-->

Pemimpin di Era Demokrasi, Masih Jauh dari Ekspektasi

Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat
Advertisemen
Oleh : Dini Azra 

Mediaoposisi.com-Setelah menuai banyak kritik dan ungkapan kecewa dari publik, Komisioner KPU Ilham Santoso, akhirnya mengakui bahwa acara debat Pilpres perdana yang berlangsung pada tanggal 17 Januari 2019 lalu memang tidak seru. 

Hal itu disebabkan adanya kisi-kisi soal dari panelis kepada kandidat yang diberikan dua minggu sebelumnya. Padahal sebelumnya, sudah banyak juga pihak yang mengkritisi pemberian kisi-kisi soal tersebut.

"Ya, sekali-kali kita menerima masukan dari masyarakat bahwa memang mungkin karena kisi-kisi debat ini menjadi yang masyarakat sebut kurang seru." Ujar Ilham di Gedung Percetakan Gramedia Jakarta, Minggu 20/1/2019.

Untuk itu, disampaikan oleh Komisioner KPU Wahyu Setiawan, bahwa seluruh Komisioner KPU telah menggelar rapat pleno mengevaluasi secara menyeluruh debat pertama, dan akan memperbaiki format dan mekanisme menjadi lebih baik.

Diantara yang akan dirubah yaitu, ditiadakannya kisi-kisi soal dan durasi penyampaian visi misi yang akan diperpanjang. Juga soal teknis panggung yang juga dikritik karena banyak pendukung paslon yang boleh masuk diarena debat, dianggap terlalu ramai dan mengganngu.

"Debat kedua, format dan mekanisme akan kita rancang sedemikian rupa agar memungkinkan bagi pasangan calon presiden dan wakil presiden menunjukkan performa, kapasitas terkait penyampaian gagasan-gagasan besar yang tercantum dalam visi, misi, program untuk memimpin Indonesia lima tahun ke depan," kata Wahyu ditemui di D'Hotel, Jalan Sultan Agung, Jakarta Selatan, Minggu (20/1/)

Kedua kubu dari pasangan calon pun mendukung adanya perbaikan format debat oleh KPU tersebut. Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi - Ma'ruf menyebut bahwa merekalah yang dari awal mengusulkan ditiadakan kisi-kisi soal itu.

"Justru kita yang mengusulkan begitu. Enggak tahu apakah pihak sana (Prabowo-Sandiaga) setuju (keputusan KPU) atau tidak," ujar Lukman Edy Wakil direktur saksi TKN Jokowi-Ma'ruf. Pihaknya juga mengusulkan agar pendukung yang masuk arena debat diperbanyak hingga 200 orang per paslon.

Sedangkan dari Badan Pemenangan Nasional(BPN) Prabowo-Sandi juga menyambut baik, dan mendukung upaya KPU tersebut, sekaligus mengusulkan agar para kandidat dilarang membawa contekan dan tablet saat acara debat berlangsung.

" Agar rakyat dapat mendapat jawaban dari kepala kandidat, bukan dari teks atau sontekan. Sehingga rakyat benar-benar bisa menilai kualitas masing-masing kandidat." Kata jubir BPN Andre Rosiade. (20/1).

Melihat bagaimana kontestasi politik demokrasi selama ini, tak ubahnya seperti ajang pemilihan artis idol ataupun seremonial belaka. Dimana para kandidat yang berlomba dalam kontes ini harus berusaha menunjukkan performa terbaiknya dihadapan masyarakat.

Memoles diri agar dicintai, dan dipilih oleh rakyat. Bukan hanya saat acara debat digelar, namun dari awal sudah terlihat seperti ajang perlombaan yang pemenangnya akan meraih tampuk kepemimpinan.

Semua cara boleh saja dipergunakan, beragam gaya pun diperagakan. Dari yang rajin selfi-selfi, hingga membanggakan ketampanan.

Tak jarang saling tunjuk kelemahan lawan, dari sebutan pemilik beban masa lalu, sampai pemberi beban masa depan.

Sudah berkali-kali kita menjalani pergantian pemimpin, dengan mekanisme pemilu yang dibuat berbeda dan semenarik mungkin. Yang konon katanya untuk memuaskan rakyat, agar bisa menentukan pilihan secara tepat dan cermat. Rakyat seolah menjadi prioritas utama bagi penguasa, saat sedang dibutuhkan suaranya.

Bahkan rakyat turut dilibatkan dalam kegaduhan politik yang ada, karena masing-masing calon punya pendukung fanatik, yang siap berperang kata didunia nyata maupun dunia maya, demi membela kandidat pilihannya.

