Oleh: UqieNai
(Member AMK4)
Mediaoposisi.com- Bangsa Indonesia kembali merayakan kemerdekaannya. Beberapa hari sebelumnya media massa dan elektronik sudah marak memberitakan persiapan-persiapan perayaan, dari mulai gladi resik upacara bendera dengan pasukan paskibranya hingga kegiatan lokal antar warga masyarakat.
Sebut saja lomba kelereng, balap karung, panjat pinang, dll seakan menjadi momen yang tak kalah penting yang mesti ada.
Hari Ulang Tahun Kemerdekaan ke-74 tahun ini masih seperti tahun-tahun yang lalu, bahkan berpuluh tahun yang lalu. Rutinitas yang berulang dengan kegiatan yang sama dan sistem yang sama. Yang membedakan hanya kondisi kehidupan masyarakatnya.
Bertahun-tahun lamanya masyarakat Indonesia senantiasa merayakan hari kemerdekaan RI setiap tanggal 17 Agustus. Namun perayaan kemerdekaan itu seakan tak memberikan kesan mendalam dalam benak bangsa ini.
Kaum penjajah dari Belanda, Jepang, Portugis memanglah sudah tersingkir dari bumi nusantara dengan membawa hasil kekayaan alam negeri ini sekaligus meninggalkan luka menganga akibat penindasan dan penyiksaan yang dilakukan mereka. Darah tertumpah, nyawa melayang di tangan algojo yang rakus kekuasaan dan kekayaan, itulah Imperialisme.
Disadari atau tidak bangsa Indonesia sebenarnya belumlah merdeka. Bukan secara fisik tapi secara pemikiran. Masyarakat bisa melakukan aktivitas dan kehendaknya sesuka mungkin, sayangnya aktivitasnya didominasi pemikiran asing bukan pemikiran asli bangsa ini sebagai hasil perjuangan dan tumpahan darah ulama pengusir penjajah.
Ada beragam kebijakan negeri ini masih menginduk pada aturan asing. Undang-undang dengan KUHP pidana, perdata adalah peninggalan Belanda. Kebebasan berperilaku, berbicara, beragama dan kepemilikan berkiblat pada negara asing berfaham kapitalisme-liberalisme, Amerika contohnya.
Pun halnya kegiatan pembangunan di sana-sini dengan pengabaian terhadap tatanan sosial dan norma agama terindikasi wabah komunis sedang membayangi umat semakin benderang. Perilaku zolim dengan cara merampas milik umat begitu leluasa tanpa perasaan.
Serangan fisik memanglah tak dirasakan bangsa ini, apalagi dengan disodorkannya beragam pembangunan di berbagai aspek dengan dalih mendongkrak perekonomian dan menggenjot pemasukan negara.
Sepintas program tersebut sangatlah positif, akan tetapi dibalik itu hutang negara terus membengkak karena sebab pinjaman yang ditawarkan asing dan aseng untuk bermacam mega proyek yang dilakukan. Sebut saja pembangunan infrastruktur jalan tol, bandara, pelabuhan, kereta cepat Jakarta-Bandung, jalan layang, monorel dsb.
Cara penjajah era modern sangatlah halus. Cukup adakan kerjasama, perjanjian ini dan itu, kucurkan dana pinjaman sebesar-besarnya hingga negara peminjam tak mampu lagi membayar. Walhasil beberapa aset negara akan begitu saja beralih. Cara ini sedemikian efektif dan berhasil hingga Zimbabwe dan Angola dibuat tak berkutik. Beberapa aset negaranya dikuasai China hingga mata uangnya pun berganti Yuan.
Hal serupa akan segera menimpa Indonesia jika bangsa ini merasa telah merdeka dan terus terlena dengan kegiatan rutin nan membuai.
Satu sisi masyarakat dibiarkan dengan perilaku bebas dan menyimpang, melegalkan beragam kemaksiatan atas dalih hak asasi manusia, sementara di sisi lain masyarakat tidak boleh kritis dan menghujat pemerintah dalam hal kebijakan serta aturan negara meski itu zolim. Inikah yang disebut merdeka?
Sejatinya, bangsa Indonesia bisa sedikit berpikir mendalam atas apa yang terjadi pasca terlepas dari Belanda ataupun Jepang. Bangsa yang merdeka adalah bangsa yang menentukan nasibnya sendiri berdasarkan keyakinan yang ia miliki tanpa invasi dan intervensi asing.
Namun nyatanya serangan terselubung terus mencengkeram benak masyarakat tanpa ampun. Modernisasi dan kecanggihan teknologi membutakan mata dan hati tentang fakta aturan kufar dalam bermacam aspek kehidupan. Keyakinan hakiki tanpa intervensi hanya mampu terealisasi dalam tuntunan syariat Islam dengan aqidahnya, yakni aqidah Islam.
Kemerdekaan identik dengan kebebasan dan kemandirian. Setiap anak lahir ke dunia dalam keadaan merdeka. Umar bin Khatthab pernah berkata, “Manusia terlahir merdeka, dari mana engkau mendapat hak untuk memperbudaknya?”
Islam mengemban misi memerdekakan manusia dari perbudakan dan membebaskan mereka dari kemiskinan, kebodohan, penderitaan, dan kesengsaraan.
Para nabi dan rasul adalah suri tauladan yang baik. Mereka mengemban misi memerdekakan manusia dari kegelapan hidup dan dari penghambaan terhadap makhluk. Allah SWT menurunkan wahyu dari waktu ke waktu untuk mengeluarkan manusia dari kegelapan menuju cahaya.
Allah berpesan dalam Al-Quran (artinya): “Dan Kami telah menunjukkan kepadanya dua jalan (kebajikan dan kejahatan). Tetapi dia tidak menempuh jalan yang mendaki dan sukar. Dan tahukah kamu apakah jalan yang mendaki dan sukar itu ? (yaitu) melepaskan perbudakan (hamba sahaya) atau memberi makan ketika terjadi kelaparan.” (TQS al Balad [90]: 10-14).
Merenungkan firman Allah SWT di atas nyatanya tak dijumpai di negeri yang selalu merayakan kemerdekaannya tiap tahun, setiap tanggal 17 Agustus.
Sistem yang diadopsi negara sebagai perwujudan ideologi asing telah menciptakan kemiskinan, kebodohan, penderitaan dan kesengsaraan secara sistemik. Hampir setiap detik, menit sajian berita kejahatan, kemaksiatan, penyimpangan perilaku seksual terus menjadi potret buram.
Dengan demikian sampai kapan bangsa ini terus mengenang dan memperingati kemerdekaan, padahal faktanya belumlah merdeka?
Rasulullah SAW sebagai manusia pilihan, diutus Allah SWT untuk menerangi umat dari segala kegelapan.
Gelap pemikiran, gelap perasaan dan gelap tingkah laku, masihkah membuat umat Islam ragu untuk menegakkan aturan yang dibawa beliau hingga umat Islam diseluruh penjuru dunia benar-benar merdeka? Sudah saatnya kemerdekaan itu kita raih dengan penegakkan syariat Islamiyyah di bumi Allah termasuk bumi nusantara.
Wallahu a’lam bi ash Shawab. [MO/sg]