-->

Artikel Ini, Penyebab Pendukung Megawati Polisikan Jurnalis Senior Dhandhy Dwi Laksono

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen

Artikel Ini, Penyebab Pendukung Megawati Polisikan Jurnalis Senior Dhandhy Dwi Laksono

Berita Islam 24H - Sayap organisasi PDIP, Relawan Perjuangan Demokrasi (Repdem) Jawa Timur melaporkan jurnalis senior Dhandhy Dwi Laksono ke polisi karena tulisannya tentang Megawati dan Aung San Suu Kyi.

Ketua Repdem Jawa Timur Abdi Edison menuduh Dhandy telah melakukan pencemaran nama baik Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo melalui Facebook.

Dalam laporannya Edison menyebut status Dandhy di Facebook pada Minggu, 3 September 2017 telah menghina dan menebarkan kebencian pada Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri dan Presiden Joko Widodo.

Keberatan Abdi, khususnya terletak pada tulisan Dandhy di paragraf yang berbunyi:

“Tepat setelah Megawati kembali berkuasa lewat kemenangan PDIP dan terpilihnya Presiden Joko Widodo yang disebutnya ”petugas partai” (sebagaimana Suu Kyi menegaskan kekuasaannya), jumlah penangkapan warga di Papua tembus 1.083 orang, mengalahkan statistik tertinggi di era Presiden SBY (2013) yang berjumlah 548 orang.”

Rabu petang, dalam pernyataan kepada media, DPD Repdem Jawa Timur, menyatakan, “Pernyataan Dhandy menjelaskan seolah-olah Megawati PDIP Perjuangan dan Presiden Joko Widodo telah menjadi pemenang kontestasi pemilu telah melakukan perbuatan jahat kepada warga Papua.”

Berikut ini artikel Dhandhy Dwi Laksono berjudul “Suu Kyi dan Megawati”

Sulit untuk tidak ikut geram dengan mantan peraih Nobel Perdamaian (1991), Aung San Suu Kyi atas apa yang terjadi pada warga Rohingya.

Mantan tahanan politik 15 tahun di masa junta militer itu dianggap tak cukup bersikap untuk mencegah pembantaian Muslim etnis Rohingya yang dilakukan tentara Myanmar dan kelompok garis keras Budha.

Padahal Suu Kyi dianggap punya kekuasaan dan pengaruh setelah partainya (NLD) memenangi pemilu pada November 2015.

Selain pemimpin partai pemenang pemilu, ia adalah Penasihat Negara (State Counselor) dan Menteri Luar Negeri.

Penasihat Negara adalah jabatan setara Perdana Menteri yang berlaku lima tahun.

Tentu dalam negara yang memiliki barisan para jenderal, kajian politik tak boleh naif.

Tak jarang anasir-anasir militer memiliki agenda sendiri yang tak selalu sejalan bahkan menjebak pemerintahan sipil yang berkuasa.

Presiden John F Kennedy merasa kewalahan dengan agenda para jenderalnya di Pentagon dan CIA dalam krisis misil Kuba dan invasi Teluk Babi (1961) yang seakan segera menyuruhnya memulai perang nuklir dengan Uni Soviet.

Atau bagaimana Soeharto dan kawan-kawan jenderalnya membangun kontak secara diam-diam dengan pihak Sekutu di Kuala Lumpur dan Singapura, saat Presiden Sukarno justru sedang berkampanye “ganyang Malaysia” tahun 1963.

Kekecewaan pada Suu Kyi dalam kasus Rohingya harus selalu membuka kemungkinan hal-hal semacam ini.

Terutama karena secara historis, Myanmar dikuasai rezim militer selama 53 tahun dan punya catatan pernah menewaskan 3.000 orang dalam peristiwa demonstrasi berdarah 8888.

(“Angka cantik” ini diambil dari tanggal 8 Agustus 1988. Gerakan perlawanan juga punya “angka cantik” lain 7777 di mana rangkaian unjukrasa dimulai pada 7 Juli 1977).

