Oleh: Fajar Kurniawan - Senior Analyst, Pusat Kajian & Analisis Data (PKAD)
Kementerian Keuangan menekankan bahwa posisi utanghutang pemerintah saat ini masih dalam batas aman. Meski besaran utanghutang mencapai Rp 4.034,8 triliun (per Februari 2018), seluruh indikator masih menunjukkan posisi utanghutang Indonesia terjaga dan dikelola dengan baik serta profesional. "Jadi, siapapun presidennya, selama disiplin dengan Undang-Undang, Insya Allah utanghutang kita aman," kata Direktur Pembiayaan Syariah Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Resiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, Suminto, saat hadir mewakili Kemenkeu dalami diskusi "Menakar UtangHutang Jokowi" di DPP Taruna Merah Putih, Jakarta Pusat, Kamis (12/4/2018). https://ekonomi.kompas.com/read/2018/04/12/223800626/-siapapun presidennya-selama-disiplin-dengan-uu-insya-allah-utang-aman-.
Pernyataan Suminto menarik untuk dinilkai, dan sebagai catatan, negara-negara yang memberi pinjaman kepada Indonesia diantaranya adalah Singapura (USD 58 M dollar AS), Jepang (USD 31 M dollar AS), Belanda (USD 11 M dollar AS), Amerika Serikat dan lain-lain. KontrasSementara di satu sisi, World Bank Bank Dunia sendiri telah menempatkan utanghutang luar negeri Indonesia di level bahaya. Sebab, fluktuasinya sudah di atas 30 persen. Jjika beban utanghutang luar negeri suatu negara itu fluktuasinya mencapai 30 %, maka dalam level bahaya. Bank dunia Bank Dunia menempatkan Indonesia pada level tersebut, dengan fluktuasi beban utanghutang luar negeri sebesar 34,08%. “Dan, selama negara didekte oleh asing, maka Indonesia sampai 2040 tak akan mampu menghadapi kekuatan asing.”
Tidak Ada Makan Siang Gratis
Kita perlu menyadari bahwa salah satu teknik strategi negara-negara Barat untuk melangsungkan imperialisme (penjajahan) kepada negara-negara jajahannya adalah dengan menjerat negara tersebut melalui hutang. Sedangkan imperialisme itu sendiri, sesungguhnya merupakan metode tetap yang khas dari negara-negara Barat untuk menyebarluaskan ideologi kapitalisme yang mereka anut. Menurut Syaikh Taqiyyuddin An Nabhani (1973) dalam Mafahim Siyasiyah li Hizbit Tahrir hal. 13, imperialisme (al isti’mar) adalah pemaksaan dominasi (fardhu saytharah) di bidang politik, ekonomi, militer, dan budaya kepada negara-negara yang didominasi, untuk kemudian dieksploitasi (istighlal). Ringkasnya, imperialisme senantiasa menunjukkan 2 (dua) ciri tetap, pertama, adanya pemaksaan dominasi (fardhu saytharah), dan kedua, adanya eksploitasi (istighlal).
Sebelum Perang Dunia I, cara yang ditempuh negara-negara Barat adalah memberikan bantuan (hutang), kemudian melakukan intervensi melalui hutang itu untuk menancapkan pengaruh dan kebijakannya di negeri-negeri yang diberi bantuan. Di Mesir, bantuan-bantuan yang diterima oleh pemerintah antara tahun 1864 hingga 1875 telah mencapai sekitar 95 juta poundsterling. Kemudian pada tahun 1875 datanglah satu komisi penyelidik untuk memeriksa kondisi perekonomian Mesir dan mengusulkan dibentuknya sebuah dewan pengawas untuk memperbaiki keadaan perekonomiannya. Penguasa Mesir saat itu, Khadawi, tunduk kepada usulan ini dan setelah itu bantuan hutang tidak diberikan kecuali atas persetujuan dewan pengawas tersebut.
