-->

Solusi lain, selain Pajak. Mau????

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen

Oleh: Nana Rosida

Mediaoposisi.com- Apa yang terlintas dipikiran anda tentang 31 maret 2019? Tentunya di awal tahun seperti ini semua perusahaan, perkantoran, pekerja maupun penguasaha, banyak yang mengingat tanggal 31 maret 2019. Merupakan batar akhir pelaporan SPT pajak PPh pribadi. Mengingat jika terlewat pelaporannya akan dikenai denda dan serta sanksi. Hiruk pikuk kantor pajak di awal tahun belakangan ini sudah berkurang dengan adanya sistem e filling yang tiap bulannya harus diisi. Nampak ramai di kantor pajak, yang tidak punya e filling dan dianggap menunggak pajak, dan berbagai persoalan lainnya.

Menurut Sri Mulyani Menteri Keuangan  tingkat pastisipasi masyarakat Indonesia dalam membayar pajak , masih rendah.  Menunjukan 62% dari wajib pajak yang tercatat pada tahun 2017. Penetapan APBN ini di bulan april dimana pemerintah sudah membuat anggaran untuk pendapatan Rp2.165.1 trilliun, dimana penerimaan dari sektor pajak sebesar Rp.1,786,4 trilliun. Ini 20% lebih tinggi dari tahun lalu. Untuk menggenjot pendapatan maka diterbitkanlah Peraturan Menkeu 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Yang akan menyasar PPh dan PPn pada transaksi elektronik terutama e-commerce serta para pengisi platform mereka seperti youtuber dan selebgram.

Lantas mengapa rakyat enggan membayar atau melaporkan pajak mereka? Mari kita lihat satu-persatu tentang apa yang dialami masyarakat. Di dalam rumah mereka , sudah dibebani pajak bangunan, tanah, kendaraan bermotor, penghasilan, barang-barang sehari-hari yang dibeli dari toko mulai dari sabun cuci hingga barang mewah dikenai pajak, makan diwarung tegal pun sudah dikenai pajak. Betapa dari semua sisi rakyat diperas membiayai negara.

Sementara rakyat sekedar makan saja sulit, sebab bahan bakar minyak pada tahun 2018 naik sebanyak 3x dan ini mengakibatkan semua harga barang dan jasa naik karena berhubungan dengan bahan bakar industri dan distribusi, yang secara alamiyah akan menikan biaya produksi produk atau jasa. Yang terjadi harga bahan pangan tidak terjangkau. Untuk memenuhi kebutuhan dasar mereka saja sangat berat, apalagi memikirkan pembayaran pajak, ini menjadi salah satu sebab kurangnya partisipasi rakyat dalam membayar pajak.

Di sebuah negara apakah sehat menganggarkan pendapatan negara hampir 82% dari pajak yang dipungut pada rakyatnya??? Pajak ibarat vampir penghisab darah , yang muncul dari sistem ekonomi neoliberalis , mendzolimi rakyatnya. Penguasa yang telah diamanahi oleh rakyat bertugas mengurusi usuran/kebutuhan rakyatnya. Lantas bagaimana dalam Islam mengenai sumber pendapatan negara?
Dalam sitem Islam kepemilikan dibagi menjadi 3, yaitu kepemilikan pribadi, kepemilikan umum dan kepemilikan negara.

Yang dapat menjadi sumber pendapatan negara adalah kepemilikan negara, untuk kepemilikan umum, pengelolaannya difasilitasi negara. Sumber kepemilikan umum berupa air, energi dan hutan atau padang rumput yang dikelola negara untuk rakyat indonesia sangat banyak sekali. Mulai dari batubara, minyak bumi, emas, hutan, air, kelautan, pertanian  dan aneka tambang lainnya jika pengelolaanya sesuai dengan sitem Islam makan kesejahteran di negeri ini bukan hanya keniscayaan. 

Selain dari kepemilikan umum dan negara, juga diperoleh pendapatan dari baitul mal. Baitul mal bersumber dari zakat jiwa dan zakat harta yang sifatnya wajib bagi setiap muslim bila telah sampai nishob dan haul dan penyalurannya jelas pada golongan tertentu yang sudah disyariatkan. Kemudian al-Jizyah (upeti yang harus dibayarkan ahli kitab kepada pemerintahan Islam) al-Kharaj (pajak bumi yang dimiliki oleh negara Islam),  al-‘Usyur (bea cukai bagi para pedagang non muslim yang masuk ke negara Islam). Dari sini dapat kiata lihat dari muslim dan non muslim pun berkontribusi kepada negara dengan ketentuan yang sesuai hukum syara’.

