
x
x
Oleh: Meto Elfath
(Ketua DPP FK-IM Konsel Raya)
Mediaoposisi.com-Dalam dunia film laga, angka 212 adalah simbol kesaktian tokoh fiksi Wiro Sableng, murid sang guru silat fenomenal Sinto Gendeng. Wiro Sableng dikenal sebagai sang pendekar 212. Setidaknya bagi generasi tahun 90-an, angka 212 sangat familiar sebagai simbol perlawanan menumpas kebathilan.
Berbeda dengan generasi jaman now, ketika mendengar kata 212 yang terlintas adalah aksi akbar 212 tanggal 2 Desember 2016 silam. Suatu aksi fenomenal yang membanjiri bundaran HI Jakarta oleh jutaan umat Islam dari seluruh pelosok tanah air untuk sebuah alasan yang pasti.
Ada perbedaaan sekaligus persamaan menarik antara 212 dalam film laga tahun 90-an dengan 212 jaman now. Dalam film laga Wiro Sableng, tontonan aksi kesaktian 212 adalah fiktif. Berbeda dengan aksi 212 jaman now yang tontonannya adalah fakta terindera. Inilah perbedaan eksistensi 212 era 90-an dengan era now.
Adapun persamaannya, ada 2 (dua) hal yang relevan untuk disebutkan, yaitu Makna filosofis angka 212 dan semangat perlawanan dibaliknya.
Menurut penulis novel Pendekar Kapak Maut Naga Geni 212 Wiro Sableng (Almarhum Bastian Tito), angka 212 memiliki nilai filosofis yang mendalam. Angka 2 bermakna fakta bahwa segala sesuatu tercipta berpasang-pasangan. Sementara angka 1 berarti Tuhan pencipta yang maha esa. Jadi, angka 212 dipilih untuk membawa makna itu. (Tribunnews.com)
Demikian juga aksi akbar 212, para inisiator aksi memilih 212 bukan hanya sekedar kebetulan bertepatan tanggal 2 bulan 12, namun memiliki makna filosofis berupa nilai tauhid 2 kalimat syahadat untuk meng-Esa-kan Allah SWT.
Bila semangat kesaktian 212 Wiro Sableng adalah untuk perlawanan dan memberantas kemungkaran yang dilakukan oleh tokoh-tokoh antagonisnya, maka tidaklah berlebihan jika aksi akbar 212 juga membawa ghiroh perlawanan pada kemungkaran yang menodai prinsip tauhid kala itu.
Substansi dari semesta filosofis dan ghiroh 212, baik dalam kisah fiktif maupun aksi nyata gerakan 212 adalah hadirnya ruh
.
Bermula dari kenyataan adanya aspek rohani (an-Naahiyah Ruhiyah) pada makhluk, kemudian membentuk Ruh (Ruhiyah) kesadaran akan hubungannya dengan sang Khaliq sehingga melahirkan Ruhaniyah (kerohanian), yaitu kesan atau pengaruh yang ditimbulkan dari adanya Ruh tadi. (Note: Penjelasan detail tentang hubungan Ruhiyah, an-Nahiyah Ruhiyah dan Ruhaniyah bisa dirujuk dikitab Mafahim Hizbut Tahrir).
Karena itu, adanya Ruh pada seseorang akan menggerakkan orang tersebut untuk melakukan sesuatu dengan kaidah tertentu berdasarkan kehendak Ruh itu sendiri. Ruh inilah yang kelak memunculkan semangat amar ma’ruf nahiy munkar, semangat syiar dan dakwah Islam. Pun ruh inilah yang menyertai perlawanan umat dalam aksi 212.
Kini dua tahun lebih telah berlalu setelah aksi akbar 212 2016. Aksi itu diberi nama Aksi Bela Islam (ABI). Mengapa Bela Islam? Karena kala itu Islam dilecehkan oleh lisan tak bertanggung jawab dibawa perlindungan mantra ganda HAM. Panduan suci risalah Islam (Al-Qur’an) dilecehkan dan dianggap sebagai sumber pembohongan dalam perkara kepemimpinan.
Maka demi bela Islam, Ummat akhirnya beberapa kali turun kejalan untuk aksi. Mulai dari ABI I (14 okt 2016), ABI II (4 Nov 2016), ABI III (2 Des 2016). ABI III ini adalah puncak dari aksi-aksi yang dilakukan selama tahun 2016.
Meski skalanya lebih kecil dari ABI I, II dan III, tetapi masih ada ABI susulan pada awal tahun 2017, yaitu ABI IV (11 Feb 2017), ABI V (21 Feb 2017), ABI VI (31 Marc 2017) dan ABI VII (5 Mei 2017). Hasilnya, menggagalkan sang Penista dalam PilKaDA sekaligus mengantarkannya kedalam Penjara.
Kini, aksi akbar 212 2016 mewariskan 2 (dua) momentum penting bagi Umat, yaitu Reuni dan Ghiroh persatuan. Reuni 212 telah dilakukan dua kali pada 2017 dan 2018 lalu. In Syaa ALlah akan dilakukan untuk kali yang ketiga pada 2019 ini.
Reuni 212 kali yang kedua (2018) mengangkat tema Aksi Bela Tauhid. Mengapa Bela Tauhid? Karena, pada saat itu ada segelintir oknum yang menodai kalimat Tauhid dengan membakarnya tanpa alasan syar'i.
Disamping itu, perlu ditegaskan bahwa aksi yang dilakukan oleh Umat Islam, baik Aksi Bela Islam (ABI) maupun Aksi Bela Tauhid (ABT), semuanya merupakan bukti hadirnya ghiroh persatuan. Yaitu adanya kesatuan pikiran dan perasaan umat untuk melawan tatkala agama dan akidahnya dilecehkan.
Namun, perlu ditegaskan pula bahwa adanya Kesatuan pikiran dan perasaan umat belum cukup untuk membentuk masyarakat yang benar-benar Islami, kecuali disana juga harus hadir kesatuan Peraturan diantara mereka. Hanya dengan adanya Kesatuan pemikiran, perasaan dan peraturan Islam sajalah sehingga layak disebut masyarakat Islam, dan inilah yang harus diwujudkan oleh umat.
Karena itu, momentum reuni 212 harus mampu diarahkan agar umat memiliki kesadaran yang satu, yaitu kesatuan pemikiran, perasaan dan peraturan Islam. Semua kesatuan itu, tidak mungkin terwujud kecuali dalam bingkai Negara Khilafah Islamiyyah.
Khilafahlah yang dulu menyatukan muslimin seluruh dunia dengan Pemikiran, Perasaan dan Peraturan yang satu. Maka, reunifikasi (penyatuan kembali) khilafah adalah satu-satunya metode untuk membentuk masyarakat Islami. Dan momentum Reuni 212 adalah momen penting untuk menyadarkan Umat tentang perkara besar ini.
Jangan lagi tertipu dengan fatamorgana janji manis demokrasi yang hanya memberi jalan sempit berpalang pintu nan terkunci untuk dilewati. Untuk itu, tinggalkanlah pemikiran usang berharap pada pemilu dan solusi parsial reformasi birokrasi.
Akhirnya, momentum reuni aksi 212 kedepan semestinya diarahkan menuju reunifikasi khilafah rasyidah. Inilah tema penting yang tepat untuk dipilih oleh Umat, para Ulama dan Tokoh PA 212. [MO/sg]