Oleh: Mariyatul Qibtiyah, S.Pd
Mediaoposisi.com-"You are, what you eat." Demikian, ungkapan Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS dalam tulisannya yang berjudul "Kedaulatan Pangan, Hidup Matinya Sebuah Bangsa". Beliau menjelaskan bahwa pangan merupakan kebutuhan dasar manusia yang paling asasi karena sangat menentukan status gizi, kesehatan, dan kecerdasan seorang insan.
Dalam jangka panjang, kekurangan pangan dan gizi buruk akan mewariskan generasi yang lemah, kurang cerdas, dan tidak produktif a lost generation (23/04/2018).
Untuk memenuhi ketersediaan pangan, Presiden Joko Widodo mencantumkan kedaulatan pangan sebagai salah satu program prioritas dalam Nawacita. Kedaulatan pangan berarti memenuhi kebutuhan pangan dari produksi negeri sendiri.
Dengan kata lain, tak ada impor beras, jagung, gula, kedelai, atau bahkan daging Tahun 2014, saat baru menjabat sebagai presiden, Jokowi menargetkan swasembada sejumlah komoditas pangan strategis seperti padi, jagung, kedelai, dan gula bisa terlaksana dalam tiga tahun. (12/06/2017).
Namun, tampaknya target ini masih jauh panggang dari api. selama 4 tahun menjabat Presiden, impor beras justru meningkat, terutama kualitas medium yang menjadi konsumsi mayoritas masyarakat. Seperti pernah diberitakan detikFinance Selasa (19/1/2016), pada 2014 lalu Bulog hanya membutuhkan impor 300.000 ton beras medium untuk memperkuat stoknya, tapi di 2015 impor beras medium justru meningkat menjadi 1,5 juta ton.
Selain itu, berdasarkan data Kementerian Pertanian yang diperoleh detikFinance, (19/1/2016), impor beras khusus juga mengalami kenaikan dari 626.218 ton pada 2014 menjadi 646.939 ton di 2015. Selanjutnya di 2018 Izin kuota impor dikeluarkan sebanyak 2 juta ton secara berkala.
Mulai 500 ribu ton pada awal tahun, 500 ribu ton lagi di April dan 1 juta ton di bulan Mei sehingga jumlah izin ada sebanyak dua juta ton.
Alasan impor kali ini dilakukan untuk menstabilkan harga beras yang terus merangkak naik melebihi harga eceran tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah. Dari total izin impor tersebut, Perum Bulog hanya merealisasikan 1,8 juta ton.
Direktur Utama Perum Bulog Budi Waseso menilai pasokan beras di gudang saat ini sudah lebih dari cukup (detik.com, 22/10/2018).
Di masa ini, Indonesia bahkan menjadi negara pengimpor gula terbesar di dunia. Melalui akunnya @FaisalBasri, ekonom Faisal Basri mengutip data Statista yang mencatat Indonesia negara importir gula terbesar di dunia dari 2017-2018.
Mengapa Indonesia masih melakukan impor pangan?
Ekonom Rizal Ramli mengungkapkan sistem impor Indonesia sudah digerogoti mafia atau kartel. Hal ini membuat Indonesia sulit lepas dari jerat impor. Padahal, masih menurut Rizal Ramli, Indonesia sangat mungkin menjadi lumbung pangan Asia.
Kondisi wilayah Indonesia yang mendapat sinar matahari sepanjang tahun serta air yang berlimpah sangat sesuai untuk pertanian (merdeka.com, 20/ 09/ 2018).
Di samping adanya mafia impor, saat ini luas lahan pertanian di Indonesia semakin menurun. Banyak pemilik lahan yang menjual lahan pertanian mereka dan kemudian dialihfungsikan menjadi daerah industri, tol, atau properti.
Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut luas lahan baku sawah terus menurun. Catatan mereka pada 2018 ini, luas lahan tinggal 7,1 juta hektare, turun dibanding 2017 yang masih 7,75 juta hektare (cnnindonesia.com, 25/10/2018). Berkurangnya lahan pertanian ini menyebabkan turunnya hasil pertanian.
Pentingnya Kedaulatan Pangan bagi Ketahanan Negara
Kedaulatan pangan adalah pemenuhan pangan melalui produksi lokal. Kedaulatan pangan merupakan salah satu faktor penting dalam membentuk ketahanan pangan. Sedangkan ketahanan pangan termasuk salah satu komponen dari ketahanan suatu negara.
Hal ini karena kecukupan pangan bagi setiap warga negara sangat mempengaruhi kualitas sumber daya manusianya. Jika pangan tercukupi, kebutuhan gizi akan terpenuhi.
Maka, generasi mudanya akan tumbuh sehat, kuat, dan cerdas. Dengan demikian, keberlanjutan bangsa bisa dipertahankan. Sebaliknya, jika pangan tidak tercukupi, kebutuhan gizi tidak terpenuhi, generasi mudanya akan lemah.
Hal ini bisa mengancam keberlangsungan suatu bangsa. Jika hal itu terus berlanjut, lambat laun akan hilanglah bangsa tersebut.
Di samping itu, jika sebuah negara tidak memiliki ketahanan pangan yang kuat, negara tersebut akan mudah dikalahkan oleh bangsa lain. Negara tersebut juga akan mudah hancur karena dilanda bencana. Karena itulah, ketahanan pangan sangat penting.
Agar ketahanan pangan kuat, negara harus memiliki kedaulatan pangan sehingga tidak bergantung pada impor.
Menurut Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS, Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB dan Ketua Umum Gerakan Nelayan dan Tani Indonesia (GANTI), terwujudnya kedaulatan pangan di suatu negara dapat dilihat dari empat kondisi berikut. Pertama, bila total produksi pangan nasional lebih besar dari pada kebutuhannya.
Kedua, semua bahan pangan (khususnya sembilan bahan pokok) dalam jumlah yang cukup, kualitas yang baik serta aman untuk dikonsumsi, dan harga terjangkau, setiap saat dapat diakses segenap rakyatnya.
Ketiga, semua produsen pangan (petani dan nelayan) hidup sejahtera. Keempat, keberlanjutan (sustainability) sistem usaha produksi pangan (pertanian tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, peternakan, perikanan budi daya, dan perikanan tangkap), baik luas kawasan maupun produktivitasnya terpelihara dengan baik (Sindonews.com, 23/04/2018).
Selanjutnya, Prof. Rokhmin juga mengungkapkan, untuk mewujudkan kedaulatan negara, ada beberapa langkah yang harus dilakukan oleh pemerintah. Beberapa diantaranya yaitu, pertama, menghentikan impor seluruh bahan pangan yang bisa diproduksi di Tanah Air, baik secara langsung maupun bertahap.
Kedua, memperbesar anggaran negara untuk perbaikan dan pembangunan infrastruktur pertanian dan perikanan.
Ketiga, gas alam harus diprioritaskan untuk produksi pupuk, polietelin, tekstil dan produk petrokimia lainnya, ketimbang diekspor mentah seperti sekarang. Keempat, penyediaan permodalan khusus.
Kelima, penguatan dan perluasan peran Badan Urusan Logistik sebagai lembaga penyangga stok dan harga sejumlah bahan pangan pokok.
Keenam, pemerintah harus memberikan insentif, kemudahan, keamanan, dan kepastian hukum bagi pelaku usaha yang berminat investasi di sektor pertanian dan perikanan.
Ketujuh, pencemaran lingkungan harus dikendalikan secara ketat dan konservasi biodiversity harus dilaksanakan secara konsisten.
Kedelapan, mengembangkan dan mengimplementasikan strategi mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim global serta bencana alam lainnya.