Bahkan untuk memungut pajak kepada rakyat itu harus dengan kondisi tertentu. Mari kita pelajari definisi Muhammad Wasitho Abu Fawaz, Lc tentang pajak. Dalam istilah bahasa Arab, pajak dikenal dengan nama Adh-Dharibah atau bisa juga disebut Al-Maks, yang artinya adalah ; “Pungutan yang ditarik dari rakyat oleh para penarik pajak.” (Lihat Lisanul Arab IX/217-218 dan XIII/160, dan Shahih Muslim dengan syarahnya oleh Imam Nawawi XI/202).

Menurut imam al-Ghazali dan imam al-Juwaini, pajak ialah apa yang diwajibkan oleh penguasa (pemerintahan muslim) kepada orang-orang kaya dengan menarik dari mereka apa yang dipandang dapat mencukupi (kebutuhan Negara dan masyarakat secara umum, pent) ketika tidak ada kas di dalam baitul mal.” (Lihat Syifa’ul Ghalil hal.234, dan Ghiyats al-Umam Min Iltiyats Azh-Zhulmi hal.275).

Adapun pajak menurut istilah kontemporer adalah iuran rakyat kepada kas negara (pemerintah) berdasarkan undang-undang -sehingga dapat dipaksakan- dengan tiada mendapat balas jasa secara langsung. Pajak dipungut penguasa berdasarkan norma-norma hukum untuk menutup biaya produksi barang-barang dan jasa kolektif untuk mencapai kesejahteraan umum.
Firman Allah Ta’ala:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَأْكُلُوا أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ
Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan cara yang batil….”. (QS. An-Nisa’: 29).

Dalam ayat ini Allah melarang hamba-Nya saling memakan harta sesamanya dengan jalan yang tidak dibenarkan. Dan pajak adalah salah satu jalan yang batil untuk memakan harta sesamanya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، أَلاَ لاَ تَظْلِمُوا ، إِنَّهُ لاَ يَحِلُّ مَالُ امْرِئٍ إِلاَّ بِطِيبِ نَفْسٍ مِنْهُ
Janganlah kalian berbuat zhalim (beliau mengucapkannya tiga kali, pent). Sesungguhnya tidak halal harta seseorang muslim kecuali dengan kerelaan dari pemiliknya.” (HR. Imam Ahmad V/72 no.20714, dan di-shahih-kan oleh Al-Albani dalam Shahih wa Dha’if Jami’ush Shagir no.7662, dan dalam Irwa’al Ghalil no.1761 dan 1459)

Syarat negara dapat memungut pajak sebagai berikut :

1. Negara komitmen dalam penerapan syariat Islam.

2. Negara sangat membutuhkan dana untuk keperluan dan maslahat umum, seperti pembelian alat-alat perang untuk menjaga perbatasan Negara yang sedang dirongrong oleh musuh.

3. Tidak ada sumber lain yang bisa diandalkan oleh Negara, baik dari zakat, jizyah, al ‘usyur, kecuali dari pajak.

4. Harus ada persetujuan dari para ulama dan tokoh masyarakat.

5. Pemungutannya harus adil, yaitu dipungut dari –orang kaya saja-, dan tidak boleh dipungut dari orang-orang miskin. Distribusinya juga harus adil dan merata, tidak boleh terfokus pada tempat-tempat tertentu, apalagi yang mengandung unsur dosa dan maksiat.

6. Pajak ini sifatnya sementara dan tidak diterapkan secara terus menerus, tetapi pada saat-saat tertentu saja, ketika Negara dalam keadaan genting atau ada kebutuhan yang sangat mendesak saja.

7. Harus dihilangkan dulu pendanaan yang berlebih-lebihan dan hanya menghambur-hamburkan uang saja.

8. Besarnya pajak harus sesuai dengan kebutuhan yang mendesak pada waktu itu saja. (Lihat syarat-syarat ini secara lengkap dalam Abhats Fiqhiyyah Fi Qadhaya Az-Zakat Al-Mu’ashirah II/621-623)

Beginilah Islam mengatur tentang pajak, kita dapat bandingkan dengan fakta pajak yang terjadi sekarang, bagaimana menurut anda? Sungguh sistem ekonomi neoliberal sudah tidak manusiawi, semoga segera kembali ke sistem yang benar dalam mengurusi urusan rakyat. Penerapan sistem Islam secara kaffah atau menyeluruh menjadi solusi negeri. [MO/sr]





Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close