Oleh: Ratna Munjiah
(Pemerhati Sosial Masyarakat)
Mediaoposisi.com-Pemerintah sekali lagi telah gagal dalam mengurusi rakyatnya, tak habis pikir rasanya bagaimana negara mengurusi rakyat. Setelah semua dikuasai asing, dibuat lagi kebijakan mengenai Pajak.
Semua pemilik platform begitu kaget saat terdengar adanya implementasi dari Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210 tahun 2018 tentang Pajak untuk e-dagang. Tak perlu kaget atau khawatir tentang pajak yang dikenakan baik kepada pemilik platform maupun kepada mitra-mitra yang sering disebut dengan pelapak atau UKM. Sebenarnya pemerintah ingin agar pedagang, pengusaha, dan penyedia jasa di platform e-dagang itu membayar pajak mulai April 2019.
Layaknya semua pedagang offline pun seperti toko-toko, pengusaha yang punya pabrik, toko, atau restoran pun sudah harus memiliki NPWP. Dari pedagang offline ini sudah harus melaporkan omzet dagangnya per tahun berapa. Jika kurang dari Rp 4,8 miliar akan dikenakan pajak penghasilan sebesar 0,5 dari omzet, sedangkan mereka yang omzetnya melebihi Rp 4,8 miliar akan dikukuhkan sebagai pengusaha kena pajak sebesar 10 % dari omzet.
Kenapa target ini baru dilaksanakan bulan april 2019, karena penetapan APBN ini di bulan april dimana pemerintah sudah membuat anggaran pendapatan Rp 2,165,1 triliun, dimana penerimaan dari sektor pajak sebesar Rp 1,786,4 triliun. Ini merupakan penambahan sebesar 20 persen dari tahun sebelumnya. Cukup besar untuk dapat dicapai jika sasaran untuk mereka yang seharusnya membayar pajak tidak terjangkau. Optimalisasi wajib pajak harus dikelola dengan baik karena wajib pajak bagi semua warga.(kompasiana,15/1/2019)
Dalam sistem kapitalias pajak merupakan jantungnya perekonomian neoliberal. Apapun akan dikenai pajak. Sistem ekonomi neoliberal menjadikan pajak sebagai penopang pendapatan negara sehingga merugikan bahkan menzalimi rakyat banyak.
Padahal apapun alasannya, Sesungguhnya penetapan pajak bagi rakyat adalah bagian pekara yang menzhalimi rakyat, saat sistem buatan manusia ini dipertahankan, maka yang ada adalah mencari-cari alasan agar penetapan pajak ini bisa dianggap benar. Padahal dalam Islam hukum pajak sendiri bukan seperti demikian.
Terdapat perbedaan yang mendasar antara pajak dalam sistem Islam dan pajak dalam sistem kapitalis. Dalam sistem kapitalis, pajak merupakan tulang punggung pendapatan negara yang dipungut dari banyak sekali item yang ditetapkan sebagai objek pajak. Pemungutan pajak dalam sistem kapitalisme dilakukan terhadap seluruh warga negara dan secara permanen/berkelanjutan.
Dalam sistem kapitalis ini negara dan pemerintah akan berusaha semaksimal mungkin untuk mendapatkan dana besar dari pajak, baik dari pajak rakyat maupun dari pajak korporasi-korporasi yang beroperasi di Indonesia. Tidak ada lagi pelayanan kepada rakyat, apalagi rakyat miskin. Bagi negara dan pemerintahan model ini, rakyat miskin dianggap hanyalan beban bagi negara.
Dalam sistem ekonomi kapitalis negara memberikan peluang kepada swasta, baik dari dalam maupun luar negeri, untuk mengambil keuntungan dari sumberdaya alam yang dimiliki sebuah negara melalui pemberian ijin konsesi pertambangan, hak istimewa lain. Sementara sumberdaya alam yang sudah dikelola oleh perusahaan negara juga tak luput dari sasaran. Cepat atau lambat semua akan dialihkan juga kepada perusahaan swasta melalui kebijakan privatisasi. Akibatnya, tentu saja hasil dari sumberdaya alam itu lebih banyak dinikmati oleh perusahaan-perusahaan swasta, sementara rakyat justru harus menghadapi kesulitan.
Adapun dalam pandangan Islam pajak disebut dharibah, dan hanya dipungut dalam kondisi kas negara kosong dan dipungut hanya dari orang-orang kaya saja. Penarikan dharibah ini juga dilakukan secara temporer hingga kas negara terpenuhi.
Selebihnya, pemasukan negara dalam Islam didapatkan dari berbagai macam pos-pos pemasukan yang diijinkan oleh Asy-Syari’ berupa harta-harta fai dan kharaj, pemasukan dari pengelolaan kepemilikan umum oleh negara dan pos khusus pemasukan zakat (khusus pos pemasukan yang terakhir, ia tidak boleh bercampur dengan pemasukan-pemasukan lainnya dan tidak boleh dialokasikan selain kepada delapan golongan yang berhak menerima zakat).
Sistem ekonomi Islam tegak diatas paradigma lurus, mengoptimalkan anugrah kekayaan alam yang diberikan Allah SWT dengan pengaturan yang benar dan membawa manfaat bagi semua. Islam telah membagi kekayaan menjadi tiga jenis kepemilikan, yakni kepemilikan individu, kepemilikan umum dan kepemilikan negara.
Islam telah mengakui adanya kebutuhan manusia dalam koridor yang telah disyariatkan sehingga mencegah terjadinya kerusakan dan ketimpangan. Oleh karena itu Islam melarang adanya kepemilikan secara bebas. Tiap-tiap sumber daya alam ada nilai yang bisa membuatnya apakah menjadi kepemilikan umum, individu atau kepemilikan negara.
Menurut aturan Islam, kekayaan alam adalah bagian dari kepemilikan umum. Kepemilikan umum ini wajib dikelola oleh negara. Hasilnya diserahkan untuk kesejahteraan rakyat secara umum. Sebaliknya haram hukumnya menyerahkan pengelolaan kepemilikan umum kepada individu, swasta apalagi asing. Diantara pedoman dalam pengelolaan kepemilikan umum antara lain merujuk pada sabda Rasulullah SAW:
Kaum muslim berserikat (memiliki hak yang sama) dalam tiga hal : air, rumput, dan api (HR Ibnu Majah) Rasulullah SAW juga bersabda “Tiga hal yang tidak boleh dimonopoli : air, rumput, dan api"(HR Ibnu Majah).
Oleh karena itu sudah seharusnya pemerintah menerapkan sistem Islam, karena hanya Islam yang mampu mengatasi semua permasalahan kehidupan yang didera oleh masyarakat, termaksud bagaimana Islam pun mengatur tentang pegurusan pajak tersebut.[MOsr]