Oleh: Riani Amanatillah
Mediaoposisi.com-Presiden Joko Widodo (Jokowi) memberikan lampu hijau bagi kebebasan Ustaz Abu Bakar Ba’asyir dengan alasan kemanusiaan dan kondisi kesehatan. Ba’asyir sendiri dipenjara setelah dinyatakan bersalah dalam kasus pendanaan pelatihan teroris di Aceh dan mendukung terorisme di Indonesia.
Merujuk pernyataan terakhir Jokowi, Ba’asyir harus memenuhi setiap ketentuan yang memungkinkannya bebas bersyarat. Berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan HAM 3/2018, ada empat syarat umum pembebasan bersyarat. Empat syarat yang juga berlaku bagi Ba’asyir itu adalah menjalani dua per tiga masa hukuman, berkelakuan baik, mengikuti program pembinaan, dan diterima oleh masyarakat. Namun sebagai narapidana kasus terorisme, Ba’asyir menolak memenuhi satu syarat wajib: menyatakan kesetiaan pada NKRI secara tertulis (https://www.bbc.com/indonesia, 23/1/2019).
Hurriyah, pengamat politik Universitas Indonesia, memandang adanya motif politik di balik keputusan pembebasan Ba’asyir. Menurutnya, Jokowi mempertimbangkan pembebasan kepada Ba’asyir karena tengah menyasar pemilih Muslim konservatif. Jika karena isu HAM, Jokowi bisa saja merespons kasus Baiq Nuril atau Novel Baswedan (https://www.bbc.com/indonesia, 23/1/2019).
Diskriminasi terhadap ulama dengan alasan melawasan radikalisme dan terorisme saat ini semakin gencar. Siapa yang mengatakan setia kepada Islam seolah-olah tidak setia kepada negara, atau bahkan mereka yang setia terhadap Islam dicap radikal, dan radikal itu akan mengancam negara ini. Hal inilah yang menjadi salah satu alasan Ba’asyir tidak mau menandatangani surat tertulis setia pada NKRI dan Pancasila. Menurutnya, Islam tidak bertentangan dengan Pancasila. Selain itu, kesetiaan Ba’asyir pada NKRI tidak perlu diragukan. Perjuangan dakwahnya selama ini adalah untuk kemaslahatan bangsa. Ironisnya, kini penahanan dan pembebasan ulama dijadikan alat politik menjelang pemilu untuk mendulang suara, tetapi di sisi lain, ulama tersebut tetap dicap sebagai teroris.
Isu terorisme tidak dapat dipisahkan dari agenda asing. Dalam perang melawan terorisme, semua orang yang dalam meraih tujuannya menggunakan kekerasan, begitu juga kelompok, termasuk juga negara, harus dianggap sebagai teroris. Tetapi pada kenyataannya, saat ini cap teroris hanya ditujukan kepada individu dan kelompok Islam. Buktinya, 95% dari daftar Foreign Terrorist Organizations (FTO) yang dikeluarkan PBB atas rekomendasi Kementerian Luar Negeri Amerika Serikat adalah individu dan kelompok Islam (lihat https://www.state.gov/j/ct/rls/other/des/123085.htm). Dengan demikian, war on terrorism sebenarnya adalah kedok untuk war on Islam, dan Islam yang dimaksud di sini adalah Islam yang dianggap mengganggu kepentingan-kepentingan Barat.
Terlepas dari semua itu, di dalam Al-Qur’an surat Ali Imran (3): 54, Allah SWT berfirman, “Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya” (T.Q.S. Ali Imran [3]: 54). [MO/sr]