Oleh : Sunarti
Mediaoposisi.com-Kesehatan adalah kebutuhan pokok seluruh rakyat. Tidak peduli rakyat miskin atau kaya. Segala kebutuhan akan kesehatan warga negara menjadi tanggung jawab pemerintah sepenuhnya.
Fakta di negeri ini jauh berbeda dengan kenyataan di atas. Karena dalam sistem kapitalis tidak berprinsip pada pelayanan terhadap umat, tapi berprinsip pada untung rugi. Maka tidak mengherankan apabila yang ditemui justru pembiayaan yang tinggi ketika masyarakat sakit.
Sudah ada iuran BPJS setiap bulan, masih akan ditambah dengan urun biaya dan selisih biaya pada rakyat.
BPJS Kesehatan akan menetapkan skema urun biaya dengan peserta untuk tindakan medis tertentu. Tindakan medis itu yang berpotensi memiliki penyalahgunaan dikarenakan selera atau perilaku peserta.
Deputi Direksi Bidang Pelayanan Kesehatan Rujukan BPJS Kesehatan Budi Mohamad Arief mengungkapkan urun biaya yang dibebankan pada masyarakat sebesar Rp 10 ribu setiap kali kunjungan rawat jalan di rumah sakit tipe C dan D juga klinik utama, serta Rp 20 ribu untuk rumah sakit tipe A dan B.
Ketentuan tersebut diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan.
Penetapan urun biaya paling tinggi Rp 350 ribu untuk paling banyak 20 kali kunjungan dalam waktu tiga bulan.
"Urun biaya dikenakan kepada peserta yang mendapatkan pelayanan tertentu yang tergolong bisa terjadi penyalahgunaan oleh peserta dikarenakan selera maupun perilaku peserta," kata Budi dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat (18/1).
Namun, BPJS Kesehatan belum merinci daftar pelayanan untuk tindakan medis apa saja yang akan dikenakan urun biaya.
Budi menjelaskan daftar tindakan medis tersebut akan ditetapkan oleh Menteri Kesehatan lewat rekomendasi dari beberapa pemangku kepentingan yang bekerja merumuskan daftar tindakan medis yang berpotensi disalahgunakan.
Dia hanya menerangkan tindakan medis yang berpotensi terdapat penyalahgunaannya ialah tindakan yang dilakukan tanpa ada indikasi medis.
Atas kebijakan ini pihak BPJS Watch mengkritiknya. Selain dinilai buru-buru,juga dinilai tidak tepat. Sebagaimana dikutip dari cnn.indonesia sebagai berikut:
Aturan urun biaya BPJS Kesehatan kepada peserta program Jaminan Kesehatan dinilai tidak tepat sasaran. Pasalnya, BPJS Watch menyebut bahwa penyalahgunaan layanan kesehatan tidak hanya dari peserta, melainkan juga pihak rumah sakit (RS) dan dokter.
Penyalahgunaan datang dari dokter atau pihak RS. Persoalannya, aturan urun biaya yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2018 seolah-olah menempatkan peserta layanan satu-satunya yang harus bertanggung jawab.
Menurut Timboel, seharusnya pemerintah dan BPJS Kesehatan bisa lebih jeli melihat potensi penyalahgunaan layanan. Meskipun, ia tak memungkiri penyalahgunaan juga dapat dilakukan oleh peserta. "Saya menduga ada celah di dokter. Tetapi, BPJS tidak bisa menindaknya selama ini. Jadi, dibebankan ke peserta," imbuh dia.
Tidak hanya tidak tepat sasaran, BPJS Watch juga menilai aturan urun biaya diterbitkan terburu-buru. Lihat saja, sampai aturan ini ditandatangani dan keluar pada 14 Desember 2018 lalu, belum jelas apa penyalahgunaan layanan kesehatan yang dimaksud PMK 51/2018.
Urun biaya yang diberlakukan tidak kecil. "Dalam aturan itu ada kewajiban urun biaya mencapai 10 persen. Ini angka yang memberatkan. Misalnya saja, persalinan.
Kebijakan ini bukanlah kebijakan yang meringankan si sakit, tapi justru menambah beban beratnya. Bagaimana tidak, diri yang lemah terdera sakit musti memikirkan biaya tambahan (urun biaya dan selisih biaya).
Padahal setiap bulan saat dia sakit atau sehat, harus dikenakan iuran. Buakankah tambah tercekik?
Kezaliman yang menjadi karakter asli rezim sekuler. Disahkannya PermenKes No 51 Tahun 2018 tentang Pengenaan Urun Biaya dan Selisih Biaya dalam Program Jaminan Kesehatan membuktikan rezim yang memalak rakyat.
Sesungguhnya, alasan apapun yang mendasari kebijakan pemerintah tentang BPJS, maka tindakan ini jelas tidak dapat diterima. Semisal efisiensi, pencegahan fraud, apa lagi mengatasi defisit kronis BPJS Kesehatan.
Sebab, merupakan kewajiban negara menjamin pemenuhan pelayanan kesehatan gratis berkualitas terbaik bagi setiap individu publik, dan merupakan hak setiap individu masyarakat untuk mendapatkannya. Gratis tanpa pungutan sepeserpun.[MO/ad]