Tapi tampaknya Suu Kyi tidak mengirim sinyal seperti Kennedy yang merasa sedang dikerjai para jenderal garis kerasnya.

Sebaliknya, Suu Kyi terkesan menjadi bagian dari itu.

Ia selalu menyebut kasus Rohingya adalah kekerasan antar-etnis yang juga terjadi pada etnis-etnis lain seperti Karen.

Kekecewaan pada Suu Kyi makin jelas ketika Mei 2017 lalu pemerintah Myanmar menolak dan membantah laporan PBB tentang apa yang terjadi terhadap warga Rohingya di Rakhine.

Bahkan pada Juni 2017 pemerintah Myanmar menutup akses investigator PBB.

Suu Kyi bahkan pernah membuat komentar yang dianggap bernada rasis usai diwawancarai reporter BBC, Mishal Husain tahun 2013 yang mencecarnya dengan pertanyaan seputar kasus Rohingya:

“Tidak ada yang bilang saya akan diwawancarai oleh seorang muslim,” kata Suu Kyi dalam sebuah buku biografi yang ditulis Peter Popham.

Apalagi ada kutipan pidato Suu Kyi yang menunjukkan tekadnya untuk mengakumulasi kekuasaan setelah ia memenangi pemilu:

“Aku yang akan membuat semua keputusan, karena akulah pemimpin partai yang memenangi pemilu”.

(Suu Kyi, dikutip The Independent, 11 Oktober 2015).

Semua orang tahu, konteks pidato itu adalah penegasan dari Suu Kyi, meski kelompok militer menghadangnya dengan konstitusi yang membuatnya tak bisa jadi presiden (karena dua anaknya memegang paspor Inggris), ia akan lebih berkuasa dari presiden.

Lalu apa hubungannya dengan Megawati? Dalam konteks dan detail yang berbeda, kita juga pernah punya pengalaman di mana ikon pejuang demokrasi yang pernah direpresi Orde Baru (dan puncaknya pada peristiwa 27 Juli 1996) tak selalu dapat diandalkan atau menjadi tumpuan harapan untuk menyelesaikan persoalan tanpa kekerasan.

Meski telah memenangi pemilu Juni 1999 dengan 33 persen suara, Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri sadar ia belum tentu bisa menjadi presiden karena saat itu presiden masih dipilih MPR.

Maka dalam pidato kemenangannya di Lenteng Agung, 29 Juli 1999, ia masih melanjutkan kampanye sambil berurai air mata:

“Untuk rakyat Aceh, jika saya dipercaya untuk memimpin negeri ini, percayalah, Cut Nyak tidak akan membiarkan setetes pun darah tumpah menyentuh Tanah Rencong yang begitu besar jasanya dalam menjanjikan Indonesia merdeka. Pada kalian, saya akan berikan cinta saya. Saya akan berikan hasil Arun-mu agar rakyat dapat menikmati betapa indahnya Serambi Mekkah jika dibangun dengan cinta dan tanggung jawab atas sesama warga bangsa Indonesia.”

Tak hanya terhadap rakyat Aceh yang mengalami Operasi Jaring Merah yang berdarah-darah antara 1988-1998, calon presiden Megawati juga mengatakan sesuatu tentang Papua:

“Begitu pula yang akan saya lakukan terhadap saudara-saudaraku di Irian Jaya dan Ambon tercinta. Datangnya hari kemenangan itu tidak akan lama lagi, Saudara-saudara.”

Tapi jalannya sejarah sudah sama-sama kita ketahui.

Setelah menggantikan Gus Dur yang justru mengambil jalan damai dan diplomasi budaya dengan Aceh, pada 19 Mei 2003, Presiden Megawati mengirim 40.000 tentara dan mengumumkan status Darurat Militer di Aceh yang berdarah-darah.

