![]() |
Gambar: Ilustrasi |
Oleh: Zahrotun N. F., S.Pd.
(Praktisi Pendidikan-Nganjuk)
Mediaoposisi.com-Akhir-akhir ini, sejak masa pemilu hingga ditetapkannya presiden terpilih RI, isu makar terus-menerus bergulir. Berbagai macam aksi yang dilakukan sebagai upaya untuk menyuarakan aspirasi dianggap sebagai makar yang harus dihadang. Aksi demonstrasi tanggal 21 dan 22 Mei 2019 lalu pun dilabeli sebagai aksi yang rentan disusupi oleh kelompok ekstrimis. Mereka yang dinilai akan melakukan makar dan menggulingkan pemerintah. Wakil Presiden terpilih, KH. Ma’ruf Amin, menyampaikan bahwa gerakan people power rentan disusupi kelompok ekstrimis yang menginginkan kegaduhan dan ketakutan di tengah masyarakat (m.detik.com, 19/5/19).
Penangkapan beberapa tokoh pun dilakukan atas tuduhan makar menjelang pengumuman hasil pemilu. Mayoritas diantara mereka adalah orang-orang yang tidak sekubu dengan grup petahanan. Tokoh-tokoh tersebut diantaranya Lieus Sungkharisma, Eggi Sudjana, Hermawan Susanto, Kivlan Zein, Permadi Satrio, Amien Rais, Habib Rizieq Shihab, dan Bachtiar Nasir (tribunnews.com, 20/5/19). Semuanya dituduh makar dengan alasan menyerukan people power. Padahal, people power tidak selalu bertujuan menggulingkan pemerintah dan banyak dari mereka mengarah pada aksi menyerukan keadilan agar pemilu bersih dan hasilnya sesuai dengan realita.
Tuduhan Makar Tanpa Standar Pasti
Asal kata makar berasal dari bahasa Belanda, yaitu "aanslag," yang secara etimologis berarti "menyerang" (serangan/penyerangan). Makar juga termasuk dalam kategori Kejahatan Terhadap Keamanan Negara dalam Bab I pada Buku II (kedua) KUHP yang pengaturannya tersebar dalam Pasal 87, 104, 106, dan 107 KUHP.
Berdasarkan pembagiannya, delik makar terhadap keamanan dan keselamatan NKRI dibagi menjadi 3 jenis yaitu 1) Makar dengan maksud menyerang keselamatan Presiden dan Wakil Presiden yang memerintah (Pasal 104 KUHP), 2) Makar dengan maksud menyerang keutuhan wilayah NKRI (Pasal 106 KUHP), dan 3) Makar dengan maksud menggulingkan pemerintah (Pasal 107 KUHP) (detiknews.com, 20/5/19).
Dengan demikian, perkara makar sebenarnya sudah ditetapkan oleh undang-undang. Untuk menuduh seseorang melakukan makar, harus dilakukan penyelidikan dan mencari barang bukti agar tidak terjadi asal menuduh. Namun, sisi penyelidikan dan pencarian barang bukti ini yang masih banyak yang dipertanyakan. Hal ini dikarenakan banyak sekali oknum yang, dengan mudah, dituduh membuat makar.
Sisi subyektivitas dalam menghukumi seseorang sangat menonjol sehingga mudah menyebut seseorang membuat makar. Standar dalam menuduh seseorang sebagai pembuat makar pun banyak dipertanyakan.
Berbagai pihak yang sebenarnya mengkritik pemerintah dianggap sebagai pembuat makar. Hizbut Tahrir Indonesia pun dianggap sebagai organisasi yang akan mengancam negara dan menghasilkan para pembuat makar. Sehingga, dicabut izinnya. Selain itu, banyak para pengkritik pemerintah ditangkap karena dianggap sebagai pembuat makar.
Dua Sisi Demokrasi
Demokrasi merupakan sistem yang menggadang-gadangkan suara rakyat di atas segalanya. Kebebasan berkumpul dan berpendapat menjadi salah satu pilarnya. Namun faktanya, banyak pengkritik kebijakan dan penegak keadilan malah dengan mudah dianggap sebagai pembuat makar. Padahal tuduhan semacam ini sebenarnya akan membungkam seluruh suara rakyat dan menjadikan pemerintahan otoriter yang sebenarnya bertentangan dengan sistem demokrasi sendiri.
Demokrasi merupakan sistem buatan manusia. Seluruh aturannya berdasarkan kesepakatan manusia. Disinilah terjadi subjektivitas manusia. Dalam menduduki kursi pemerintahan saja, para calon harus mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sehingga saat menduduki kursi pemerintahan, kebijakan yang dikeluarkan tidak akan lepas dari para pendukungnya. Seperti yang disampaikan Peter Garlans, there is no free lunch. Inilah yang menjadikan sistem demokrasi tidak lepas dari subjektivitas manusia termasuk dalam kasus tuduhan makar. Pembolak-balikan makna rentan terjadi sehingga mudah menuduh seseorang yang dianggap tidak sesuai dengan pemerintah sebagai pembuat makar.
Keadilan Islam
Dalam membuat kebijakan, berbeda dengan demokrasi, Islam mengambil seluruhnya berdasarkan al-Qur’an dan As-Sunnah. Jika tidak ditemukan dalam al-Qur’an atau As-Sunnah, maka dicari pada ijma’ sahabat dan qiyas. Jika tidak ada, akan dilakukan proses ijtihat yang berdasarkan sumber hukum Islam. Hal ini menjadikan hukum yang ditegakkan bukan hukum buatan manusia namun hukum dari pencipta manusia. Inilah yang akan meminimalisir sisi subjektivitas manusia.
Dalam melakukan tuduhan pun, Islam telah menetapkan aturannya melalui sistem uqubat. Prinsip utama Islam dalam sistem uqubat adalah menganggap seluruh manusia tidak bersalah karena fitrahnya suci. Sehingga, tidak mudah menuduh seseorang tanpa bukti yang jelas.
Salah satu kisah tentang keadilan hukum Islam adalah peristiwa yang terjadi pada Ali bin Abi Thalib. Saat itu, beliau merupakan seorang Khalifah atau kepala negara. Ali mendapati baju perangnya di pegang oleh seorang Yahudi sehingga menuduh Yahudi tersebut sebagai pencuri. Akhirnya, Ali bersama Yahudi tersebut menuju pengadilan.
Namun tidak disangka, hasil putusan pengadilan menyatakan bahwa Yahudi itulah yang benar karena Ali tidak dapat mendatangkan saksi. Yahudi tersebut heran dengan keputusan hakim karena yang dihadapinya adalah seorang Amirul Mukminin tapi ia yang menang. Begitulah pengadilan dalam Islam, tidak memandang jabatan seseorang. Standar Islam dalam memutuskan perkara itulah yang terus dipegang. Singkat cerita, Yahudi tersebut mengaku bahwa ia yang bersalah dan mengembalikan baju besi tersebut pada Ali dan bersyahadat karena melihat keadilan Islam.
Inilah keadilan dalam Islam. Tidak mudah dalam menuduh seseorang melakukan kejahatan. Aturannya pun adil karena berdasarkan dari aturan Tuhan pencipta Manusia. Saat keadilan ditegakkan, kedamaian pun akan dirasakan oleh seluruh rakyat. Namun, ini semua hanya akan mampu terwujud saat sistem Islam ditegakkan dalam ranah negara.
Sebagaimana yang dicontohkan Rasulullah dan Khalifah setelahnya, menegakkan Islam sebagai dasar negara dalam Khilafah Islamiyah. Wallahu ‘alam. [MO/ms]