Oleh: Ahmad Rizal - Dir. Indonesia Justice Monitor
PDIP sudah mengumumkan Joko Widodo sebagai capres mereka, partai Gerindra telah menggelar deklarasi usung Prabowo sebagai capres. Poros baru untuk pencalonan presiden pada pilpres 2019 belum nampak. Sampai saat ini calon presiden di luar Jokowi yang memiliki elektabilitas tinggi adalah Prabowo Subianto, Ketua Umum Gerindra. Nama Gatot Nurmantyo belakangan namanya menguat menjadi Capres.
Yang jelas, panasnya persaingan yang semakin tinggi membuat para aktor politik dan partai-partainya mulai dirasakan publik. Publik berharap mereka tidak terjebak dalam pragmatisme politik. Kita tidak berharap para politisi hadir dalam orientasi jangka pendek untuk dapat memenangkan persaingan politik. Seringkali orientasi jangka pendek ini membawa para aktor politik ke arah sikap yang lebih mementingkan tujuan untuk “berkuasa” ketimbang apa saja yang akan dilakukan setelah “berkuasa”. Inilah sikap yang menjadikan berkuasa sebagai tujuan akhir dan bukannya melakukan pembaharuan kebijakan publik sebagai hasil dari berkuasa itu. Hal ini mengusung implikasi ditabraknya etika, moralitas, aturan main, janji politik dan ideologi partai hanya untuk mengamankan posisi politik mereka.
Pragmatisme politik yang bertujuan jangka pendek ini harus ditinggalkan oleh partai politik manapun. Prinsip seperti ini membuat kepentingan umum niscaya terabaikan. Kepragmatisan dunia politik membuat prinsip serba instan dan cepat menjadi prinsip utama. Semuanya dikarbit. Calon dan partai baru diorbitkan untuk menjadi cepat terkenal dan populer dikalangan masyarakat dan media massa. Popularitas dijadikan tolak ukur utama suatu keberhasilan. Orang yang berkualitas tetapi tidak dalam lingkaran kekuasaan pun menjadi tersisih. Sebaliknya mereka yang berada dalam posisi pusat perhatian media massa seperti penyanyi, pelawak dan artis sinetron menjadi rebutan partai-partai politik. Semakin besar jumlah penggemar, semakin tinggi pula nilai jual selebritis bersangkutan. Kenyataan ini membuat dunia politik menjadi sepi ideologi dan ramai dengan hura-hura para tokoh selebritis.
Pragmatisme politik menyebabkan politik menjadi sangat instan dan tanpa pembekalan. Asal mereka terkenal sudah cukup menjadi sumber daya untuk terjun ke dunia politik. Alhasil, popularitas dan ketenaran menjadi syarat nomor satu. Sulit ditemukan kaderisasi yang terpadu dan terencana di dalam dunia politik di Indonesia masa kini. Sehingga tidaklah mengherankan apabila seringkali kita jumpai banyak sekali artis yang akhirnya digandeng oleh suatu partai politik untuk terlibat dalam kegiatan politiknya. Salah satu tujuan dari cara ini adalah menggunakan dan memanfaatkan popularitas yang dimilki oleh si artis untuk menarik massa. Sayang, cara ini tidak diimbangi dengan analisis tentang kemampuan politik para artis. Ini bukan masalah, yang penting artis tersebut dapat menarik perhatian masyarakat. Inilah bukti pragmatisme politik yang sangat akut mengikat partai politik saat ini, sehingga yang terbentuk hanya politik permukaan saja yang tidak pernah menyentuh substansi politik itu sendiri. [IJM]