Pada tahun 1886 Khadawi membentuk lembaga Dana Hutang (Shunduq Ad Dayn) guna menerima dana-dana hutang yang dikhususkan untuk mengelola proyek-proyek lokal. Dengan demikian, ada anasir pemerintahan asing di dalam tubuh pemerintahan Mesir. Pada tahun 1886 itu juga, Khadawi membentuk lembaga bernama Sistem Pengawasan Bilateral (Nizham Ar Raqabah Ats Tsuna`iyah) yang antara lain tugasnya adalah melakukan kontrol atas kondisi keuangan Mesir. Yang melakukan tugas ini adalah dua orang pengawas, yaitu satu orang Inggris untuk mengontrol segala pendapatan negara, dan satu orang Perancis yang mengontrol segala pembelanjaan negara.
Lembaga pengontrol ini kemudian berkembang dan berubah menjadi Dewan Menteri yang di antara anggotanya adalah dua orang menteri berkebangsaan Eropa; satu orang berkebangsaan Inggris yang memegang jabatan menteri dalam Kementerian Keuangan, satu orang lagi berkebangsaan Perancis menjabat sebagai menteri dalam Kementerian Urusan Pekerjaan Rakyat. Demikianlah akhirnya Inggris berhasil menjajah Mesir melalui jalan hutang (Abdurrahman Al Maliki, op.cit., hal. 201).
Hutang dan Bantuan Luar Negeri, Strategi Imperialisme Gaya Baru
Pada awalnya, imperialisme gaya baru AS ini (hutang dan bantuan luar negeri) – yang dijalankan negara-negara Eropa dan AS – tidak banyak diketahui orang banyak, karena diberi kedok dengan “revolusi kemerdekaan” dari penjajahan dan “bantuan” untuk membangun ekonomi negara yang baru merdeka. Semula cara baru ini hanya diketahui oleh para pengamat politik internasional. Namun pada pertengahan dasawarsa 60-an, orang-orang sudah mulai menyadari hal ini terutama setelah mereka mengamati upaya kemerdekaan negara-negara Afrika dan peristiwa Kongo. Akhirnya Sampai akhirnya menjadi jelaslah bagaimana cara baru yang dijalankan AS AS untuk mengembangkan imperialisme, yaitu mengubah imperialisme yang semula berupa pemaksaan dominasi melalui pasukan perang dan kekuatan militer terhadap bangsa-bangsa lemah untuk kemudian dieksploitasi, menjadi pemaksaan dominasi dengan cara baru, yaitu : (1) pemberian kemerdekaan – secara formalitas” kepada negara terjajah, dan (2) memaksakan dominasi atas negara itu melalui berbagai hutang dan bantuan. (Abdurrahman Al Maliki, op.cit., hal. 7-8).
Sehingga Menjadi menjadi gamblanglah bagi setiap orang bahwa ide pemberian kemerdekaan kepada berbagai bangsa dan pemberian hutang kepada mereka, tidak lain adalah cara baru untuk melangsungkan imperialisme. Semua orang akhirnya tahu bahwa AS AS selalu memantau negara-negara jajahan Inggris, Perancis, Belgia, Belanda, dan Portugal di berbagai belahan dunia, kemudian merebut negara-negara jajahan mereka itu dengan jalan memberikan kemerdekaan dan kemudian mengikatnya dengan memberi bantuan dan hutang. Peristiwa Kongo dan Angola, serta upaya PBB menentang penjajahan Inggris di Afrika (seperti Rhodesia), juga pembebasan Irian Barat yang kemudian digabungkan dengan Indonesia, merupakan bukti-bukti yang amat jelas adanya langkah politik AS menjalankan cara baru imperialismenya, yaitu memberi kemerdekaan dan bantuan.
Yang perlu juga diingat, sebuah negara merdeka yang akan mengambil hutang dari AS, tentunya harus mempunyai alasan atau justifikasi yang kuat di hadapan rakyatnya. Karena itulah, AS merekayasa opini umum mengenai “rencana pembangunan” atau “upaya menumbuhkan ekonomi” di negeri-negeri yang sebelumnya merupakan negara jajahan atau berada di bawah pengaruh negara-negara Barat. Pembentukan opini ini bertujuan agar penduduk negeri-negeri itu terdorong untuk menyusun rencana pembangunan atau rencana pembangunan ekonomi, yang untuk implementasinya tentu membutuhkan biaya besar yang tak lain harus diambil dari hutang-hutang luar negeri, terurama dari AS. Melalui hutang inilah, akhirnya negara-negara Barat – - terutama AS” – dapat memaksakan dominasinya atas berbagai bangsa untuk kemudian dieksploitasi guna kepentingan negara-negara imperialissme yang kafir itu. Inilah teknik penjajahan baru yang memang dirancang untuk menggantikan penjajahan gaya lama berupa pemaksaan dominasi melalui pasukan perang dan kekuatan militer (Abdurrahman Al Maliki, op.cit., hal.8).
