Oleh : Ummu Aqeela
Mediaoposisi.com-Proyek pembangunan infrastruktur di era pemerintahan sekarang menuai banyak kritikan dari berbagai kalangan.
Bahkan ada yang berpendapat pula bahwa pembangunan infrastrukur yang gencar dijalankan mirip dengan penjajahan di era Belanda, ketika menjajah Indonesia selama kurang lebih 350 tahun lamanya. Infrastruktur yang dibangun di era Belanda dulu diperuntukan untuk kepentingan penjajah bukan untuk rakyat.
Hal yang sama dilakukan oleh pemerintahan sekarang, alih-alih untuk rakyat namun sebenarnya hanya untuk kepentingan para kapitalis yang menjajah Indonesia secara halus namun terang-terangan.
Sepertinya yang baru-baru ini diresmikan yaitu empat ruas Tol Trans Jawa, tepatnya di km 671, Kabupaten Jombang, Jawa Timur, Kamis (20/12/2018).
Peresmian ditandai dengan membunyikan sirine dan penandatanganan empat prasasti yakni, ruas Tol Ngawi-Kertosono (segmen Wilangan-Kertosono 37,9 KM), ruas Tol Jombang-Mojokerto (seksi Bandar-Kertosono 0,9 KM), relokasi Jalan Tol Porong-Gempol 6,3 KM, dan jalan Tol Gempol-Pasuruan (seksi Pasuruan-Grati 13,65 KM). (Walikotalive.com 20/12/2018)
Infrastruktur itu sendiri adalah merupakan bangunan fisik yang berfungsi untuk mendukung keberlangsungan pertumbuhan kegiatan sosial ekonomi di suatu negara untuk kesejahteraan rakyatnya.
Dalam sistem ekonomi kapitalis, termasuk yang diterapkan di Indonesia, biaya pembangunan dan pembiayaan berbagai macam infrastruktur diperoleh dari sektor pajak sebagai pemasukan terbesar negara, dan dari pinjaman hutang luar negeri ataupun kerjasama antara pemerintah dan swasta yang kerjasama dalam kurun waktu yang sangat panjang 15-20 tahun.
Pada akhirnya rakyatlah yang harus menanggung biaya secara tidak langsung, melalui pungutan yang diterapkan ketika rakyat menggunakan fasilitas infrastruktur tersebut misalnya jalan tol.
Pungutan itu sendiri tidak terkategori murah, sebut saja contohnya biaya yang harus dikeluarkan rakyat ketika menggunakan tol surabaya-solo, rakyat harus menyiapkan dana sekitar Rp 190rb untuk sekali jalan saja, tinggal dikali dua jika melintasi untuk pulang perginya.
Dalam sistem ekonomi Islam, infrastruktur yang dikategorikan untuk umum harus dikelola oleh negara bukan swasta.
Negara tidak mengambil keuntungan dari pengelolaannya, meskipun ada pungutan yang diterapkan hasilnya harus dikembalikan kepada rakyat atau umat sebagai pemiliknya dalam bentuk yang lain.
Berbanding terbalik dengan saat ini, negara hanya sebagai jembatan ke pihak pendana dengan cara menghutang, dan beban hutang tersebut harus ditanggung rakyat lewat pungutan ataupun melalui pajak yang keduanya tidaklah murah.
Saat ini berbagai fasilitas yang ada hanya bisa dinikmati rakyat menengah keatas saja yang bisa mengeluarkan biaya untuk fasilitas tersebut. Bagi rakyat yang dibawah hanya bisa menatap dan meratap tidak ikut menikmati fasilitasnya pun tidak pula menerima hasilnya dari infrastruktur tersebut.
Namun dengan bangganya pemerintah saat ini menyebut itu semua adalah sebuah prestasi, patut ditanyakan prestasi siapa dan untuk apa, karena sejatinya rakyat kalangan bawah tetap hidup susah dengan kesederhanaannya.
Mengamati berbagai masalah diatas mengenai fenemona infrastruktur yang dibangga-banggakan mengingatkan saya pada masa kepemimpinan masa-masa fir’aun berkuasa.
Tidak kalah hebat dan megahnya jika disandingan dengan infrastruktur pada masa sekarang. Dengan piramidnya yang menjulang dan berdiri kokoh hingga saat ini, tapi apa yang terjadi pada rakyatnya? Tertindas terintimidasi baik secara fisik maupun secara keyakinannya.
Namun apa yang terjadi kepada Fir’aun?, Allah dengan mudahnya membinasakannya karena bagi Allah prestasi yang sebenarnya bukanlah bangunan fisik yang menjulang tinggi ataupun infrastruktur yang kokoh, namun tingginya iman yang ditujukan hanya kepada Allah.
Ketika megahnya bangunan tidak diiringi dengan keta’atan akan syari’at itu akan menjadi hal yang sia-sia. Karena bangunan megah yang utama adalah penerapan Syari’at Islam secara Kaffah di segala bidang manusia.