Oleh : Nurina Purnama Sari,S.S.T.
(Aktivis Dakwah)
Mediaoposisi.com-Putusan Sidang Komisi Bahstul Masail Ad-diniyyah al-Maudhuiyyah pada Musyawarah Nasional Alim Ulama NU 2019 menuai kontroversi. Pasalnya, hasil sidang tersebut memunculkan gagasan untuk menghilangkan sebutan "kafir" dan diganti cukup dengan "non muslim" saja untuk warga negara Indonesia yang tidak memeluk agama Islam. Kata kafir dianggap mengandung unsur kekerasan teologis.
Tak pelak, hal ini menuai banyak kritik di ruang publik. Bahkan ramai responnya di linimasa. Mayoritas publik menganggap keputusan tersebut sebagai upaya berani merevisi kalam Ilahi. Yang pada akhirnya ditakutkan mendatangkan murka Allah Ta’ala.
Kata "kafir" termaktub dalam Al-Qur'an dengan berbagai bentuk kata jadinya, disebut sebanyak 525 kali. Saat seorang Muslim membaca Al-Qur'an, istilah 'kafir' tidak bisa dihindari. Sebab sudah menjadi bagian dari Al-Qur'an, konsekuensi logis dari adanya keimanan. Istilah Muslim-kafir adalah lawan kata sebagaimana surga-neraka, pahala-siksa, taat-maksiat, jujur-dusta dan sebagainya.
Dalam bahasa Arab, kafir artinya menutup diri. Justru, istilah kafir adalah istilah yang sangat sopan dan sangat lembut dari Allah SWT . Orang yang menutup diri, yang tidak mau menerima iman Islam, disebut kafir dalam Al-Qur'an. Itulah kenapa dahulu Abu Jahal, Abu Lahab dan abu-abu lainnya itu tidak marah disebut kafir karena mereka paham arti kafir itu dalam bahasa Arab fasih. Abu Lahab dan kawan-kawannya pada saat itu pun mengakui diri mereka menutup diri terhadap risalah yang dibawa Nabi Muhammad SAW.
Maka, tidak bisa ketika seorang Muslim dipaksa tidak menggunakan kata 'Kafir' dalam keseharian. Namun bukan berarti umat Islam diperintahkan membenci kaum kafir. Tengoklah bagaimana Rasulullah SAW masih bermuamalah, berinteraksi dan berlaku adil terhadap kaum kafir yang tidak memerangi umat Islam.
Hanya saja, yang menjadi permasalahan bukanlah hal itu, tapi sebuah ide pemikiran liberal yang ada di belakangnya. Ada upaya terstruktur untuk menjauhkan umat Islam dari pedoman kehidupannya. Alhasil, ketika Islam di Indonesia berusaha menghindari penyebutan kata kafir bagi yang bukan Muslim padahal istilah kafir itu berasal dari Al-Qur'anul Karim. Kelak, umat Islam sudah tidak percaya dengan term Al-Qur’an. Dan makin lama makin merasa risih terhadap ajaran Islam, karena khawatir dianggap tidak toleran dan menyakiti kelompok lain. Bahkan bisa dikategorikan sebagai ujaran kebencian jika melabeli pemeluk agama lain dengan kata 'kafir'. Inilah yang ditakutkan selanjutnya, umat Islam makin jauh dari ajaran Islam bahkan takut akan agamanya sendiri.
Padahal, sejak zaman Rasulullah SAW dan Khulafaur Rasyidin, Islam tidak pernah bermasalah dengan pluralitas, termasuk perbedaan agama. Islam mengatur keragaman dan perbedaan secara sempurna. Di dalam lintasan sejarahnya yang panjang, umat manusia di bawah naungan Daulah Khilafah selama lebih dari 1300 tahun lamanya, telah membuktikan keunggulan syariah Islam dalam menyelesaikan problem keragaman. Seluruh rakyat di masa kekhilafahan Islam diatur dengan syariah Islam tanpa memandang lagi ras, warna kulit, agama dan keyakinan mereka.
Ini terbukti ketika dakwah Islam berhasil mengekspansi Spanyol. Di bawah kekuasaan Islam pada saat itu, Islam mengayomi tiga agama besar, yakni Yahudi, Nasrani dan Islam. Ketiga penganut agama tersebut hidup berdampingan dan saling menghormati keyakinan masing-masing tanpa menjatuhkan pemeluknya ke dalam konflik dan permusuhan.
Andaikata Islam memerintahkan kebencian terhadap orang kafir, tentulah di Indonesia sudah tidak ada lagi orang kafir. Bahkan barangkali di Spanyol, Turki dan negeri Muslim lainnya yang tinggal hanya umat Islam saja.
Jelas sekali, keberhasilan sistem Islam di negara Khilafah dalam mengelola keragaman yang ada dalam wilayahnya selama kurang dari empat belas abad lamanya, sekaligus membantah propaganda miring yang memandang sebelah mata ajaran Islam dan menuduh intoleran terhadap ajaran Islam.
Justru kita bertanya-tanya, mengapa ada pihak-pihak yang begitu getol mengotak-atik ajaran Islam yang sudah paripurna, jika tidak ada kepentingan untuk menghancurkan agama Islam itu sendiri, dilucuti sejengkal demi sejengkal, sedikit demi sedikit, sampai runtuhlah bangunan keimanan umat Islam agar semua kepercayaan ketuhanan cukup dengan memandang budi pekerti sebagai standar kehidupan? Inilah propaganda kaum sekuler liberal yang terus berusaha menyamakan semua agama dan keyakinan. Hingga pada akhirnya, Al-Qur'an ditinggalkan sebagai pedoman dan Islam tinggallah kenangan. Naudzubillahi min dzalik.[MO/AS]