Oleh: Sarah Pilbahri
(Aktivis Mahasiswi)
Mediaoposisi.com-Belum lama ini, kita dikejutkan dengan berita yang melanda saudara/i Muslim di Uighur. Belum selesai dari permasalahan penjajahan dan berbagai kezholiman, pembantaian, penindasan, dan genosida yang di hadapi oleh kaum muslim negeri-negeri islam, seperti : Palestina, Rohingya, Sudan, Irak, Yaman, Suriah dll.
Donasi save muslim Uighur
Tribunnews dari Kompas.com, suku Uighur merupakan etnis minoritas di China yang keberadaanya di Xinjiang sudah di catat sejarah sejak berabad-abad silam. Mereka merupakan penduduk Muslim yang secara budaya merasa lebih dekat ke Asia Tengah, dibandingkan dengan suku Han China yang merupakan mayoritas. Pada awal abad ke 20, suku Uighur sudah mendeklarasikan kemerdekaan dengan nama Turkestan Timur.
Mereka dipaksa untuk mencela islam, mengadopsi ateisme dan berjanji untuk setia pada negara China. Mereka di paksa menghabiskan berjam-jam mengulang-ulang perkataan, “tidak ada yang namanya agama”.
Mereka disuruh untuk mengatakan “ Hidup negara China” atau ‘hidup peresiden China, Xi Jinping”. Dan jika para tahanan itu menolak dan melawan, siksaan akan diberiak kepada mereka. Kuku di tarik, gigi dicopot. Meraka bahkan menggunakan ular untuk melakukan interogasi. Meraka dipukuli hingga tewas. Mereka disterilisasi, sebuah metode yang digunakan dalam Genosida.
Tidak hanya itu, jika meraka berbicara agama, berkata Tuhan saat berbicara, berpuasa dan melakukan praktek Agama. Maka mereka akan di kirim ke kamp-kamp.
Dan ribuan orang telah di transfer dari kamp ke penjara. Bagian terburuk adalah ketika ada yang meninggal, maka jenazanya tidak bisa diambil keluarganya, jenazahnya akan dibakar. Ini adalah cara China untuk menyembunyikan bukti berupa mayat yang berasal dari kamp-kamp tersebut. Ribuan kaum wanita dipaksa untuk menikahi pria dari etnis China Han. Bahkan Anak-anak dipaksa untuk melupakan agamanya.
Disaat Uyghur dilanda penderitaan, semua bungkam tidak mau tau akan hal itu. Dan China sendiri mengontrol ketat setiap media, dan ikatan perjanjian ekonomi dengan negara lain. Nasionalisme telah membuat kita individualisme, mementingkan diri sendiri, sehingga hilangnya rasa kemanusia terhadap sesama.
Pemerintahan Jokowi pun digadang-gadang tak berani memberi kritik yang tegas kepada otoritas China. Menurut Ketua Majelis Jaringan Aktivis Pro Demokrasi (ProDem) Bapak Syafti Hidayat, beliau menduga hubungan kedekatan anatara kedua pemerintahan RI-China yang membuat Jokowi enggan melakukan protes. (Era Muslim 14/12/18).
Padahal umat islam itu ibarat satu batang tubuh, jika yang satu merasakan sakit, maka yang lainnya ikut merasakan kan sakit. Maka sudah seharusnya kita bersama-sama untuk menyelamatkan Saudara/i kita di Uyghur, dan menegakkan kembali Syari’ah Islam, sebagaimana ketika dahulu, Islam menjadi penguasa dunia, dengan menerapkan aturan kehidupannya yang berlandaskan sesuai dengan Al-Qur’an dan Sunnahnya.