Oleh : Ifa Mufida*
Mediaoposisi.com-Di penghujung tahun 2018 ini, Indonesia kembali berduka. Belum kering air mata akibat duka gempa di Lombok, disusul gempa tsunami dan likuifaksi Palu, Sigi dan Donggala. Kemudian tsunami meluluhlantakkan Banten, Serang dan Lampung. Pada Sabtu, (22/12/2018) malam, sekitar pukul 21.27 WIB malam, tsunami di Selat Sunda menerjang pantai di Kabupaten Pandeglang, Serang, dan Lampung (tribunwow.com).
Penelusuran hingga 26 Desember 2018 Kepala Basarnas menyatakan 420 korban meninggal dunia, lebih dari seribu mengalami cedera baik ringan maupun berat dan 55 orang dinyatakan hilang dan sedang dalam pencarian. Upaya pertolongan bagi korban masih terus dilakukan secara maksimal baik oleh masyarakat, ormas-ormas maupun pemerintah setempat (republika.co.id).
Selain upaya pertolongan pasca bencana, evaluasi terhadap proses mitigasi bencana menjadi sorotan saat ini. Tsunami di Selat Sunda disebut sebagai tsunami senyap karena tidak terdeteksi, baik oleh BMKG (Badan Meteorologi, Klimatologi Dan Geofisika) maupun oleh PVMBG (Pusat Vulkanologi Dan Mitigasi Bencana Geologi) yang merupakan lembaga kompeten untuk melakukan peringatan dini tsunami, justru saling melemparkan tanggung jawab.
Dilansir dari Republika (26/12/2018) Ketua PVMBG, Kasbani, mengatakan, “deteksi gunung api memang tugas kami tetapi untuk peringatan dini tsunami itu tugas BMKG sesuai UU BMKG”. Tidak adanya peringatan sebelum bencana tsunami Selat Sunda memang menjadi sorotan dari dalam dan luar negeri. Sebagaimana NBCnews dalam laporannya, Ahad (23/12) waktu setempat, berjudul "Mengapa tsunami menerjang Indonesia tanpa peringatan?".
Indonesia sudah sangat akrab dengan bencana alam. Berbagai bencana alam yang dilatarbelakangi kondisi geografis, geologis, dan hidrologis seharusnya mendorong Indonesia untuk membangun ketangguhan masyarakat dalam menghadapi bencana alam. Meskipun di Indonesia tersimpan kekayaan alam dan keindahan pulau-pulau yang luar biasa, perlu juga menyadari bahwa wilayah nusantara ini memiliki 129 gunung api aktif, atau dikenal dengan ring of fire, serta terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik aktif dunia: Lempeng Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik.
Selain Bencana yang menimpa Indonesia di sepanjang tahun 2018, banyak contoh bencana alam besar lain yang pernah terjadi di Indonesia seperti gempa, tsunami, dan letusan gunung berapi dengan korban jiwa serta harta benda yang sangat besar. Gunung Karakatau meletus pada 1883, kemudian gempa yang disusul tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004 dengan jumlah korban 130 ribu jiwa.
Berdasar data Asia-Pacific Report 2010 yang disusun Komisi Ekonomi dan Sosial PBB untuk kawasan Asia Pasifik, sejak 1980 sampai 2009 bencana alam di Indonesia telah mencatat kerugian yang sangat besar yakni 191.164 orang tewas (peringkat kedua di Asia Pasifik), 17 juta orang yang jadi korban (peringkat ke sembilan) dengan kerugian ekonomi mencapai USD22.582 miliar. Tahun 2010 saja, kerugian mencapai Rp5 triliun.
Menghadapi ancaman kerugian jiwa dan materi akibat bencana alam tersebut, maka seharusnya pemerintah Indonesia memiliki upaya yang kongkrit dalam mitigasi bencana, sehingga mencegah banyaknya korban dan kerugian materi akibat bencana. Nyatanya, selama ini tidak ada upaya kongkret tersebut. Pemerintah bisa dikatakan lalai dalam pengurusan di bidang mitigasi bencana. Apalah gunanya membangun infrastruktur jalan-jalan tol, bandara penerbangan, gedung-gedung megah jika akhirnya nanti hancur akibat bencana? Na’udzubillahi min dzalik.
Di dalam Islam mitigasi bencana adalah tanggung jawab dari penguasa. Penguasa tidak boleh menyalahkan lembaga tertentu di bawahnya ketika ternyata tidak bisa memberikan mitigasi yang optimal. Bisa jadi kurang optimalnya lembaga tersebut karena kurangnya perhatian dan pengalokasian dana oleh Negara. Sebagaimana kondisi di Indonesia, saat ini Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengaku siap melakukan perbaikan BUOY Tsunami yang ada di fasilitas B2TKS dan Geostech TPSA BPPT.
Namun, kata BPPT, untuk perbaikan dan revitalisasi Buoy Tsunami dibutuhkan dana khusus sebesar Rp15 milyar untuk 3 BUOY termasuk pengoperasian selama 1 tahun (voa-islam.com). Namun nyatanya, hal ini pun tidak segera dilakukan tanggapan yang serius oleh Bapak Presiden dan jajaran kementriannya. Ini adalah tindakan yang lalai, terlebih ada prediksi dampak yang lebih besar dari aktivitas anak Krakatau yang sedang aktif.
Dahulu ketika sistem Islam masih ada, para penguasa tidak hanya terfokus pada penanganan pasca terjadinya bencana namun juga langkah preventif yang diambil oleh penguasa. Di Turki, untuk menangkal gempa, orang membangun gedung-gedung tahan gempa. Sinan, arsitek Sultan Ahmet yang fenomenal di zamannya, membangun mesjid itu dengan konstruksi beton bertulang yang sangat kokoh serta pola-pola lengkung berjenjang yang dapat membagi dan menyalurkan beban secara merata.
Semua masjid yang dibangunnya juga diletakkan pada tanah-tanah yang menurut penelitiannya saat itu cukup stabil. Gempa-gempa besar di atas 8 Skala Richter yang terjadi di kemudian hari ini terbukti tak membuat dampak sedikitpun pada masjid itu, sekalipun banyak gedung modern di Istanbul yang justru roboh.
Walhasil bencana-bencana alam selalu ditangkal dengan ikhtiar, tak cukup sekadar pasrah saja. Penguasa Kekhilafahan Islam pada saat itu menaruh perhatian yang besar agar tersedia fasilitas umum yang mampu melindungi rakyat dari berbagai bencana. Mereka membayar para insinyur untuk membuat alat dan metode peringatan dini, mendirikan bangunan tahan bencana, membangun bunker untuk cadangan logistik, hingga melatih masyarakat untuk selalu tanggap darurat.
Manajemen penanganan bencana alam disusun dan dijalankan dengan berpegang teguh pada prinsip “wajibnya seorang Khalifah melakukan ri’ayah (pelayanan) terhadap urusan-urusan rakyatnya”. Pasalnya, kepala negara adalah seorang pelayan rakyat yang akan dimintai pertanggungjawaban atas pelayanan yang ia lakukan. Jika ia melayani rakyatnya dengan pelayanan yang baik, niscaya ia akan mendapatkan pahala yang melimpah ruah. Sebaliknya, jika ia lalai dan abai dalam melayani urusan rakyat, niscaya, kekuasaan yang ada di tangannya justru akan menjadi sebab penyesalan dirinya kelak di hari akhir. Allahua’lam bi showwab.
*Praktisi Kesehatan dan Pemerhati Masalah Umat