Negara juga harus menggelontorkan dana hingga puluhan triliun untuk pelaksanaan pemilu ini. Lalu apakah hasilnya sesuai dengan ekspektasi kita selama ini?

Sangat jauh, karna pemimpin dalam sistem ini orientasinya hanyalah kepentingan duniawi saja. Demokrasi memungkinkan siapapun menjadi pemimpin, orang pintar atau bodoh, kafir atau beriman asalkan dia punya modal ataupun pemodal, serta didukung beberapa partai pemenang. Siapa yang pemilihnya lebih banyak dialah yang akan menang.

Sementara pemilihnya tidak dibedakan, setiap kepala bernilai sama, apakah Ulama, profesor, lulusan S3, atau buta huruf bahkan penderita gangguan jiwa. Hasilnya adalah pemimpin yang lebih perduli dengan kekuasaan dan kursi jabatan.

Diawal pemerintahannya dia akan sibuk bagi-bagi kursi sebagai balas budi pada partai koalisi. Setelah itu sibuk mengejar setoran untuk balik modal biaya kampanye, dan masa akhir jabatannya dia sibuk mencari dana untuk mencalonkan lagi di periode berikutnya.

Rakyat hanya dijadikan alat, atau pijakan meraih kekuasaan dan akhirnya kepentingan mereka tidak diprioritaskan.

Sungguh sangat jauh berbeda dengan sistem Islam. Pemilihan seorang pemimpin tidak memerlukan biaya besar, dan mekanisme yang njlimet . Karena pelaksanaannya begitu simple namun essensial, yaitu dengan dilakukannya baiat.

Kaum muslimin diberikan kekuasaan untuk membaiat pemimpin mereka. Metode(baiat) ini ditetapkan oleh Al Quran, As sunnah, dan ijma sahabat. Seseorang dibaiat untuk memerintah dengan berdasarkan Kitabullah dan Sunnah, dilihat bagaimana kesanggupannya dalam menerapkan syariat Islam secara kaffah, dan kapabilitasnya terhadap urusan rakyat.

Hadits-hadits yang berkenaan dengan bai’at menunjukkan bahwa bai’at itu diberikan oleh kaum Muslim kepada khalifah, bukan oleh khalifah kepada kaum muslimin. Dari Ubadah bin Shamit ra, ia berkata:

"Kami membai’at Rasulullah saw untuk setia mendengarkan dan mentaati perintahnya, baik dalam keadaan susah maupun mudah, baik dalam keadaan yang kami senangi atau pun kami benci, dan benar-benar kami dahululukan" (HR Muslim).

Sebagai pemimpin yang telah dibaiat oleh umat, mereka memiliki kekuasaan yang wajib ditaati. Terdapat banyak dalil yang menunjukkan wajibnya ketaatan kepada khalifah.

Diriwayatkan dari Abdullah bin Amru bin Ash ra, bahwa dia pernah mendengarkan Rasulullah saw bersabda:ْ "Siapa saja yang telah membai’at seorang imam, lalu ia memberikan uluran tangan dan buah hatinya, hendaklah mentaatinya jika mampu. Apabila ada orang lain yang hendak merebutnya maka penggallah leher orang itu" (HR Muslim dan Abu Daud).

Pemimpin didalam Islam visi misinya bukan sekedar memberikan kemaslahatan bagi rakyatnya didunia saja, tetapi juga mengajak umat untuk selalu taat dan dekat dengan Penciptanya.

Dan tanggung jawab pemimpin adalah mengawal tegaknya Syariat Islam ditengah umat. Karena kepemimpinan didalam Islam adalah sebagai pengganti tugas kenabian dalam menjaga agama dan mengatur urusan negara dengan agama.

Banyak kita jumpai contoh para Khalifah terdahulu lebih mementingkan kesejahteraan rakyatnya diatas kelayakan hidupnya sendiri.

Mereka takut kepada Allah Subhanahu wataala, apabila tidak menjalankan amanah kepemimpinan dengan benar. Salah satunya Khalifah Umar bin Khatab, dengan ungkapannya yang begitu masyhur hingga saat ini "Akulah seburuk - buruk pemimpin, apabila aku merasa kenyang sedang rakyatku kelaparan."
           
Tidakkah kita rindu kepemimpinan seperti itu, sehingga kita masih saja tertipu dengan sistem demokrasi yang seringkali memenangkan pemimpin ingkar janji.[MO/ad]





Silahkan Bagikan Jika Bermanfaat

Disclaimer: Gambar, artikel ataupun video yang ada di web ini terkadang berasal dari berbagai sumber media lain. Hak Cipta sepenuhnya dipegang oleh sumber tersebut. Jika ada masalah terkait hal ini, Anda dapat menghubungi kami disini.
Related Posts
Disqus Comments
close