Abu Inas
(Tabayyun Center)
Indonesia hancur di tangan penguasa kapitalis, yang abai terhadap Islam dan syariah-Nya. Harapan masyarakat terhadap perubahan kepemimpinan lebih baik pasca pilpres 2019 begitu tinggi. Mereka berharap rezim sebelumnya berganti. Namun harapan umat rawan terhempas oleh kecurangan massif, terstruktur, sistemik dan brutal pada pemilu kali ini.
Apakah kecurangan hanya terjadi di Indonesia saja? Tentu tidak. Namun banyaknya sabotase negara-negara barat atas aspirasi umat Islam khususnya di negeri muslim, menunjukkan demokrasi telah gagal menghantarkan para pemimpin yang tulus dan adil.
Inilah fakta demokrasi, demokrasi tak jarang disederhanakan sebagai pemilu atau pemilihan penguasa oleh rakyat. Karena itu, demokrasi dianggap sejalan dengan Islam, sebab Islam menentukan bahwa penguasa dipilih oleh rakyat. Namun demokrasi yang hakiki itu bukan hanya pemilu atau pemilihan penguasa. Demokrasi yang hakiki memiliki dua pilar. Pilar pertama, kedaulatan rakyat , artinya rakyatlah yang berhak membuat hukum dan undang-undang yang digunakan negara dan pemerintah untuk mengurus rakyat. Pilar kedua, rakyat pemilik dan sumber kekuasaan . Artinya, rakyatlah yang memiliki hak memilih penguasa, memonitor dan mengoreksinya dan memberhentikannya. Tanpa kedua pilar ini sekaligus, demokrasi tidak ada.
Mengenai pilar pertama yakni kedaulatan rakyat, demokrasi jelas bertentangan dengan Islam. Kedaulatan adalah hak membuat hukum. Itu artinya rakyatlah yang berhak menentukan mana yang boleh dan mana yang tidak boleh; memisahkan mana kebaikan dan mana keburukan, mana yang makruf dan mana yang mungkar, perbuatan mana yang terpuji dan mana yang tercela; dan mana yang halal dan yang haram. Sementara, dalam Islam semua itu adalah milik Allah saja, yakni milik syara’. Allah SWT berfirman:
] ﺇِﻥِ ﺍﻟْﺤُﻜْﻢُ ﺇِﻟَّﺎ ﻟِﻠَّﻪِ ﻳَﻘُﺺُّ ﺍﻟْﺤَﻖَّ ﻭَﻫُﻮَ ﺧَﻴْﺮُ ﺍﻟْﻔَﺎﺻِﻠِﻴﻦَ [
Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik. (TQS al-An’am [6]: 57)
Menyerahkan kedaulatan kepada rakyat, yakni kepada manusia, artinya menyerahkan pembuatan hukum sesuai hawa nafsu manusia. Sementara Allah SWT justru memerintahkan untuk mengikuti hukum Allah tanpa mengikuti hawa nafsu manusia.
] ﻭَﺃَﻥِ ﺍﺣْﻜُﻢْ ﺑَﻴْﻨَﻬُﻢْ ﺑِﻤَﺎ ﺃَﻧْﺰَﻝَ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﻟَﺎ ﺗَﺘَّﺒِﻊْ ﺃَﻫْﻮَﺍﺀَﻫُﻢْ … [
Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. (TQS al-Maidah [5]: 49)
Fakta riil kehidupan demokrasi yang menyerahkan pembuatan hukum sesuai hawa nafsu manusia, telah melahirkan berbagai kerusakan baik pada alam, manusia, maupun kehidupan itu sendiri. Allah SWT sudah menegaskan kepada kita bahwa mengikuti hawa nafsu manusia itu menjadi sumber kerusakan.
] ﻭَﻟَﻮِ ﺍﺗَّﺒَﻊَ ﺍﻟْﺤَﻖُّ ﺃَﻫْﻮَﺍﺀَﻫُﻢْ ﻟَﻔَﺴَﺪَﺕِ ﺍﻟﺴَّﻤَﻮَﺍﺕُ ﻭَﺍﻟْﺄَﺭْﺽُ ﻭَﻣَﻦْ ﻓِﻴﻬِﻦَّ [
Andaikata kebenaran itu menuruti hawa nafsu mereka, pasti binasalah langit dan bumi ini, dan semua yang ada di dalamnya. (TQS al-Mu’minun [23]: 71)
Selain menjadi sumber kerusakan, mengikuti hawa nafsu manusia, sebagaimana dalam demokrasi, juga tidak bisa mengantarkan pada tujuan mulia yang ingin dicapai setiap manusia. Sebab, Allah SWT menegaskan bahwa mengikuti hawa nafsu manusia merupakan jalan yang paling sesat.
] ﻭَﻣَﻦْ ﺃَﺿَﻞُّ ﻣِﻤَّﻦَ ﺍﺗَّﺒَﻊَ ﻫَﻮَﺍﻩُ ﺑِﻐَﻴْﺮِ ﻫُﺪًﻯ ﻣِﻦَ ﺍﻟﻠَّﻪِ [
Dan siapakah yang lebih sesat daripada orang yang mengikuti hawa nafsunya dengan tidak mendapat petunjuk dari Allah sedikitpun. (TQS al-Qashshash [28]:50).
Menyerahkan penentuan hukum yaitu halal dan haram kepada manusia, sama artinya merampas hak Allah dan membuat-buat kebohongan terhadap Allah. Hal itu akan melahirkan banyak kesusahan, sebab perilaku itu merupakan pangkal ketidakberuntungan.
