Oleh: Ainur Robiatul Adawiyah
Mediaoposisi.com-Tak luput dari barang dan jasa yang diperjual belikan, kini sebuah monster pemikiran pun diimpor oleh Indonesia. Negara dengan populasi muslim terbesar di Asia Tenggara, yang merupakan MVP (Most Valuable Player) dengan prosentase 13% dari populasi muslim di seluruh dunia.
Analoginya, dengan jumlah populasi terbesar maka penerapan syariat islam beserta seluruh nilai-nilainya pun harusnya akan tertanam dan menjadi kebanggan tersendiri bagi warga negara. Namun fakta berkata sebaliknya, banyak masyarakat Indonesia bahkan pemerintahnya terjangkit dengan ‘Islamophobia’.
Tidak hanya di Indonesia, ternyata hal ini pun juga terjadi berbagai negara. Menurut Pew Research Center¸yang terletak di Amerika Serikat, dunia semakin takut dengan simbol keagamaan. Larangan yang dilakukan oleh pemerintah melalui kebijakan dan tindakan yang membatasi keyakinan dan praktik keagamaan meningkat tajam.
Menurut riset hingga tahun 2017, sebanyak 52 pemerintah memberlakukan batasan dalam level yang tinggi terhadap hal yang terkait agama. Di Eropa, 20 negara membatasi pakaian yang berhubungan dengan agama, termasuk burqa dan cadar yang dikenakan wanita muslim.
Tentu peningkatan ini secara kasat mata dapat kita perkuat dengan melihat kebrutalan negara-negara kafir terhadap muslim di Palestina, Syria, Rohingnya, Afghanistan, dan Uighur. Dan juga kerepresifan pemerintah dunia islam terhadap masyarakat yang kritis dan menyuarakan kebangkitan islam.
Melihat fakta tersebut, tentu terlihat jelas sebuah kontradiksi yang mengantarkan pada adanya kecacatan pemikiran yang menggerogoti identitas dan akidah negeri-negeri muslim saat ini. Sebagaimana firman Allah SWT:
“Begitulah, bagi setiap nabi, telah Kami adakan musuh dari orang-orang yang berdosa. Tetapi cukuplah Tuhanmu menjadi pemberi petunjuk dan penolong” - Q.S. Al-Furqan (25): 31
“Dan demikianlah untuk setiap Nabi Kami menjadikan musuh yang terdiri dari setan-setan manusia dan jin, sebagian mereka membisikkan kepada sebagian yang lain perkataan yang indah sebagai tipuan. Dan kalau Tuhanmu menghendaki, niscaya mereka tidak akan melakukannya, maka biarkanlah mereka bersama apa (kebohongan) yang mereka ada-adakan” - Q.S. Al-An’am (6): 112
Islamophobia diproklamirkan secara tidak langsung oleh George Bush dalam sebuah narasi yang kita kenal sebagai ‘War on Terrorism’ sejak tragedi 9/11 di WTC. Setelah pemikiran ini mulai dipupuk dalam negeri sendiri, dengan cepat ia kemudian diekspor ke seluruh negara.
Menanggapi perintah tersebut para pemerintah boneka pun segera merespon dengan menerapkan kebijakan dan tindakan yang menekan dan membenamkan syariat islam yang seharusnya diterapkan oleh para pemeluknya. Sehingga islam mulai terkikis dan luntur dari ingatan kaum muslim itu sendiri.
Kerudung lebar, jilbab, cadar, isbal, jenggot menjadi indikasi fisiologi terduga teroris. Liqo’ dan Halaqah menjadi indikasi aktivitas para terduga teroris. Bendera tauhid, dan al qur’an dijadikan barang bukti terduga teroris.
Bahkan Khilafah yang merupakan Tajrul Furuuj (Mahkota Kewajiban) bagi umat islam pun didiskreditkan. Hal itu terbukti dengan dicabutnya BHP HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) oleh pemerintah secara inkonstitusional dan sepihak.
Terjadinya kriminalisasi terhadap para ulama dan pengemban dakwah islam. Dengan bingkai negatif, narasi “Radikal, ekstrimis, fanatik,” digaungkan sebagai makanan sehari-hari melalui berbagai media.
Tak hanya menjadi wacana saja seperti penanganan berbagai kasus lainnya, sikap pemerintah menunjukkan keseriusan yang berlebih. Pasalnya, penanganan pemerintah terhadap maraknya LGBT, seks bebas, korupsi dan berbagai problematika masyarakat lainnya tidak mendapatkan perhatian seperti hal ini.
Sebagaimana dalam Q.S. Al Baqarah (2): 120 yang menyatakan bahwa orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela hingga umat islam mengikuti millah mereka.
Padahal sebagai muslim, Islam tidak hanya agama, melainkan sebuah ideologi yang praktikal dan sudah pernah diterapkan selama 13 abad sejak masa Rasulullah SAW.
