Oleh: Susi Sukaeni
(Revowriter, Pemerhati sosial)
Mediaoposisi.com- Bencana alam seperti gempa dan tsunami sangat berpotensi besar menelan korban jiwa dalam jumlah besar. Begitu pula kerusakan harta benda, fasilitas umum dan infrastruktur yang mencapai kerugian triliunan rupiah. Tidak berhenti sampai disini. Bencana lebih dahsyat justru datang setelahnya yaitu bencana kemanusiaan.
Pasca bencana alam rawan terjadi depresi sosial akibat ketidaksiapan mental, kelaparan dan hidup serba sulit. Kondisi ini berpotensi memunculkan prilaku liar tak berprikemanusiaan. Penjarahan, perampokan, konfliks horisontal, kekerasan seksual, bahkan perdagangan manusia sangat rentan terjadi.
Berkaca dari pengalaman bencana stunami Aceh. Satu persoalan serius yang dihadapi adalah bahaya sindikat perdagangan anak dengan kedok adopsi. LBH Anak Aceh mencatat ada 37 laporan orang tua kehilangan anaknya dan diduga menjadi korban perdagangan anak. Memang banyak berita yang mengabarkan anak-anak Aceh pasca tsunami dibawa secara massal ke luar Aceh. Ada yang dibawa pergi relawan atau keluarga dekat. Namun tak sedikit oknum yang mengaku kerabat dan ingin merawat. Padahal semata-mata untuk mencari keuntungan (Viva.co.id).
Para sindikat itu menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan korbannya. Salah satu modusnya menyamar sebagai pekerja sosial pembawa bala bantuan, rohaniawan dan relawan penyelamat. Sesampainya di daerah bencana mereka mulai mengincar korban anak-anak terlantar ataupun yang masih memiliki orang tua.
Biasanya mereka merayu anak-anak disertai iming-iming membawa anak-anak ke wilayah aman dan menjamin segala kebutuhannya. Anak-anak terlantar dengan kondisi trauma gampang terpedaya. Begitu pula para orang tua yang tengah kepayahan mudah terbius niat baik “para penyelamat” gadungan.
Pemerintah harus sigap dan bergerak cepat mengatasi hal ini. Bersama semua elemen masyarakat bahu- membahu mengambil langkah-langkah preventif. Jangan sampai kasus perdagangan anak korban tsunami Aceh terjadi di Palu dan sekitarnya. Terlebih setelah muncul kasus seorang anak korban bencana Palu yang nyaris menjadi korban sindikat tersebut.
Kisahnya bermula saat seorang anak berumur 6 tahun tiba di Makasar beserta rombongan pengungsi Palu dengan menumpangi pesawat Hercules milik TNI. Kesehatannya yang menurun ditambah trauma berat mengharuskan anak ini dirawat di sebuah rumah sakit.
Saat dirawat inilah datang seseorang yang mengaku keluarga sang anak. Beruntung sebelum sang anak dibawa pelaku datanglah keluarga anak tersebut dengan membawa bukti-bukti otentik tentang sang anak. Akhirnya sang anak kembali kepangkuan keluarga sesungguhnya (Liputan6.com).
Perdagangan Anak Buah Kapitalisme
Menurut ODCCP (Office for Drug Control and Crime Prevention) perdegangan anak didefinisikan sebagai segala tindakan perekrutan, pemindahan, pengiriman, penempatan atau menerima anak-anak di bawah umur untuk tujuan ekploitasi dan itu menggunakan ancaman, kekerasan ataupun pemaksaan lainnya seperti penculikan, penipuan, kecurangan, penyalahgunaan wewenang maupun posisi penting. Juga memberi atau menerima uang atau bantuan untuk mendapatkan persetujuan dari orang yang menguasai penuh atas anak itu (Wikipedia)
Berdasarkan definisi tersebut perdagangan anak sebuah kejahatan yang luar biasa, sadis, terorganisir bahkan lintas negara. Kejahatan ini tak dapat ditolelir karena mengancami keluarga, masyarakat, bangsa serta martabat dan nilai-nilai kemanusiaan. Bagi korban akan berdampak terjadinya kekerasan fisik, psikis, seksual, ekonomi maupun budaya. Tidak terlalu berlebihan bila masyarakat menyebutnya sebagai perbudakan modern.
Kejahatan perdagangan anak di Indonesia semakin marak dari tahun ke tahun. Menurut Wakil Ketua KPAI, Maria Advianti, sejak 2011 hingga Juli 2015, tercatat ada sebanyak 860 kasus yang dilaporkan. Secara rinci, pada 2011 terjadi 160 kasus, 2012 sebanyak 173 kasus, 2013 sebanyak 184 kasus, 2014 ada 263 kasus, dan hingga bulan Juli 2015 KPAI mendapati laporan perdagangan anak sebanyak 80 kasus. (Kedutaan Besar dan Konsulat AS di Indonesia)
Menurut Maria Advianti, meski negara sudah melindungi anak dari perdagangan manusia dengan berbagai perangkat peraturan, termasuk Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Namun dalam implementasi tidak sesuai dengan yang diharapkan.
Hal ini menjadii bukti bahwa negara dan sistem kapitalis sekuler telah gagal melindungi anak. Kegagalan ini disebabkan upaya yang ditempuh tidak pernah menyentuh faktor penyebab apalagi akar permasalahan. Negara lebih fokus pada upaya kuratif daripada preventif.
