Oleh Amrina Rasyada, S.Pd
Mediaoposisi.com-Indonesia merupakan negara yang memiliki begitu banyak SDA dan memiliki potensi besar untuk duduk dalam barisan negara industri dunia. Industri Indonesia salah satu di antaranya yaitu PT. Krakatau Steel yang merupakan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di sektor pertambangan bijih besi, batubara dan mineral yang berlokasi di kota Cilegon, Banten.
Krakatau steel pernah menjadi industri strategis kebanggaan negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). Karena ia menghasilkan baja berkualitas terbaik di dunia. Baja yang unggul menjadikan Krakatau steel sebagai Industri baja kebanggaan nasional yang mampu mengekspor bajanya ke luar negri.
Proyek Baja Trikora ini sudah dimulai Presiden Soekarno sejak tahun 1962 di Cilegon. Kemudian diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1977. Soeharto merasa Krakatau Steel bisa menjadi simbol kemajuan pembangunan Indonesia.
Namun, alih-alih menjadi solusi kemajuan pembangunan Indonesia, PT KS sebagai pabrik baja terbesar di Asia Tenggara kini tengah dihantui kebangkrutan. KS tersebut dikepung oleh persoalan utang dalam jumlah besar, sedangkan perseroan mengalami terus kerugian hingga tujuh tahun. Sehingga solusinya adalah melakukan pengurangan pegawai berkisar 1.300 orang.
Permasalahannya, Krakatau Steel tak hanya tengah menghadapi persoalan internal, kondisi PT Krakatau Steel semakin sulit dikarenakan masuknya impor baja yang semakin membanjiri pasar Indonesia. Masuknya baja impor yang mayoritas datang dari Cina ini dipicu oleh Peraturan Menteri Perdagangan nomor 22 tahun 2018 tentang Ketentuan Impor Besi dan Baja.
Awalnya, Permendag tersebut diberlakukan untuk mengurangi waktu bongkar muat di pelabuhan (dwelling time). Tapi aturan ini justru menjadi celah pengimpor yang ingin mendapatkan bea masuk yang murah dengan mengubah jenis baja impornya.
Tujuannya agar mendapatkan bea masuk yang rendah. Kecurangan importir dan lemahnya pemeriksaan kemudian memicu banjirnya baja impor.
Rezim Jokowi mengklaim melakukan pembangunan infrastruktur besar-besaran, dimana material baja sangat dibutuhkan bagi pembangunan infrastruktur. Jika pemerintah pro pada rakyat, Krakatau Steel seharusnya diselamatkan dengan memberi jalur distribusi baja ke proyek-proyek pembangunan infrastruktur yang tersisa.
Sebab selama 4,5 tahun terakhir bisnis baja untuk pembangunan infrastruktur tidak diperoleh secara optimal oleh Krakatau Steel. Justru perusahaan China yang mendapat privilege lebih memasok baja untuk pembangunan infrastruktur.
Hasilnya, berlakulah praktek free fight liberalism, siapapun (apakah pribumi atau asing, aseng) bebas bertarung dalam sektor ekonomi apapun ( apakah industri strategis, pendukung atau apapun) selama ia mampu dan punya kekuatan.
Negeri yang memiliki potensi industri yang luar biasa besar ini, bahkan sektor industri strategis seperti industri berat memiliki prospek besar, namun faktanya Indonesia tak punya visi politik yang jelas. Tak berdaya disetir asing dan menjadi pembebek negara-negara debitor. Inilah fakta paradoks politik industri rezim neolib.
Alasan mengapa dunia Islam saat ini mengalami deindustrialisasi adalah lemahnya visi politik. Hal ini disebabkan karena negara mengambil paradigma sekuler demokrasi kapitalistik. Akibatnya negara yang seharusnya memberi layanan terbaik untuk rakyat malah mengistimewakan asing.
Politik industri neoliberal Rezim ini abai dalam membangun industri berat bahkan membiarkan asing yang menguasai, padahal industri berat merupakan prasyarat menjadi negara kuat. Akan sangat berbeda jika negara mengambil paradigma Islam politik untuk mengatur kebutuhan rakyat.
Dalam Islam, politik perindustrian merupakan pilar pembangun negara yang mandiri dan menjadi negara pertama atau adidaya.
Negara yang berlandaskan akidah Islam harus mempunyai kontrol atas barang tambang mereka sendiri beserta industri yang menyuling dan mengolahnya, dengan tujuan untuk menghilangkan ketergantungan pada negara lain. Hal ini akan menjadi target kunci bagi industri sebagai bahan baku yang sangat penting bagi berlangsungnya industri-industri lain. [MO/sg]