Inilah hakikat politik bantuan luar negeri negara-negara Barat, khususnya AS, kepada berbagai negara dan bangsa di dunia. Bantuan luar negeri adalah sarana negara-negara Barat – -khususnya AS”” – untuk menguasai negeri-negeri lain diberbagai belahan dunia dan mencengkeramkan pengaruhnya di negeri-negeri itu. Dengan kata lain, bantuan luar negeri itu sebenarnya bukanlah bantuan, melainkan suatu senjata politik (as silah as siyasi) yang ada di tangan negara pemberi hutang untuk memaksakan politik dan falsafah hidupnya (kapitalisme) kepada negeri yang mengambil hutang.
Pernyataan John F. Kennedy pada tahun 1962 kiranya membuktikan semua itu. Dia menyatakan, “Bantuan luar negeri merupakan suatu metode yang dengan itu Amerika Serikat mempertahankan kedudukannya yang berpengaruh dan memiliki pengawasan di seluruh dunia, serta menopang cukup banyak negara yang jika tidak dibantu sudah pasti akan runtuh, atau beralih ke dalam blok Komunis.” (Magdoff, The Age of Imperialism, hal.117, dalam Dawam Raharjo, Kapitalisme Dulu dan Sekarang, hal. 120).
Pemaksaan dominasi nampak sangat jelas dalam bermacam persyaratan (conditionalities) pemberian hutang, yang sebenarnya lebih patut disebut sebagai “mengintimidasi dan mencampuri urusan dalam negeri”. Para pemberi pinjaman, apakah itu lembaga-lembaga keuangan multilateral seperti Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, atau bank-bank komersial swasta, hanya akan memberikan pinjaman jika negara yang akan diberi pinjaman memang bersedia melaksanakann apa yang mereka sebut sebagai “penyesuaian struktural” (structural adjustment) yang, , pada dasarnya , adalah “menyesuaikan kebijakan perekonomian negara yang bersangkutan agar lebih berorientasi dan terintegrasi ke dalam sistem pasar dunia.” Artinya, menyesuaikan diri dengan kehendak sistem pasar dunia yang dominan, yaitu : sistem perdagangan bebas ala sistem kapitalis seperti yang berlaku di negara-negara industri maju di Amerika Utara, Eropa Barat, dan Jepang. Itu berarti bahwa negara-negara yang ingin mendapatkan pinjaman dana dari IMF/Bank Dunia harus melakukan sejumlah “langkah penyesuaian” di dalam negeri mereka, antara lain : devaluasi mata uang, deregulasi sistem perbankan, privatisasi, liberalisasi pasar, peningkatan ekspor, pengurangan konsumsi dalam negeri, pengurangan subsidi sektor publik, pemotongan belanja pemerintah untuk sektor-sektor pelayanan sosial, dan sebagainya dan seterusnya.
Jadi siapapun Presidennya, selama hegemoni barat dan skenarionya masih dipatuhi, negeri ini tidak akan mampu berdikari. Sudah saatnya kaum musliminrakyat Indonesia – khususnya kaum muslimin – bersikap tegas dalam masalah bantuan luar negeri ini. Mereka Rakyat harus menolak bantuan dan hutang luar negeri, – apapun bentuknya – karena telah terbukti membawa bahaya dan menyengsarakan merekarakyat. Mereka Rakyat harus berusaha dan berjuang keras untuk menghentikan ketertindasan dan ketundukan yang hina di bawah dominasi dan eksploitasi negara-negara Barat yang kafir. Mereka Rakyat juga harus sadar bahwa negara-negara Barat bukanlah sahabat apalagi penolong mereka, melainkan musuh dan penjajah yang telah menyengsarakan dan menghinakan mereka. [IJM]