskinan dan kebodohan, kesenjangan makin menganga dan segudang problem sosial yang menjadi ikutannya. [IJM]