Oleh : Tety Kurniawati
( Anggota Akademi Menulis Kreatif )
Mediaoposisi.com-Sepekan belakangan masyarakat dihebohkan dengan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) yang membatalkan penyelenggaraan penyampaian visi dan misi kandidat Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019.
KPU juga akan memberikan kisi-kisi pertanyaan seputar debat Pilpres kepada masing-masing kandidat. Keputusan ini menimbulkan polemik, hingga muncul pertanyaan mengenai netralitas KPU dalam penyelenggaraan Pilpres 2019. (katadata.co.id 9/1/19)
Menanggapi hal ini, Direktur Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Veri Junaidi pun menyayangkan.
Sebaliknya menyatakan perlunya sosialisasi visi-misi, agar masyarakat dapat mengetahui rencana pasangan capres-cawapres memimpin negara. (Tribunnews.com 6/1/19)
Terkait pemberian kisi-kisi pertanyaan debat pada paslon, Wapres Jusuf Kalla mengungkapkan ketidaksetujuannya. JK menuturkan, ajang debat bertujuan untuk mengukur pengetahuan capres dan cawapres saat menghadapi masalah.
Mereka harus memutuskan sendiri langkah yang akan ditempuh ketika menghadapi masalah. Dari jawaban itulah masyarakat mengetahui kemampuan calon pemimpin mereka dan menentukan pilihannya. ( Tempo.co 9/1/19)
Akar persoalan paling krusial yang memunculkan masalah tersebut adalah kegagalan negara dalam melahirkan politisi negarawan.
Kala rakyat berharap perubahan lewat politisi-politisi baru yang muncul di pemilu. Nyatanya negeri ini justru surplus politisi yang berorientasi pragmatis, hedonis dan minus visi ideologis.
Akibatnya aktivitas mereka pun tak lepas dari memperjuangkan kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Wajar jika kemudian pentingnya keberadaan visi kian tenggelam dan tak tersampaikan ke publik. Justru kampanye dan propaganda tim sukses paslon yang di sorot sedemikian rupa.
Debat yang harusnya mampu menggali kualitas intelektual dan kemampuan problem solving calon pemimpin negeri pun berubah jadi sekedar ajang hafalan dan hiburan.
Karena pertanyaan yang diberikan tak lebih hanya settingan. Alhasil nalar kritis publik dikerdilkan ditengah sentimen rasa yang kian diperbesar.
Inilah wajah asli penerapan demokrasi yang meniscayakan lahirnya politisi-politisi tanpa nurani. Keberadaan mereka sebatas mencari kehormatan lewat jabatan. Tanpa ada upaya riil memenuhi nilai-nilai ideologis dan tanggungjawab atas amanah yang diberikan.
Hasrat egoistiknya mengemuka dibanding upaya mewujudkan keadilan dan kesejahteraan bagi rakyatnya. Suksesi kekuasaan terbukti hanya memproduksi pemimpin baru berwatak lama.
Dengan penyelewengan dan siasat untuk mendapatkan keuntungan pribadi dan kelompok menjadi drama berulang yang tak ada habisnya. Bahkan rakyat dipaksa terus mengindera bahwa ada jurang yang menganga antara janji pemimpin dan realisasinya.
Hal tersebut tentu sangat berlawanan dengan apa yang kita temui dalam Islam. Sosok pemimpin dalam Islam adalah seorang politisi religius.
Bertanggungjawab penuh akan amanah jabatan yang diembannya atas dasar keimanannya kepada Allah. Halal haram akan senantiasa menjadi pedomannya dalam mengambil tiap kebijakan. Sangat besar rasa takutnya atas potensi kedzoliman yang mungkin timbul dari penerapan kebijakan. Sebab ia menyadari betul pada amanah yang diemban, kelak akan ada penghisaban.
Rasulullah SAW bersabda, " Barangsiapa yang diangkat derajatnya oleh Allah SWT untuk menjadi pemimpin suatu kaum. Namun ia menyia-nyiakan amanah tersebut, maka diharamkan surga baginya" ( HR Bukhari-muslim).
Bentang sejarah yang panjang mulai dari Abbu Bakar As-Shidiq, Usman bin Affan, Umar bin Khattab, Umar bin Abdul Aziz, Sultan Muhammad Al Fatih hingga Sultan Abdul Hamid ll telah menjadi saksi manakala Islam diterapkan sebagai strategi dalam pengaturan ummat demi tercapainya Baldatun Toyyibatun Warobbun Ghofur.
Keadilan, keamanan dan kesejahteraan benar-benar dirasakan oleh rakyat. Visi Ideologis yang dimiliki oleh para pemimpin kala itu.
Telah mendorong mereka untuk memastikan bahwa setiap pemilik hak akan mendapatkan haknya, setiap pemilik kewajiban melaksanakan kewajibannya, yang berbuat kebaikan diberikan kompensasi sesuai kebaikannya, kedzholiman pun tersingkirkan seiring aturan Illahi diterapkan dalam kehidupan.
Sudah saatnya perubahan hakiki tersebut kita raih kembali. Dengan mengadopsi hukum politik negara sesuai hukum yang ditetapkan Illahi.
Maka akan terlahir partai dan politisi bervisi Ideologis Islam yang mumpuni. Hingga rahmatan lil alamin akan terealisasi dimuka bumi.[MO/AD]