Saat ini negara lebih berperan sebagai regulator dibanding sebagai pelaksana dan penanggungjawab urusan rakyatnya tak terkecuali urusan perlindungan anak. Karenanya jangan heran apabila negara sering melempar tanggungjawab penyelesaiannya kepada peran keluarga dan masyarakat. Padahal selama ini negara tidak mengedukasi warganya bagaimana memperlakukan dan mendudukan peran anak dalam keluarga, masyarakat dan negara.
Faktor utama yang mendorong kejahatan perdagangan anak adalah kemiskinan dan pendidikan. Negara dengan sistem ekonomi kapitalis tidak mampu menciptakan kesejahteraan hingga membuat mereka putus asa dan mengambil jalan pintas. Demikian pula dengan sistem pendidikan yang mandul dalam melahirkan manusia bermoral dan berkualitas.
Sistem Kapitalis sekuler telah mencetak manusia-manusia egois dan individualis. Siap mengorbankan apapun dan siapapun demi meraup keuntungan pribadi. Rasa kemanusiaan telah tercerabut berganti dengan nafsu liar dan keserakahan.
Alih-alih bersikap peduli dan menolong, mereka tega menjual anak-anak korban bencana yang tengah trauma, terlantar, dan menderita. Jiwanya telah tumpul hingga gagal menangkap makna bencana sebagai peringatan dan teguran dari Allah Swt.
Islam sebagai Solusi
Dalam sistem Islam anak-anak mendapatkan perhatian yang lebih dan serius. Anak sejatinya aset pembangun masa depan. Keadaan suatu negara di masa depan akan sangat ditentukan oleh keadaan anak-anak di masa kini. Oleh karenanya Sang khalifah sebagai kepala negara berupaya menyiapkan mereka menjadi generasi yang unggul dalam segala hal.
Baik secara fisik, mental, spiritual, pola pikir dan pola sikap yang tentu saja berlandaskan akidah islam. Generasi yang unggul dapat diandalkan dalam menciptakan kegemilangan peradaban Islam. Untuk itu negara akan berupaya melakukan apa saja demi mencetak generasi unggul berkualitas di masa depan. Diantaranya memberikan pendidikan terbaik secara gratis.
Negara akan memastikan mereka hidup layak di tengah keluarganya. Tercukupi semua kebutuhan fisik (sandang, pangan, papan, kesehatan), psikis (kasih sayang dan keteladanan) maupun intelektualnya (pendidikan). Bila keluarga dan kerabatnya tidak mampu memenuhi kebutuhan fisiknya, negara akan menyantuninya sesuai kebutuhan.
Negara akan melindungi mereka dari segala bentuk kekerasan baik oleh keluarga, maupun orang lain termasuk para sindikat perdagangan anak. Siapapun yang mendzalimi akan dikenakan sangsi yang menjerakan dan tidak pandang bulu berdasarkan hukum Islam.
Sindikat perdagangan anak akan sulit beroperasi. Kalaupun berhasil menyusup masuk akan segera diberantas sampai tuntas tanpa ampun. Baik dalam kondisi negara aman apalagi pasca dilanda bencana.
Sudah saatnya kita tinggalkan sistem kpitalis yang rusak dan merusak. Saatnya kembali menerapkan Islam kaffah yang mampu menciptakan iklim yang kondusif bagi terwujudnya generasu unggul dan berkualitas.[MO/sr]
Managment Bencana Khilafah
Bencana alam selalu saja terjadi di sepanjang zaman tak terkecuali pada masa kekhilafahan. managemen bencana khilafah dengan masa tiadanya khilafah seperti saat ini.
Ada baiknya kita belajar managment bencana ala khalifah Umar Bin Khotob.
Mensikapi bencana sesuai petunjuk Allah
Saat terjadi gempa di Madinah maka Umar keluar dan brdiri di atas mimbar Masjid Nabawi. Umar mengingatkan bahwa gempa yang baru saja a terjadi sebagai bagian dari peringatan dan teguran Allah Swt atas kemaksiatan yang dilakukan oleh penduduk Madinah. Umar menyerukan kepada seluruh rakyatnya untuk segera bertaubat dan kembali mentaati Allah Swt. sebagaimana firman Allah Swt
“Andai penduduk negeri beriman dan bertaqwa, paasti kami akan bukakan untuk mereka keberkahan dari atas langit dan bumi. Akan tetapi mereka mendustakan ayat-ayat kamisehingga kami menyiksa mereka sebagai akibat dari apa yang mereka perbuat(Qs Al A’raf ;96).
Bencana dalam sistem khilafah juga disikapi sebagai qadha Allah Swt. Bagi seorang mukmin qadha ini merupakan ujian. Oleh karenanya harus dihadapi dengan keridhoan dan kesabaran. Lagipula tidak ada yang buruk dari ketetapan Allah. Selalu ada hikmah dan kebaikan di dalammya. Musibah dan bencana sesungghnya bisa amenjadi wasilah penghapus dosa.
Dalam riwayat Ibnu Abbas ra Umar juga menganjurkan sholat sunnah sebagai mana sholat gerhana. Selain itu khalayak diperintahkan untuk bersedekah terutama membantu para korban bencana.
Segera membentuk tim teknis untuk menangani korban bencana
Pada saat terjadi bencana kekeringan di seluruh jazirah Arab. Umar segera membentuk tim khusus yang bertugas memberikan bantuan pangan kepaa korban Penanganan korban bencana dilakukan secara profesional, efektif, efisien dan tepat sasaran. Umar membaginya ke dalam beberapa tim yang ditempatkan di beberapa pos. Setiap sore mereka berkumpul di rumah Umar untuk berkoordinasi dan merencanakan kegiatan esok hari.
Khalifah mengeduakasi dan memberikan keteladanan kepada masyarakat