Islam adalah agama yang sempurna dan berlaku hingga akhir zaman. Tunduk kepada hukum Allah dengan ridha terhadap syari’at-Nya, menyelesaikan segala perselisihan dengan kembali kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan konsekuensi sebagai seorang muslim. Seperti dalam firman Allah:
“Tidaklah pantas bagi seorang lelaki yang beriman, demikian pula perempuan yang beriman, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu perkara lantas masih ada bagi mereka pilihan yang lain dalam urusan mereka. Barang siapa yang durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya sungguh dia telah tersesat dengan kesesatan yang amat nyata” – Q.S. Al Ahzab (33 ): 36
Menurut tafsir Ibnu Katsir rahimahullah ayat diatas bersifat umum mencakup segala permasalahan. Yaitu apabila Allah dan Rasul-Nya telah memutuskan hukum atas suatu perkara, maka tidak boleh bagi seorang pun untuk menyelisihinnya dan tidak ada lagi alternatif lain bagi siapapun dalam hal ini, tidak ada lagi pendapat atau ucapan yang benar selain itu (lihat Tafsir Al-Qur’an Al-Anzhim [6/423] cet. Dar Thaibah)
Dari ayat tersebut kita mendapatkan jaminan bahwa Allah sudah menetapkan hukum yang dapat diaplikasikan dalam berbagai perkara. Contoh kecil dalam menangani masalah terorisme, maka islam memiliki solusi tersendiri.
Islam memiliki sistem pendidikan sendiri yang khas, baik dalam pendidikan informal maupun pendidikan formal. Mulai dari pendidikan formal yang merupakan kebutuhan primer bagi masyarakat, sehingga bebas biaya bagi kalangan miskin ataupun kaya.
Tahap pertama dalam pendidikan adalah membangun kepribadian yang islami dengan dasar akidah islam. Lalu tahap selanjutnya meningkatkan pengetahuan mereka terhadap ilmu sains, teknologi dan keprofesian sebagai bentuk dari ibadah kepada Allah SWT.
Dengan Islam sebagai akar pondasinya dan pahala sebagai upahnya, maka hasil ilmu tidak akan terlepas dari nilai kebermanfaatannya dalam masyarakat. Secara informal, lingkungan terutama keluarga tentu menjadi tonggak yang akan menjaga individu-individunya.
Dan tentu saja sistem pendidikan islam ini tidak akan terwujud tanpa adanya sistem ekonomi islam dan sistem politik islam dalam naungan Khilafah.
Tentu hal ini sangat berbeda dengan penerapan sistem Kapitalis-sekuler saat ini yang tidak memberikan jaminan pendidikan terhadap seluruh warga negara.
Sistem pendidikan yang dinilai masih diskriminatif dan tidak merata. Sistem yang mengajarkan materi sebagai tolak ukur kesejahteraan. Sehingga menghasilkan tatanan sosial masyarakat yang individualis, sehingga minim kepekaan dan kepedulian terhadap permasalahan yang ada. Maka tindak kejahatan, kekerasan dan aksi-aksi teror adalah hal yang lazim adanya.
Berbeda dengan islam. Sebagai muslim kita tentu meyakini bahwa islam adalah Rahmatan lil ‘alamin, sebagaimana firman-Nya:
“Dan tidaklah Kami mengutusmu (Muhammad), melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam” – Q.S. Al Anbiya (21): 107
Allah menjanjikan islam sebagai rahmat yang akan diberikan bukan hanya kepada kaum muslim, namun juga kepada non-muslim, hewan, tumbuhan dan alam semesta. Secara bahasa, rahmat artinya kelembutan yang berpadu dengan rasa iba (lihat Lisanul Arab, Ibnul Mandzur) atau dengan kata lain rahmat dapat diartikan dengan kasih sayang.
Sehingga untuk mendapatkan rahmat Allah tentu kita tidak akan segan-segan dalam mempelajari, menerapkan dan mendakwahkan islam dalam seluruh aspek kehidupan kita.
Karena Islam merupakan sebuah konstruksivitas yang absolut dan tidak dapat dijalankan setengah-setengah, tidak pantas bila seorang muslim masih takut untuk mempelajari agama mereka sendiri. Karena sejatinya dengan mempelajari agama itulah salah satu solusi preventif untuk terhindar dari ajaran dan tindakan terorisme, bukan malah sebaliknya.
Dan tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk takut mendakwahkan Khilafah, karena ia merupakan ajaran islam yang terlindungi secara konstitusional. Terutama karena itu merupakan perintah dan kewajiban dari Allah SWT.
Maka, perjuangan umat islam harus semakin kita gencarkan dengan terus mendakwahkan Islam dan Khilafah sebagai solusi utuh dalam menghadapi kompleksitas problematika dunia secara global.
Wallahua’lam bisshowab. [MO/sg]