Kesembilan, penciptaan iklim usaha yang atraktif dan kondusif. Terakhir, adalah kebijakan makro (seperti moneter, fiskal, RTRW, litbang, dan iklim investasi) yang kondusif bagi keberhasilan kinerja sektor pertanian, dan kelautan dan perikanan.
Dengan perkataan lain, sektor pangan (pertanian, dan kelautan dan perikanan) mesti kita anggap bukan sekadar sektor ekonomi, tetapi juga sektor kehidupan (24/04/2018).
Kedaulatan Pangan di Era Islam
Islam adalah agama yang agung. Islam juga menjadikan pemeluknya menjadi umat yang agung sekaligus menjadi umat yang terbaik. Karena itu, Islam melarang umatnya melakukan langkah-langkah yang akan merendahkan dan menghinakan umat Islam di hadapan umat lain.
Allah SWT berfirman," Dan Allah tidak akan pernah memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk mengalahkan orang-orang yang beriman." (TQS. an Nisa:141 )
Karena itu, kaum muslimin di masa kejayaannya, senantiasa berusaha menjadi bangsa yang kuat. Mereka tidak mau bergantung pada bangsa atau umat yang lain, termasuk dalam masalah pangan.
Untuk mewujudkan kedaulatan pangan, para khalifah telah mengembangkan iklim yang kondusif bagi penelitian dan pengembangan di bidang pertanian. Banyak laboratorium perpustakaan dan lahan-lahan percobaan dibangun.
Para ilmuwan diberi berbagai dukungan yang diperlukan, termasuk dana penelitian. Di samping itu juga adanya pemberian penghargaan atas karya mereka.
Wajarlah kalau kemudian banyak bermunculan ilmuwan pelopor di bidang pertanian. Misalnya, Abu Zakaria Yahya bin Muhammad bin al-Awwam. Ia menulis buku tentang hampir 600 jenis tanaman dan budi daya 50 jenis buah-buahan, hama dan penyakit serta penanggulangannya, teknik mengolah tanah, sifat-sifat tanah, karakteristik tanaman yang cocok, serta tentang kompos.
Kemudian ada Abu al-Khair yang menulis tentang empat cara memanen air hujan dan membuat perairan buatan. Ia juga menguraikan teknik pembuatan gula dari tebu. Ada juga Abu Bakr Ahmed ibn 'Ali ibn Qays al-Wahsyiyah yang menulis Kitab al Falaha al Nabatiya.
Kitab ini antara lain menjelaskan teknik mencari sumber air, menggalinya, menaikkannya ke atas, hingga meningkatkan kualitasnya. Di Barat, teknik ini disebut Nabatea Agriculture. Dan masih banyak ilmuwan lain yang menjadi pelopor dalam bidang pertanian.
Ilmuwan-ilmuwan ini lahir karena perhatian khalifah yang besar pada masalah. Hal itu terjadi karena para khalifah menyadari pentingnya masalah pangan bagi keberlangsungan umat Islam. Di samping juga pemahaman untuk tidak mewariskan generasi yang lemah.
Allah SWT berfirman, “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka.”(TQS. an Nisa:9.)
Para khalifah itu juga menyadari kewajiban mereka sebagai imam yang harus memberikan pelayanan yang baik kepada rakyatnya.
Mereka khawatir jika mereka lalai dalam hal ini, mereka tidak akan menyampaikan hujjahnya di hadapan Allah kelak. Rasulullah SAW bersabda, "Seorang Imam adalah penggembala dan akan ditanya tentang gembalaannya." (HR. Bukhari dan Muslim )
Jika penguasa di negeri ini menyadaru pentingnya kedaulatan pangan bagi keberlangsungan bangsa, serta memahami tanggung jawab mereka sebagai seorang pemimpin, mereka akan melakukan bersungguh-sungguh dalam mewujudkan kedaulatan pangan di negeri ini.[MO/ad]