Ia mengikuti irama kendang para jenderal dan diplomatnya yang mengkondisikan perang di Aceh dengan membuat rangkaian perundingan internasional menemui jalan buntu, bahkan menangkapi para jururunding GAM, persis Jenderal De Kock menangkap Diponegoro saat berunding.

Sebagai produser di Liputan6 SCTV saat itu, rekaman pidato Megawati di Lenteng Agung, 29 Juli 1999 inilah yang pertama saya cari di video library saat membuat ulasan tentang Darurat Militer di Aceh.

Dalam katalog digital, rekaman ini ada dalam sebuah kaset Betacam, namun saat dicari di rak kaset, nomor tersebut tidak ada.

Kawan-kawan petugas library bingung karena juga tidak ada di dalam daftar peminjaman. Saya berkeras agar barang itu segera ditemukan.

Para senior membisiki saya, berdasarkan pengalaman, rekaman-rekaman berisi materi sensitif selalu bernasib seperti itu di library-library televisi Indonesia.

Apalagi ini rekaman pidato politisi yang kini menjadi presiden.

Mendengar itu, saya dan kawan-kawan library makin giat mencarinya.

Pencarian dilakukan secara fisik di setiap sudut library dan ruang editing dengan keyakinan, tidak mungkin barang itu diselundupkan keluar karena Darurat Militer baru diumumkan dini hari, dan saya baru menyinggung tentang rekaman itu di rapat siang harinya.

Setelah berjam-jam mencari, akhirnya kaset itu ditemukan di atas rak yang hanya bisa dilihat setelah petugas library naik kursi.

Tak ada kaset lain di sana, dan hanya kaset itu dan ketika di-playback persis di bagian pidato Megawati.

(Satu kaset berdurasi hingga 90 menit biasanya terdiri dari berbagai rekaman peristiwa).

Beruntung, di Youtube ada yang mengunggah pidato bersejarah itu meski tidak lengkap.

Bagian pidato tentang Aceh ada di menit 03:00.

Bagi hasil lapangan gas Arun yang ia sebut-sebut, baru termaktub dalam UU Pemerintahan Aceh setelah perundingan damai Helsinki, Agustus 2005.

Perundingan yang dipaksa oleh tsunami, bukan atas peristiwa politik.

Untuk Papua, Gus Dur yang tak pernah berkampanye menjadi presiden dan menangis di depan kamera, justru yang menerapkan diplomasi kemanusiaan di Papua.

Bendera Bintang Kejora boleh dikibarkan sebagai simbol budaya, dan ia mengizinkan digelarnya Kongres Rakyat Papua.

Namun ketika digantikan Megawati, pendekatan terhadap Papua sontak berubah.

Jenderal-jenderal yang menggurutu di masa Gus Dur, kembali mendapat angin untuk mengekspresikan sahwat “nasionalisme dan patriotismenya”.

November 2001, di masa Megawati menjadi presiden, justru terjadi pembunuhan politik terhadap Theys Hiyo Eluay yang sebenarnya sedang memimpin transformasi di Papua, dari perlawanan fisik ke diplomasi politik.

Maka hingga kini, apa yang disebut “datangnya hari kemenangan yang tak akan lama lagi” itu, berwujud menjadi penangkapan besar-besaran yang belum terjadi sebelumnya dalam sejarah. Tepat setelah Megawati kembali berkuasa lewat kemenangan PDIP dan terpilihnya Presiden Joko Widodo yang disebutnya sebagai “petugas partai” (sebagaimana Suu Kyi menegaskan kekuasaannya), jumlah penangkapan warga di Papua tembus 1.083 orang, mengalahkan statistik tertinggi di era Presiden SBY (2013) yang berjumlah 548 orang.

Bahkan menurut catatan LBH Jakarta dan Tapol, antara April hingga Juni 2016 saja, ada 4.198 warga Papua yang ditangkap di berbagai tempat di Indonesia karena mengekspresikan aspirasi politiknya. [beritaislam24h.info / snc]


Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close