] ﻭَﻟَﺎ ﺗَﻘُﻮﻟُﻮﺍ ﻟِﻤَﺎ ﺗَﺼِﻒُ ﺃَﻟْﺴِﻨَﺘُﻜُﻢُ ﺍﻟْﻜَﺬِﺏَ ﻫَﺬَﺍ ﺣَﻠَﺎﻝٌ ﻭَﻫَﺬَﺍ ﺣَﺮَﺍﻡٌ ﻟِﺘَﻔْﺘَﺮُﻭﺍ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟْﻜَﺬِﺏَ ﺇِﻥَّ ﺍﻟَّﺬِﻳﻦَ ﻳَﻔْﺘَﺮُﻭﻥَ ﻋَﻠَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺍﻟْﻜَﺬِﺏَ ﻟَﺎ ﻳُﻔْﻠِﺤُﻮﻥَ [
dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu secara dusta “Ini halal dan ini haram”, untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tiadalah beruntung. (TQS an-Nahl [16]: 116)
Demokrasi adalah menyerahkan hukum kepada rakyat di mana tolok ukurnya adalah suara mayoritas. Di mana ada suara mayoritas, di situ dianggap ada kebenaran. Sedangkan dalam Islam, kebenaran itu diputuskan oleh nas-nas syara’, bukan oleh jumlah suara atau kebanyakan manusia. Bahkan kadang kala kebanyakan manusia bersepakat atas kebatilan. Allah SWT berfirman:
] ﻭَﺇِﻥْ ﺗُﻄِﻊْ ﺃَﻛْﺜَﺮَ ﻣَﻦْ ﻓِﻲ ﺍﻟْﺄَﺭْﺽِ ﻳُﻀِﻠُّﻮﻙَ ﻋَﻦْ ﺳَﺒِﻴﻞِ ﺍﻟﻠَّﻪِ ﺇِﻥْ ﻳَﺘَّﺒِﻌُﻮﻥَ ﺇِﻟَّﺎ ﺍﻟﻈَّﻦَّ ﻭَﺇِﻥْ ﻫُﻢْ ﺇِﻟَّﺎ ﻳَﺨْﺮُﺻُﻮﻥَ [
Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah). (TQS al-An’am [6]: 116)
Dari semua itu, jelaslah bahwa demokrasi bertentangan secara total dengan Islam. Ini tentang pilar pertama demokrasi yaitu kedaulatan rakyat.
Adapun pilar kedua, kekuasaan milik rakyat, memang dalam Islam, kekuasaan dimiliki oleh rakyat. Rakyatlah yang berhak memilih penguasa dan melimpahkan kekuasaan kepada orang yang dipilih rakyat sebagai penguasa itu. Meski secara global tampak sama, namun dalam filosofi dan rincian prakteknya, demokrasi berbeda, bahkan bertentangan dengan Islam.
dalam demokrasi, rakyat memilih penguasa untuk menjalankan hukum yang dibuat oleh rakyat. Sementara dalam Islam, rakyat memilih penguasa untuk menerapkan hukum-hukum syara’. Sebab Islam memerintahkan kita semua untuk berhukum dan memutuskan perkara menurut apa yang telah diturunkan oleh Allah, yaitu menurut hukum syara’ (QS al-Maidah [5]: 48, 49). Islam mengaitkan aktivitas menjadikan Rasul SAW sebagai pemutus perkara yang terjadi di tengah manusia yaitu artinya berhukum kepada syara’ sebagai bukti keimanan (QS an-Nisa [4]: 65). Bahkan Allah SWT menetapkan siapa saja yang memutuskan perkara dengan selain apa yang telah diturunkan oleh Allah, yaitu menurut selain hukum syara’ sebagai orang zalim (QS al-Maidah [5]: 45), fasik (QS al-Maidah [5]: 47), bahkan (QS al-Maidah [5]: 44). Karena itu, Allah menegaskan bahwa tidak ada pilihan bagi orang-orang yang beriman, kecuali tunduk kepada keputusan yakni hukum yang telah diputuskan oleh Allah dan Rasul-Nya saw.
﴿ ﻭَﻣَﺎ ﻛَﺎﻥَ ﻟِﻤُﺆْﻣِﻦٍ ﻭَﻟَﺎ ﻣُﺆْﻣِﻨَﺔٍ ﺇِﺫَﺍ ﻗَﻀَﻰ ﺍﻟﻠَّﻪُ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟُﻪُ ﺃَﻣْﺮًﺍ ﺃَﻥ ﻳَﻜُﻮﻥَ ﻟَﻬُﻢُ ﺍﻟْﺨِﻴَﺮَﺓُ ﻣِﻦْ ﺃَﻣْﺮِﻫِﻢْ ﻭَﻣَﻦ ﻳَﻌْﺺِ ﺍﻟﻠَّﻪَ ﻭَﺭَﺳُﻮﻟَﻪُ ﻓَﻘَﺪْ ﺿَﻞَّ ﺿَﻠَﺎﻟًﺎ ﻣُّﺒِﻴﻨًﺎ﴾
Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata. (TQS al-Ahzab [33]: 36)
Semua itu menegaskan bahwa dalam Islam, penguasa dipilih oleh rakyat tidak lain adalah untuk menerapkan dan menjalankan hukum syara', bukan hukum positif buatan manusia seperti dalam demokrasi.
Walhasil, kita berdoa semoga negeri ini terbebas dari kekuasaan kekuasaan yang absolut, diktator, yang berada di atas hukum dan tidak ada yang bisa mengontrol atau mengoreksinya. Kekuasaan absolut itu akhirnya menjadi korup dan menindas. Kita butuh perubahan besar![]
from Pojok Aktivis